Nostalgia

2 0 0
                                    

       Langit menampakkan semburat hitamnya. Tak ada semburat jingga di sana. Temaram. Itu yang tampak. Aku sudah duga hujan akan segera turun, namun langkahku sengaja diperlambat. Aku berjalan meninggalkan pelataran sekolah. Siswa-siswi sudah meninggalkan pelataran sekolah sejak bel berbunyi. Hanya menyisakan beberapa orang saja, mungkin sedang menunggu jemputan. Sedang aku masih berkutat dalam pikiran.
Aku jadi teringat masa-masa sepuluh tahun silam.

                    
                                    ***

       Petir bergemuruh, air langit jatuh. Awan hitam menyelimuti.
Anak perempuan berkepang dua berdiri di gerbang sekolah. Ia baru saja duduk di bangku kelas satu sekolah dasar, tengah menunggu sang Ayah menjemput. Rinai hujan baru menurunkan rintiknya. Sejauh mata memandang, Ia melihat Ayahnya sedang melaju motor menuju ke arahnya.

      “Papaahh!” Ia bersorak sorai menyambut kedatangan Ayahnya.
Awan cerah terlihat di wajahnya, yang tadinya begitu masam. Kini senyum riang. Ia pikir tidak akan dijemput. Tadinya anak kecil itu ingin pulang sendiri, namun diurungkan niatnya. Karena takut orangtuanya khawatir.

      “Maaf ya, Papah telat jemput Senia. Ayo pakai jas hujannya, Sayang!”
Kekhawatiran, kasih sayang, serta kepedulian begitu tampak dari sikap yang diperlihatkan Ayahnya.
Ayahnya segera memakaikan jas hujan itu ke tubuh anaknya. Namun gerakannya tertahan, karena ditahan oleh tangan Senia.

      “Enggak usah, Pah. Kita main hujan saja. Boleh ya, Pah? Untuk kali ini saja.” Senia memohon, harap-harap pintanya dituruti kali ini. Berkali-kali dibilang tidak, namun berakhir dengan mereka pulang bersama hujan yang mengguyur tubuhnya. Tanpa dibalut pelindung.
       Senia amat senang. Tertawa riang bersama Papahnya di atas motor.






***




      Kelamaan melamun, tak terasa hujan mulai turun perlahan. Aku malah bernostalgia masa-masa sepuluh tahun silam. Tersayat sembilu masa lalu lagi. Hatiku tiba-tiba perih, mataku memanas.
Sudahlah Senia, lupakan Papah! Lupakan kenangan-kenangan itu. Papah juga pasti sudah tidak lagi memikirkan kamu, Senia. Ia sudah bahagia di sana.
Tetapi siapa sih yang bisa menghapus kenangan dari memori ingatannya?
       
     Entah kenangan buruk ataupun baik, semua itu tetap dikenang. Aku pun sama. Hanya bedanya, dengan sengaja aku mengoyak luka lama itu lagi. Mengingatnya kembali. Tidak mudah rasanya melupakan kenangan bersama orang yang berarti dalam hidup. Waktu benar-benar seperti berjalan lamban. Hari-hari begitu membosankan.
Tenang, Senia. Ini hanya awal. Nanti juga kau akan terbiasa.
Tidak semua selalu bersama-sama. Semuanya selalu ada perpisahan.

Berdamailah, Senia ...

Berdamai ...

















    “Mau bareng enggak?” Laki-laki bermotor ninja membuyarkan lamunanku.

               






















***
                

SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang