15. Mutlaknya Kekuatan Waktu

268 53 0
                                    

Adara

Satu retakan ditambah padatnya rencana pendirian perusahaan IT Semesta dan Aji sama dengan jurang merentang antara diriku dan Semesta. Renggangan ini melampaui semua satuan jarak yang bisa diukur umat manusia. Karena tidak bisa diukur, sulit memperkirakan batasannya. Nyaris tak kasat mata.

Semesta dan Aji mulai membangun mimpi mereka untuk membuat sebuah perusahaan IT berupa penyedia aplikasi bagi para pecinta alam nusantara. Pegiat Alam, Semesta memilih nama itu sebagai konsep awal usahanya. Pada dasarnya Pegiat Alam adalah sebuah media sosial, tetapi dikhususkan bagi para pecinta, pegiat, dan orang-orang yang berkecimpung di alam agar mereka punya wadah untuk saling terhubung, membagi hasil perjalanan dan bahkan sampai merencanakan ekspedisi bersama. Satu benang merah menghubungkan mereka semua, yaitu kecintaan pada alam.

Semesta sudah mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja. Sejak saat itu pula ia sibuk menyempurnakan purwarupa aplikasi. Tidak hanya itu, ia juga membuat profil Pecinta Alam lewat dunia maya, pergi ke banyak pintu-pintu pendakian untuk menggelar seminar tentang standar keamanaan sekaligus menjaring para pendaki untuk mencoba Pegiat Alam. Kini mereka sudah bersiap meluncurkan versi beta dengan pengguna berjumlah ratusan.

Waktu pasti berjalan cepat bagi Semesta sementara ia larut dalam berbagai kesibukannya. Apa dia bahkan memikirkanku? Karena sejak sebulan lalu setelah pembicaraan tanpa ujung itu, aku masih tetap merasa ada sesuatu mengganjal. Perasaan ketika ada yang tidak beres dengan pekerjaan dan seolah tahu kalau hal itu kelak akan menimbulkan masalah.

Aku sudah hampir menyerah di sambungan telepon ketigaku dengan Semesta. Suara telepon berdering lama lalu mati. Berkali-kali seperti itu. Aku melihat halaman chat Pak Kebo. Statusnya online, tetapi tidak satu pun teleponku dijawab.

Aku lagi meeting investor sama Aji.

Satu pesan singkat masuk, kemudian status online di bawah namanya menghilang. Aku mendongkol memasukkan ponselku kembali ke dalam tas. Aku memang pernah bilang sama Semesta, kalau aku tidak akan pernah marah dengan pekerjaannya. Namun, tetap saja rasanya menjengkelkan tidak bisa menghubunginya selama berhari-hari, sementara aku tidak tahu di mana dia sekarang.

Kamu di mana? Aku ingin bicara.

Balasanku sama singkatnya. Buru-buru kumasukkan ponsel ke dalam tas. Berharap tidak memikirkan Semesta setiap waktu itu mustahil. Terlalu dimabuk cinta memang tidak pernah baik, dan aku tahu diriku selalu begini, membiarkan pikiranku mengelana menjangkau hal-hal buruk. Sementara satu pertanyaan muncul dalam hati, walau sudah berusaha kutepis jauh tetap tidak bisa hilang. Apa Semesta juga memikirkanku seperti aku memikirkannya?

Dua hari kemudian, ketika akhirnya Semesta muncul di depan pintu rumahku, aku harus mati-matian memaku kaki ke lantai agar tidak berlari ke dalam pelukannya.

"Aku baru dari Gunung Slamet, ada camcer di sana." Semesta menurunkan tas carriernya ke lantai. Dari atas sampai bawah, ia kelihatan kusut.

"Camcer?" tanyaku tidak mengerti.

"Camping ceria sama sama anak-anak basecamp. Kita ketemu investor juga di Jogja," jelas Semesta.

"Oh," responku singkat. "Duduk, Ta." Sengaja aku panggil dengan Semesta, bukan Kebo. Agar dia tahu aku sedang serius.

"Kamu mau bicara apa?" Semesta duduk di bangku teras. Tidak seperti biasanya dia tidak mengeluarkan rokok dan pemantik, hal pertama yang selalu dilakukannya setiap kali duduk santai bersamaku. Syukurlah, hari sudah malam. Aku tidak ingin membawa bau tembakau sampai ke tempat tidur.

Kamu dari mana? Ngapain aja? Kenapa enggak balas teleponku? Chatku? Seluruh pertanyaan itu sudah diujung lidah. Namun, melihat wajah letih Semesta aku jadi tidak tega. Tubuhnya lebih kurus dibandingan sebelum dia mulai serius di Pegiat Alam. Setiap minggu pergi dari satu kota ke kota lain pasti mengubah seluruh pola hidupnya. Pola makannya tidak teratur itu pasti ikut berantakan.

Semesta Adara (TAMAT)Where stories live. Discover now