π Daksa itu keren π

59 1 0
                                    

Terkadang, setiap laki-laki itu punya tujuan ataupun alasan mengapa satu wanita itu pantas untuk di cintai.

Ini bukan soal Mentari yang masih menangis sampai-sampai hati yang Angkasa miliki terbawa perasaan oleh tangis nya. Bukan, bukan itu.

Menyukai, mencintai, bahkan sampai rasanya ingin memiliki itu normal. Tapi kalau terus-terusan, mau sampai kapan?

Angkasa bukannya belum ikhlas merelakan Daksa memiliki Mentari, hanya saja ia selalu dibuai oleh hatinya, bahwa hati itu masih menginginkan gadis itu.

Kalau Angkasa sendiri, ia siap melepaskan nya. Tapi hatinya? Ya...mau bagaimana lagi.

Kalau di tanya mau sampai kapan terus menerus merasakan hal yang udah gak seharusnya di rasakan, maka jawaban nya hanya menungguㅡ menunggu sampai waktunya tiba untuk melepaskan.

Di sini, di rumah sakit, Mentari kembali datang, tapi tidak dengan menampakkan wajah di hadapan ayah dan bunda.

Mentari datang diam-diam, dan hanya ada Angkasa yang menemaninya di luar. Ayah dan bunda itu selalu di dalam, katanya takut Daksa terjadi apa-apa.

"Ri, semua orang itu butuh kekuatan, tapi mereka gak pernah menunjukkan nya. Kalau boleh, kamu harus berhenti menangis dalam diam, Ri"

Mentari semakin menangis, menutup mulutnya rapat-rapat seakan takut akan meledak jika di lepaskan. Perlahan ia mengatur nafasnya, lalu di hembuskan perlahan meskipun rasanya cukup terasa berat. "Aku juga takut Daksa kenapa-kenapa" Katanya.

"Ada ayah dan bunda, kamu jangan khawatir"

"Aku gak bisa untuk gak khawatir, Angkasa"

"Aku tau" Setelah berucap, Angkasa menghela nafasnya.

Angkasa berfikir, kenapa harus ada orang baru yang mulai mengenal apa itu tangisan akan ketakutan sekaligus kehilangan. Mentari mungkin takutㅡ takut waktu akan memberhentikan semuanya.

Akhirnya, setelah selesai dari mereka masing-masing menenangkan diri dari ketidak ketenangan, Angkasa kembali berucap. "Mau jalan-jalan ke taman?"

Mentari menoleh, menatap sendu ke arahnya. "Mau"

Baik Angkasa dan Mentariㅡmereka beranjak bangun, lalu sama-sama melangkah menuju luar.

Kebetulan, matahari terik itu sedang di halang awan. Terasa panas tapi tidak terlalu parah. Duduk di atas kursi kayu di bawah pohon bersama pengunjung rumah sakit dan beberapa pasien yang datang dengan tujuan yang sama seperti merekaㅡmencari udara segar itu sama seperti ketika orang mendapatkan uang yang banyak. Rasanya sangat amat bahagia, sampai tidak rela jika harus di tolak karena sungkan.

Mereka diam, tidak ada yang mau berbicara. Bagaimana tidak? Di saat kesedihan masih menyelimuti diri, apa orang-orang seperti itu harus tertawa di tengah kebohongan? Rasanya terlalu payah jika ada yang melakukan hal begitu.

Tertawa di tengah bising, lalu kembali muram ketika sampai di rumah. Astaga, semoga ada banyak penghuni bumi yang masih bisa tertawa meskipun ia sedang hancur se hancur-hancur nya. Meskipun sulit, tapi jika di lakukan akan benar-benar lebih sakit.

Ternyata, langit belum cukup indah untuk meredakan hujan di hati mereka. Masih saling diam tanpa mau bicara, lalu kadang menunduk bahkan sampai termenung kosong menatap depan.

Hujan lebat itu akan selalu turun jika yang membuat hujan itu belum juga segera bangun.

Sebenarnya sudah bangun, hanya saja si pemilik nama matahari itu belum juga di perbolehkan masuk menengoki pacarnya. Sebab, bunda masih melarangnya.

Toko Buku Kenangan Where stories live. Discover now