6. Spaghetti Lagi?

14.1K 2.7K 133
                                    

Wajib vote sebelum baca.

-----------

Pertolongan Allah datang. Bukan melalui Bu Sukma atau Rustini. Mereka masih disibukkan urusan dalam negeri rumah keluarga almarhum Bapak Taruma Latif.

Pertolongan pertama justru datang dari dua orang berbadan tinggi besar.

Satu pria berpakaian khas menukang. Kotor bekas cat, pun semen kering menempel di kaos putih yang tak lagi putih.

Satu lagi khas pria dengan baju kaos putih bersih rapi, masih wangi meski sore hampir datang, memimpin agenda menjenguk hari ini.

Ia mengetuk pintu renta rumah Naya. 

Aim membukakan pintu. Baru sekali ini Aim bertemu Laksa. Sopan, Aim menanyakan nama dan tujuan kedua lelaki itu datang.

"Siapa, Im?"

Seorang perempuan berkruk di lengan kanan dan kirinya, hasil pinjaman sementara dari Mak Urut, muncul dari dalam rumah. Tak perlu waktu lama sampai Aim masuk ke dalam dan mengabari Naya bahwa ada tamu di luar. Saking sempitnya kontrakan, suara bariton dari teras pun terdengar sampai ke dapur belakang. 

Hanya saja yang tak Naya sangka, pemilik suara tersebut adalah Laksamana Latif.

"Ini Tuan katanya anaknya Ibu Sukma. Majikan kita juga ya, Buk?" tanya Aim menarik benang merah silsilah keluarga majikan Naya.

"Iya. Silakan duduk, Tuan." 

Susah payah Naya membersihkan kursi santai berbahan bambu di teras dengan lap yang Aim ambilkan. Pun sekarang ia turut duduk di atas kursi plastik biru yang biasanya ditumpuk di sudut rumah, saking tak pernah lagi menerima tamu sejak terakhir pemakaman suami Naya.

"Maaf. Ada perlu apa?"

"Saya kira kamu bohong soal sakit ini. Saya kira kamu bosan dan lelah memasak di rumah kami."

Wajah Kris menegang. Bisa-bisanya tuan muda ini jujur akan tujuannya menjenguk.

"Maaf, saya beneran sakit. Saya minta izin pada Tuan dan Ibu Sukma untuk tidak masuk sampai saya sembuh. Kata tukang urutnya 1 minggu saya sudah membaik."

Laksa masih menunduk. Ia tak mau mengambil resiko menatap kedua mata bening Naya. Bukan lantaran takut, tapi mata itu sangat berbahaya untuk kewarasan hatinya jika ditatap terlalu lama.

Selama proses memandangi lantai semen yang belum berubin, Laksa mendapati selubang sorot matahari menyasar di atas sepatu putih Laksa. Seharusnya tempat ini teduh. Tapi ... ?

Laksa penasaran. Dilihatnya lagi lantai sekitar teras. Banyak titik-titik sorot matahari bertebaran di sana. Ia mendongak ke atap. Benar saja, pekerjaan Naya yang membawa petaka tadi pagi, ternyata belum usai. Seperti yang telah Laksa duga, ia menengok pada Kris. Satu perintah diperkuat oleh gerakan kepala Laksa, Kris langsung paham maksud sang majikan.

"Kris!"

"Siap, Tuan."

Kris mengambil genteng, tangga juga entah perkakas yang Naya tak paham dari mobil pick up yang mereka bawa. Menempatkannya di depan teras, lantas beraksi meneruskan apa yang Naya tinggal pagi tadi. Membenarkan genteng.

"Tuan?"

Naya sebenarnya sungkan atas bantuan Laksa dan Kris, tapi ia tak dapat menolak. Mungkin ini satu dari banyak pertolongan Allah yang akan datang padanya.

"Terimakasih," lanjutnya.

Laksa mengangguk. Ia kembali mendaratkan pantatnya di kursi bambu. Anak-anak yang notabene nya tak bisa diam meski Naya telah mewanti-wanti agar tetap di dalam jika ada tamu, berlarian keluar. Mereka terlalu senang mengetahui fakta jika mungkin tidur mereka malam ini tak harus lagi begadang karena hujan.

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Where stories live. Discover now