Thirty

150 28 3
                                    

Serapi apa pun kamu menyembunyikan sesuatu, pasti akan terlihat juga. Layaknya tikus yang mati, lambat laun akan tercium juga.

©Letter of Destiny©

🕊️🕊️🕊️🕊️

Hari yang dinanti-nanti beberapa bulan belakangan oleh mahasiswa semester akhir, akhirnya tiba juga. Perjuangan yang mereka lalui dengan penuh emosi dan air mata akhirnya terbayarkan dengan mereka yang sudah sampai pada tahap ini. Di mana, mereka sudah bisa menyandang gelar yang selama ini mereka perjuangkan dan inginkan.

Rasa bahagia dan haru juga tengah dirasakan oleh Haidar, Gavin, dan juga Nizam. Ketiganya dengan begitu percaya diri keluar dari ruangan yang begitu membahagiakan. Senyum yang sedari pagi mereka tunjukkan belum luntur juga, saking bahagianya. Terutama Nizam, dia juga sangat bersyukur akhirnya impiannya bisa terwujud karena bisa diwisuda bareng-bareng dengan Haidar dan juga Gavin.

"Aaa, congratulation Abangnya aku!" pekik Haura seraya memeluk Haidar saat mereka berjalan menghampirinya.

Haidar mengangguk, lalu membalas pelukan sang adik. "Makasih, Ra."

Haura pun melepas pelukannya, lalu memberikan buket yang sedari tadi dia pegang. "Ini untuk Bang Haidar," ujar Haura seraya tersenyum lebar.

Haidar mendengkus, saat melihat buket yang diberikan oleh adiknya. "Kamu kasih buket yang ikhlas dikit, dong, Ra. Masa isinya uang mainan lima puluh ribuan, sih? Kenapa bukan uang beneran coba?"

Haura menampilkan cengirannya, sembari mengangkat sebelah tangannya dan menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya. "Ya maaf, Bang. Aku mana ada uang sebanyak itu. Lagian, buket dari aku lemitid edition tau, nggak ada tuh aku lihat orang-orang di sini yang bawa buket kayak aku."

Haidar hanya mengerling, tetapi dia tetap mengambil buket dari Haura.

"Nggak mau ucapin selamat juga nih, Hau sama kita berdua?" sindir Nizam.

Haura lantas maju mendekati Nizam dan juga Gavin yang sedari tadi hanya diam sembari menyaksikan perdebatan kecil antara dirinya dan Haidar.

"Selamat, Kak Nizam!" ujar Haura seraya menyalimi tangan Nizam dan menaik turunkannya beberapa kali dengan begitu semangat.

"Makasih. Buket buat gue mana?" tanya Nizam seraya menengadahkan sebelah tangannya ke hadapan Haura.

Haura menggeleng seraya menyengir. "Buket buat Kak Nizam sama Kak Gavin nggak ada. Soalnya buat buket untuk Bang Haidar makan waktu yang lama, soalnya aku harus ngumpulin uang mainannya dulu, hehehe."

"Lo nggak asik, ah! Pilih kasih! Katanya kita berdua juga Kakak lo, tapi lo cuman ngasih buket ke Haidar," protes Nizam tidak terima.

"Kalau gitu untuk hari ini kalian berdua bukan Kakak aku dulu, besok baru jadi Kakak aku lagi, ya," ujar Haura lalu tertawa. Kemudian beralih menyalimi tangan Gavin. "Congratulation, Kak Gavin. Yakin, deh nanti Kak Gavin kalau udah kerja di kantornya Om Andre bakalan jadi idola." Setelah mengucapkan kalimatnya, Haura kembali tertawa dan ucapannya barusan mendapat sentilan pelan dari Gavin.

"Makasih, Hau. Dan Lo jadi salah satu penggemar gue, right?" Haura mengangguk semangat, lalu kembali tertawa.

"Selamat buat kalian bertiga. Ayah bangga," ujar Andre--ayah Gavin yang baru saja tiba di antara mereka.

Letter of Destiny [FINISH]Where stories live. Discover now