40. Rantang yang Dirindukan

10.6K 2.1K 70
                                    

Koma Laksa berlangsung hingga 1 minggu. Membuat semua kerabat dan kawan yang menunggu, harap-harap cemas memohon keajaiban setiap harinya. Santri pesantren juga memanjatkan do'a untuk Laksa, teriring di setiap usai sholat lima waktu.

Diagnosa dokter bukan keniscayaan. Itu pikir semua orang. Walau ilmu pasti telah dipelajari sang ahli bedah syaraf selama berpuluh tahun menimba ilmu, tak cukup mematahkan harapan banyak orang akan kesembuhan Laksa.

Dokter hampir menyerah ketika dalam rentang waktu yang ditentukan, Laksa tak kunjung bernafas spontan. Selama kurun waktu tersebut, Laksa bernafas dengan bantuan ventilator. Pada akhirnya, keajaiban terjadi. Otot nafas Laksa bisa bergerak tanpa bantuan alat lagi. Ventilator berhasil dilepas dari jalan nafas Laksa. 

Dokter mengatakan jika Laksa akan jatuh pada keadaan lumpuh total. Menjadi mayat hidup yang hanya bisa mendengar sekaligus berkedip. Nyatanya, Allah mengabulkan do'a-do'a orang baik di sekeliling Laksa. Laksa sadar, mampu merespon, meski hanya dengan tutur yang masih belepotan.

Satu diagnosa terakhir dokter, yang sampai kini masih mereka tunggu-tunggu keajaiban terjadi, adalah tubuh Laksa bisa bergerak. Dokter setengah mengetuk palu pada kemungkinan Laksa akan lumpuh total. Medis mengusahakan Laksa tetap mendapatkan fisioterapi untuk membiasakan organ geraknya, setelah kondisi vital membaik. Akan tetapi, tidak dapat menjanjikan keadaan Laksa akan kembali seperti sedia kala. Semoga saja kembali. Harap Naya, Aim, Uma dan Bu Sukma adalah Laksa bisa berjalan kembali. Kalau bisa ... berlari.

Waktu berjalan.

Perut Naya membesar, seiring waktu yang tak terasa ia habiskan merawat sang suami di rumah sakit. 4 bulan ia lewatkan selalu berada di samping Laksa. Beruntung, di bulan pertama, Laksa bisa dipindahkan di RSUP. Cokroaminoto. Salah satu rumah sakit besar, terdekat dari Gunung Jati.

"Ayi ... hat?"

"Alhamdulillah, sehat. Mas mau pegang? Sini."

Laksa menanyakan keadaan buah hati, yang berada di perut Naya. Si bayi, katanya. Meski Laksa tak bisa menggerakkan tangan dan kaki, Naya senantiasa menuntun tangan Laksa untuk memegang apa yang ia mau. Penuh sabar. Sebuah keberkahan luar biasa, Allah menjodohkan Laksa dengan wanita sesabar Naya. Perempuan itu tegar. Laksa tak tahu saja, jika di balik pintu ruang rawat, Naya sering menangis memohon kesembuhan bagi Laksa.

Naya bukan mengharap kesempurnaan raga Laksa. Hanya saja, melihat kondisi Laksa seperti ini, begitu menyakitkan baginya. Bagai diri Naya sendiri yang ikut mengalami sakit. 

Naya menyisir rambut Laksa yang mulai lebat kembali. Penuh lembut. Segala urusan mengelap badan suami, memakaikan baju, mencukur kumis dan jambang yang mulai lebat, menyuapi makan, hingga membersihkan buang hajat, Naya lakukan sendiri. Sedangkan untuk urusan mobilisasi, Naya meminta tolong perawat atau Kris.

"Nah. Begini sudah makin tampan," senyum Naya setelah menangkup kepala Laksa. Mengecupnya tepat di hidung mancung si pria tertampan di dunia, menurut Naya. Laksa tersenyum asimetris. Senyum maksimal yang ia bisa berikan.

Naya tak sanggup menutupi genangan mata haru. Akhirnya Laksa bisa pulang hari ini.

"Bapak sudah siap pulang ke rumah?" goda Naya dengan mata berkaca.

"Jan ... nanis."

"Masa nggak boleh nangis? Naya bahagia. Akhirnya Mas pulang."

"Aku ... nya ... lepotin ... Ya ... dan ... Bu."

"Nggak ada yang direpotkan. Kami keluarga Mas. Kami sayang Mas. Kami akan menjaga Mas semampu kami."

--------------

Seorang pria dengan otot yang tak lagi sesekal dulu, tampak segar dengan baju kaos putih dan celana pendek navy selutut. Bibirnya tak sepucat yang mereka lihat, saat menjenguk pertama kali dulu. Tubuhnya makin kurus. Kantung mata tercetak jelas. Kris sepertinya mudah sekali memindahkan pria itu dari bangku penumpang ke kursi roda. Selain karena badan pria yang dulu mendapat sapaan Gajah ini, tak mirip lagi layaknya gajah, Kris juga telah mendapat ilmu baru cara memindahkan pasien lumpuh dari bagian Fisioterapi. Tangan kaki si pria lunglai. Pasrah dipindahkan kemanapun.

"Selamat datang ke rumah lagi, Tuan Laksa."

Seluruh asisten rumah tangga, sales, mandor, dan buruh berkumpul. Menunduk. Dalam hati mereka ingin memeluk. Namun, apakah Laksa akan menerima pelukan mereka, yang hanya buruh ini? Akhirnya, mereka urungkan niat tersebut.

Hari ini, Bu Sukma meliburkan para pekerja proyek. Semua harus ikut dalam acara syukuran penyambutan kepulangan Laksa.

Anak-anak berlari menyambut Bapak.

"Bapak," peluk Uma di dada Laksa. 

"Bapak sudah pulang. Alhamdulillah. Nanti Abang sama Uma yang temenin Bapak," sahut Aim memeluk lengan Bapak Laksa.

"Ini dari kami, T-tuan."

Pak Dede menyerahkan hadiah topi dan selimut, yang langsung dipakaikan pada Laksa.

"O-opi?" tanya Laksa tak sepercaya diri dulu. Naya tetap di sisi Laksa. Ikut membenarkan selimut yang tadi Pak Dede pakaikan.

"Agar T-tuan tidak kepanasan. Dan badan Tuan tidak terkena debu pasir. Kami selalu menunggu Tuan di proyek. Apapun ... keadaan Tuan," ucap Pak Dede dengan mata menggenang.

Lantas Kus maju dan menyerahkan rantang baru di pangkuan Laksa. Ia memberanikan diri memeluk pria yang selama ini ia panggil gajah di belakang.

"Maafkan saya. Maafkan kami, Tuan. Kami rindu ... makan bersama Tuan di proyek. Saya rela dilempari rantang lagi kok, kalau makanannya nggak enak," senyum Kus. "Yang penting, Tuan sehat."

Kus menunjukkan helm yang ia pegang di tangan sebelahnya. "I-ini helm Tuan. Saya simpankan sampai Tuan kembali. Kami selalu berdo'a, Tuan Laksa ... bisa memimpin kami lagi," tutup Kus mengusap ingus dan air mata dengan lengan baju Koko terbaiknya. Baju yang ia beli Lebaran kemarin.

"Akasih ... "

Sepeninggal Laksa sekeluarga memasuki rumah, tangis pecah di halaman. Para buruh dan sales yang notabenenya adalah makhluk berjakun, tetap saling peluk. Lik yang badannya paling besar saja, cengeng bukan main. Ketegarannya tak sebanding dengan ukuran badan. Risma dan Rustini memeluk para bawahannya. 

Mereka bukan ketakutan lantaran stabilitas proyek akan gonjang-ganjing. Tetapi karena pria galak namun baik yang selama ini mereka anut dalam bekerja, tak lagi seperti dulu. Dan mungkin ... tak akan sama lagi ... selamanya.

Berbulan-bulan pekerja rindu tak melihat Laksa. Keinginan menjenguk hanya diwakilkan beberapa mandor saja. Itu pun dalam waktu terbatas.

Hanya do'a terbaik, yang bisa mereka panjatkan untuk Tuan Laksamana Latif mereka, yang telah mengayomi selama beberapa tahun terakhir.

---------------

Laksa sedang menatap langit dari teras kamar barunya di lantai satu. Tak terhitung berapa kali Laksa menitikkan air mata di depan Naya. Laksa merasa tak berguna. Memberi nafkah lahir tidak, apalagi batin. Alih-alih batin, buang air saja, ia membutuhkan bantuan istrinya.

Naya juga tak pernah lelah meyakinkan Laksa selama empat bulan ini, jika mereka akan melewati ujian ini.

Entah sudah yang keberapa kali, Naya memeluk Laksa yang sedang hilang kepercayaan diri seperti ini. 

"Jalani saja. Kita jalani ya, Mas. Allah sedang menguji kesabaran dan keikhlasan Mas. Juga saya dan sekeluarga."

"Maf ... Mafkan ... Aku ... "

Naya mengangguk mantap. Setiap kali Laksa meminta maaf, Naya akan menerima maaf pria ini. Naya tak akan menolak pun tak memberi maaf. Setidaknya, semoga dengan ucapan maaf ini, hati Laksa terasa lebih lega.

"Naya bacakan lagi ya?"

Satu hal yang Laksa masih semangat ingin dibantu, adalah ia ingin mendengar kelanjutan ayat hafalan juz 29-nya. Di bantu Aim dan Naya, bergantian. Laksa akan menyelesaikan janjinya. Ia berjanji. Apapun keadaannya. Pasti selesai.

----------

Berapa bab lagi ya? 5 bab siap?
Pungguk ini ada sequelnya lho. Cerita Aim dan Uma.

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Where stories live. Discover now