8# Kiri apa kanan?

111 87 17
                                    

"Bersembunyi supaya keberadaannya semakin dicari."
-Ganendra Aksara-

***

Bel jam istirahat baru saja berbunyi. Narra dan Hanum berjalan menuju kantin, tapi Narra tiba-tiba teringat satu hal. Mading.

"Han, Lo duluan deh.." Ujar Narra. "Pesenin gue mie ayam aja 1, yang pedes. Entar gue nyusul."

Hanum menatapnya bigung. "Lo mau kemana emangnya?"

"Gue ada urusan bentar." Ucap Narra seraya berlari menuju mading. Mading SMA pelita letaknya di depan ruang guru, berlawanan dengan arah kantin.

Sesampainya di depan ruang guru Narra membaca satu persatu artikel yang terpampang di mading. Ternyata benar, beberapa artikel membahas tentang sosok peri yang dikatakan Agas kemarin.

Namun bukan itu yang mencuri perhatian Narra. Matanya tertuju pada secarik kertas dengan tulisan tangan yang ditulis entah oleh siapa. Sebuah surat terbuka, untuk Sang Peri.

Untuk kamu yang mungkin aku kenali atau mungkin juga tidak..
Aku berterimakasih untuk setiap langkah kecil namun berarti besar yang sudah kamu lakukan.

Aku yakin kamu manusia, sama seperti aku dan ribuan manusia lainnya disini.
Kita sama. Tapi mungkin kamu memiliki hati yang sedikit berbeda.
Hati yang besar, hati yang penuh dengan ketulusan.

Semoga hati itu selalu bertambah besar, sehingga tak hanya cukup untuk menampung semua ketulusan tetapi juga kebahagiaan yang selalu aku doakan.

Semoga,, hatimu selalu dipenuhi kebahagiaan.

G.A.W

Seketika Narra merasakan desiran hangat mengalir ke seluruh tubuhnya. Membuat senyuman kecil terkembang di bibirnya.

"Bersembunyi supaya keberadaannya semakin dicari."celetuk Ganen yang tiba-tiba berdiri di sebelah Narra.

"Maksud lo?!" Narra menatapnya gusar.

Ganen balas menatapnya dengan tatapan sinis. "Ko lo sewot? Kan yang gue omongin bukan elo."

Narra melengos pergi. Keberadaan Ganen sudah membuatnya hilang mood. Bergegas ia menuju kantin, menghampiri Hanum yang yang sudah duduk bersama Reno disana.

"Mana punya gue?" Narra menanyakan pesenan mie ayamnya tadi.

"Lo ga liat Abang nya ga jualan? Tuh.." Hanum menunjuk roda mie ayam yang kosong itu dengan dagu nya.

Narra menghela napas. "Gue makan apa donk?"

Hanum menggelengkan kepala seraya mengangkat kedua bahunya.

Narra mengedarkan pandangannya ke sekeliling kantin. Mie ayam, bakso, bakso tahu, batagor, satu persatu stand makanan ia baca. Tapi tak ada satupun menu yang membuatnya bernafsu makan.

Last choice, menu tersering yang ia pesan terlintas dipikirannya. Narra beranjak dari tempat duduknya menuju stand Bu Rina.

"Bu Nasi kuning satu."

"Bu Nasi kuning satu."

Suara sumbang Ganen lagi-lagi mengganggu telinga Narra. "Lo lagi...lo lagi.."

"Tinggal 1 lagi nih, Mas... Neng..Nasi nya habis.." Ucap Bu Rina.

"Buat saya aja, Bu.. saya duluan yang pesen." Balas Narra.

"Enak aja." Ganen sewot. "Gue duluan yang pesen."

Narra mendengus kesal. "Posisi kaki gue lebih depan dari kaki lo, berarti gue duluan yang nyampe sini."

Ganen berdecak. "Lo kira lo pesen makanan pake kaki? Suara gue lebih dulu kedengeran sama bu Rina. Artinya gue duluan yang pesen."

"Tapi, bu Rina lebih dulu liat muka gue dari pada muka lo."

Ganen tertawa sinis. "Emang di muka lo ada tulisan 'saya pesan nasi kuning'?!"

Bu Rina tiba-tiba menarik tangan mereka berdua dan membuat keduanya duduk bersaman di sebuah bangku kantin. Ia lalu membawakan sepiring nasi kuning dengan dua buah sendok.

"Nih makan barengan. Ibu kasih gratis."

"Kalian ini, tiap kesini berantem terus... nanti udah gede tau-tau ngirim undangan nikah loh."

"Dih ogah." Narra menyilangkan kedua tangannya di dada.

Sementara Ganen dengan cueknya melahap Nasi kuning di depannya. "Naskun bikinan ibu tuh emang juara enaknya.."

"Alah...mentang-mentang dikasih gratisan." Bu Rina terkekeh.

Ganen tertawa dengan mulut penuh nasi kuning. "Ganen serius bu.."

"Eh lo ko seenaknya aja sih makan?!" Lagi-lagi Narra sewot.

"Lo bilang tadi ga mau. Yaudah buat gue aja."

"Gue juga laper."

"Yaudah makan lah. Ga nunggu gue suapin kan?!"

Narra menggelengkan kepalanya.

Rasa lapar Narra akhirnya mengalahkan gengsinya. Sesuap demi sesuap nasi kuning meluncur dengan mulus masuk ke mulutnya.

Sesekali Ganen mencuri pandang perempuan di sebelahnya itu. Wajahnya masih saja cemberut padahal setengah porsi nasi kuning hampir dihabiskannya.

"Bibir lo belepotan tuh." Suara Ganen membuat Narra menghentikan makannya. Ia lalu mengambil tissue dan mengelap bibirnya.

"Bukan disitu." Ucap Ganen. "Sebelah kiri."

Narra lalu mengusap bibir sebelah kiri nya.

"Bukan kiri lo... tapi kiri gue!"

"Iya ini kan kiri." Narra bersikukuh.

"Kalo kiri gue berarti kanan elo."

"Kan bibir gue, jadi kiri gue donk."

"Tapi yang belepotan sebelah kanan."

"Tadi lo bilang kiri."

"Kiri gue, Narra.." Ganen menghela napas kesal. "Berarti kanan lo!"

"Bodo amat!" Bentak Narra. Ia tak meributkan lagi bagian bibir yang mana yang belepotan.

Gemas dengan tingkah perempuan disebelahnya itu, Ganen akhirnya mengusap bibir Narra dengan ujung jarinya. Selama beberapa derik mata mereka saling bertemu. Perempuan yang biasanya tak bisa berhenti bicara itu kini terdiam menatapnya. Tatapan yang tak sesinis biasanya.

Menyadari mereka saling bertatapan, Narra lalu memalingkan wajahnya. Begitupun dengan Ganen. Tiba-tiba saja keduanya merasakan suasana canggung luar biasa.

"Kotor deh tangan gue." Dumel Ganen tiba-tiba.

"Ya lo ngapain ngusap bibir gue pake tangan lo?" Tanya Narra gusar.

"Trus kalo ga pake tangan pake apa? Pake bibir?!" Ganen bertanya balik.

Pertanyaan Ganen membuat pikiran Narra berkeliaran kesana kemari. Matanya tiba-tiba tertuju pada bibir Ganen. Bibirnya tampak penuh dan berwarna kemerahan.

Bahkan lebih bagus dari bibir gue...

Narra menggelengkan kepalanya, berusaha membuyarkan pikiran nakalnya tadi. Sementara Ganen masih saja menatapnya, wajahnya tampak kebingungan melihat tingkah gadis itu.

Kali ini pun sama, tatapan Ganen membuat jantungnya berdegup kencang. Kenapa sama Ganen?

Narra meraup wajah Ganen dan mendorongnya menjauh dari wajahnya. Tanpa berkata-kata ia kemudian berlari menjauh dari kantin.

"Kenapa sih jantung gue?!" Narra memukul-mukul dadanya sendiri.

"Apa ini gejala sakit jantung?"

"Harus ke dokter nih gue.."

FraternitéWhere stories live. Discover now