Sahabat? ntahlah....

24 24 28
                                    

Persahabatan dilandasi oleh sebuah rasa, bukan sebuah kedudukan atau kehormatan. Apalagi tolak ukur harta!.

...

Setelah libur semester, hari ini adalah hari Senin dan hari pertama sekolah kembali. Sekarang Rici sudah resmi menjadi kelas dua belas IPA 5.

"Ibu, kami berangkat dulu." Rici dan Rico mencium punggung tangan Risha--Ibu Rici dan Rico.

"Hati - hati di jalan nak." pesan Risha kepada Rici dan Rico.

Rici mengangguk. Menjalankan sepeda motornya menuju sekolah dasar untuk mengantarkan Rico terlebih dahulu. Sekolah Rici dan Rico termasuk sekolah elit jadi, mau tidak mau setelah pulang sekolah nanti Rici akan mencari pekerjaan setengah hari setelah mengantar Rico pulang ke rumah. Karena Risha sekarang hanya membuka jahitan di depan rumah nenek.

"Rico, belajar yang benar ya." pinta ku sangat berharap Rico menjadi orang yang sukses dan rendah hati.

Rico mengangguk, mencium punggung tangan Rici dan membalikan badanya memasuki area sekolah.

Rici mempunyai tiga sahabat, namanya Pita, Leta, dan Dela. Pita dan Leta adalah sahabat Rici sejak Sekolah menengah pertama sedangkan Dela sudah sedari sekolah dasar bersama Rici.

Rici memarkirkan sepeda motornya di area khusus motor. Rici sedikit berlari - lari kecil menuju kelasnya hanya untuk bercerita keluh kesah dan masahal keluarga pada sahabtanya.

"Rici." panggil seseorang dari arah belakang yang sangat Rici hapal suaranya. Yap! Di belakang sana ada Dela, Leta, dan Pita. Sedangkan yang memanggil Rici adalah Pita si gadis bermulut pedas tapi tidak pernah Rici merasa sakit hati dengan ucapan Pita selama ini.

"Gue dengar bokap Lo mau nikah lagi?" Pita menaikan satu alisnya seraya bersedekap dada. Memandang Rici dengan tatapan remeh.

"Gue tau dari Tv, bokap Lo mau nikah lagi sama model Sea 'kan?" Rici mengangguk membenarkan perkataan Pita.

"Wanjay Sea fans berat gue?" heboh Leta yang di jawab anggukan kepala oleh Pita.

"Wah, pantes aja bokap Lo berpaling Ric. Lo liat bodynya Sea yang aduhai ini, behhhhh gak bakal ada laki - laki yang gak tergoda sama Sea. Gue aja yang cewe seneng liatnya apa lagi laki - laki." cerocos Leta sesekali menunjukan foto Sea dari ponselnya. Memperlihatkan pada Rici.

"Jadi, gosip itu bener?" tanya Dela yang sedari tadi diam. Rici mengangguk, lalu menunduk sesaat menahan tangis dan air matanya supaya tidak keluar.

"Ayah sama ibu cerai." Kata Rici dengan suara yang sangat lirih.

"Terus Lo ikut siapa Ric?" tanya Leta.

"Bokap nya lah Let ya kali Rici ikut sama ibunya. Apa lagi bokapnya Rici mau nikah sama Sea , berlipat - lipat ganda tuh harta huh!"

"Gue ikut ibu Let."

"What!" pekik Pita. "Lo serius ikut ibu lo? Miskin dong sekarang. Hah! Otak Lo dimana sih Ric, kenapa Lo gak ikut bokap lo aja yang kaya raya. Sekarang Lo kesekolah naik apa?"

"Yang pasti gak naik mobil. Kalo pun naik mobil pasti angkot." sahut Rela menatap Rici malas.

"Sekarang Lo tinggal dimana?" tanya Leta.

"Gue pindah lagi ke rumah nenek."

"Ogah gue maenya."

"Del, ko ngomongnya gitu. Lo 'kan waktu kecil sering maen ke rumah gue."

"Itu 'kan dulu sebelum gue jadi orang kaya. Sekarang sih kalo gue maen ke rumah Lo yang ada badan gue bentol - bentol." sinis Dela.

"Gue bukan sahabat Lo lagi Ric. Gue duluan." pamit Dela pada Pita dan Leta.

"Otak Lo gak di pake sih. Lo harusnya sadar, Lo itu udah miskin jadi gak pantes sahabatan lagi sama kita!" Pita memutarkan kedua bola matanya malas seraya berjalan mengikuti Dela.

"Kenapa Lo gak ikut sama bokap Lo aja Ric?" tanya Leta.

"Gue gak tega sama ibu Let. Lo gak bakal ninggalin gue kaya Dela sama Pita 'kan Let?" tanya Rici yang ntah sejak kapan air matanya sudah jatuh mengenai kedua pipinya.

"Kalo Lo mau pergi, pergi aja gak usah ngomong apa - apa lagi. Cukup Dela sama Pita aja yang udah bikin gue sakit hati." Rici menatap penuh harap kepada Leta.

"Rici," panggil Leta yang memberikan tatapan iba.

"Hidup itu seperti roda, gak bakal yang kaya selalu kaya dan gak bakal yang miskin selalu miskin. Begitupun persahabatan gak bakal selalu menjadi sahabat. Masalah selalu ada di mana - mana Ric." tiba - tiba saja kedua tangan Leta mengambil sesuatu di pergelangan tangan Rici, yaitu sebuah gelang yang menjadi simbol persahabatan mereka.

"Makasih untuk beberapa tahun kebelakang." Leta memperlihatkan gelang itu kehadapan Rici sebelum Leta menyusul Dela dan Pita.

"Sama - sama." lirih Rici. Sebelah tanganya mengusap kasar air mata yang terus saja berjatuhan. Sedikit merapikan kerah bajunya dan rambut lalu Rici berjalan menuju kelas.

Huh.

Rici memejamkan mata sejenak sebelum masuk kedalam kelas. Tempat duduknya berada di barisan ketiga pojok kanan, bersama Dela.

"Dela mau kemana?" tanya Rici ketika ingin duduk di samping Dela yang sedang memegang tas ranselnya.

"Gue mau pindah tempat duduk." jawab Dela malas. Sebelah tangan kananya menggelinting ujung rambut panjangnya. Itu kebiasaan Dela.

"Kalo gak mau duduk sama gue, biar gue aja yang pindah."

"Eh gak usah repot - repot, mending gue aja yang pindah. Soalnya kalo gue duduk disini takut bentol - bentol badan gue. Mending Lo di sini aja ya gak usah kemana - mana." jelas Dela memperlihatkan senyum terpaksanya.

"Kuman 'kan harus diam di tempat. Kalo berkeliaran nanti banyak penyakit hahaha."

Hampir seisi kelas menertawakan Rici karena ucapan Pita barusan.

"Sifa, Lo duduk sama dia." tanpa banyak omong, Sifa mengambil tas dan beberapa bukunya menuju tempat di samping Rici sebelah tembok.

Sifa ini tergolong murid paling pendiam tapi tidak culun. Lihat saja pakaiannya yang rapih, tas, ponsel yang ber- merek dan juga di kedua telinganya ia sumpel pakai airphone. Oh satu lagi, kalung ber - rantai dengan bandul bintang dan juga bulan sabit terkesan sangat manis di kulit putih pucatnya.

"Sifa, maaf atas perilaku Dela ya."

"Hm."

"Lo gak keberatan 'kan duduk sama gue?"

"Hm."

"Sekali lagi Lo bilang 'Hm' gue daftarin jadi personil Nisa Sabyan!" kesal Rici. Sifa menatap Rici aneh dengan satu alis Sifa naikan dan satu airphone dia lepas.

"Oh gue lupa pasti Lo gak denger gue ngomong apa ya 'kan? Oke biar gue ul-"

"Gue denger." Sifa kembali menyumpal telinganya dengan airphone.

"Lo orang kaya 'kan Sif?" tanya Rici matanya menatap kalung berbentuk bintang dan bulan sabit di perpotongan leher Sifa.

Sifa melihat arah pandang Rici dan memasukan kalungnya kedalam merah baju seragam. "Kenapa?" tanya Sifa.

"Lo belum jawab pertanyaan gue."

"Lo mau apa? Mobil? Rumah? Gue beliin sekarang juga."

"Tuh 'kan bener berarti Lo orang kaya Sif."

"Terus?"

"Ya gak ada keterusan ya." dengus Rici menghadapkan badanya kedepan.

"Mobil? Rumah? Gimana? Jadi gak?" tanya Sifa berturut - turut.

"Sombong lo!"

...

When It RainsWhere stories live. Discover now