48. Kembali Bertemu

297 47 0
                                    

Adara

Rasanya sulit percaya, seseorang yang pernah menganggap pekerjaan adalah suaminya, menjadikan kelab malam sebagai hobi selepas pukul lima sore, dan meletakkan lelaki sebagai selingan di antaranya akan mengenakan gaun pengantin dan siap melangkah ke altar sebentar lagi.

Mataku terasa panas memandangi Mika begitu cantik dengan senyum mengembang di bibirnya. Setetes air mata jatuh di atas rangkaian bunga kecil di tanganku, satu tanganku lainnya memegang buket bunga milik sang pengantin.

Rasanya baru kemarin aku menyaksikannya berjuang begitu gigih mencapai Puncak Trianggulasi Gunung Merbabu dengan Aji menarik-narik kain jaketnya agar mereka terus bergerak. Rentetan protesnya dan omelan Aji hari itu masih terngiang jelas di telingaku. Siapa menyangka pertemuan mereka dua tahun lalu bermuara ke hari ini?

"Eh, jangan nangis! Make up-nya luntur nanti."

Aku menolak uluran jemari Mika untuk menyeka air mataku dan melakukannya sendiri dengan punggung tangan.

"Cengeng banget, sih!" ejeknya pelan.

Aku merapikan veil di belakang punggungnya dan meletakkan buket bunga di telapak tangannya. "Aji kayak dapat durian runtuh kalau pengantinnya secantik ini."

"You too look stunning." Mika menggenggam jemariku antusias. Tangannya terasa dingin karena gugup, tetapi ia berhasil menyembunyikannya di balik senyumannya. "Aku pikir Batsa terlambat kirim undangannya, aku pikir kamu enggak akan datang."

"I won't miss it for the world, Mika." Setelah mengurus uang sewa dan memastikan Griva menjaga pondokku selama aku pergi, aku kembali bersama Batsa ke Beshisar dan naik bus paling cepat ke Pokhara untuk mengejar penerbangan berikutnya.

Rasanya aneh setelah meninggalkan Indonesia setahun lamanya. Semuanya terasa sama. Seolah aku tidak pernah pergi, dan karena Braga adalah rumah keduaku, meninggalkannya juga tidak seperti sedang ke mana pun.

"Aku kangen," sekarang gantian air mata yang menggenang di pelupuk mata Mika. Aku sigap mengambil tisu dan mencegah air mata merusak riasannya. Kami berpelukan cukup lama sampai kedua orangtua Mika memperingatkan bahwa sudah saatnya berangkat ke gereja.

"Semesta," ucap Mika pelan, kepalan tangannya di jemariku berubah lebih erat. "dia akan jadi best men-nya Aji. Maaf, aku lupa kasih tahu kamu."

Satu sudut bibirku terangkat. Aku mengelus punggung tangan Mika dan melepaskannya dari jemariku. "Aku tahu. Dia sahabat Aji, tentu saja dia harus jadi best men."

Melihat ketenangan dan senyumanku, kerutan di dahi Mika mengendur dan kekhawatiran di wajahnya sirna. Perkataan singkatku seperti baru saja mengangkat beban berat di pundaknya.

Aku tidak akan melewatkan pernikahan Mika walau badai metor menghantam bumi sekali pun. Meskipun itu artinya aku harus menghadapi masa lalu.

Sudah sekian lama sejak kami putus. Seharusnya jalian apa pun yang pernah menautkan kami di masa lalu telah ikut hilang sempurna. Waktu dan jarak membentang di antara kami harusnya cukup membuatku mampu kembali menatapnya tanpa merasakan apa pun.

Aku sudah tidak pernah bertemu dengannya lagi. Hanya kabar samar yang kadang ikut terbawa bersama Aji dan Fandi. Selebihnya, Semesta kubiarkan hidup dalam satu dunia temaram dan samar di dasar hatiku. Sebesar itu luka yang pernah kuberikan kepadanya hingga ia sepertinya juga membuat dirinya sendiri lenyap dari duniaku.

Lantas, kalau tali penghubung itu sudah lenyap, kenapa hatiku tetap berdenyut tidak nyaman seiring langkahku yang makin dekat menuju ke tempat lelaki itu?

Waktu memberi arti perubahan bagi Semesta. Rambutnya masih tetap dibiarkan gondrong. Namun, tubuhnya terlihat jauh lebih kekar, kulitnya lebih legam, garis rahangnya keras bersama dengan raut wajahnya yang terasa lebih serius. Seolah waktu telah menempa setiap garis samar di wajahnya.

Kami hanya terpisah beberapa meter jauhnya, untuk pertama kalinya ia berada paling dekat dalam radarku. Namun, mata itu tidak berpaling melihatku. Tidak peduli berapa kali aku mencoba memerangkapnya dalam tatapanku, ia seakan tidak peduli, seolah aku tidak ada.

Aku berharap waktu turut membawa maaf kepadanya. Kupikir waktu pula akan membuatnya lupa dan perlahan ikut sembuh seperti halnya waktu telah mengikis perlahan semua luka dalam diriku. Semesta terlihat lebih gagah dari sebelumnya, tetapi di saat bersamaan terasa angkuh sekaligus ringkuh di balik wajahnya yang pongah.

Satu sunggingan senyuman. Aku hanya ingin memberinya itu dan memberitahunya bahwa aku sudah tidak apa-apa sekarang. Namun, melihat caranya menghindariku sepanjang malam, membisikkan sesuatu ke telinga bahwa mungkin Semesta masih sakit, dan itu ikut menghujamkan pisau ke dadaku lalu diputar sekalian ganggangnya. Luka yang kupikir sudah sirna itu ternyata bisa kambuh.

Hitunganku meleset sepenuhnya. Kami sama-sama berhadapan, tetapi tembok tak kasat mata itu masih ada. Butuh gada tempaan langit untuk meruntuhkannya. Setidaknya itu yang terbesit di pikiranku ketika melihat punggung bidangnya membelakangiku.

Hingga punggung itu berbalik dan untuk kali pertama setelah waktu merentang di antara kami, mata itu bersitatap denganku.

"Semesta."

"Adara."

Aku berusaha untuk tidak membuang pandangan ke lantai di bawah kaki, dan menatap ke dalam matanya. Ini hukumanku, merasakan sakit yang masih membara di mata Semesta setelah sekian lama.

"Apa kabar?"

"Ya, gini-gini aja," jawab Semesta singkat. Seperti dirinya dahulu, selalu singkat, bicara seperlunya, dan tanpa senyum basa-basi.

Sebaliknya, aku berusaha menarik ujung bibirku selebar mungkin. "Selamat atas pendakian kamu ke Jayawijaya kemarin," ucapku tulus. "kamu selalu ingin pergi ke sana."

Ide buruk menyebutkannya. Semesta bisa salah paham kalau aku masih mengingat hal-hal yang ia impikan dahulu.

"Kata Aji kamu sekarang tinggal di Braga. Selamat juga buatmu, kamu selalu ingin pergi ke Nepal." Perkataan Semesta di luar dugaan. Wajarkah bila seseorang yang harusnya membenciku masih bisa ingat perkataanku tiga tahun lalu?

Aku dan Semesta tidak akan pernah berdiri saling berhadapan seperti sekarang, menjadi siapa kami sekarang, kalau perpisahan itu tidak pernah terjadi. Novel pertamaku, Puncak Bintang, terbit karena aku menjadikan Semesta sebagai inspirasiku, lalu membuat kesedihan perpisahan kami sebagai bahan bakar untuk kembali mendaki dan menyelesaikan banyak naskah novel setelahnya.

Semesta juga tidak akan mencapai tempatnya sekarang andaikan aku masih bersamanya. Tamu Alam menjadi aplikasi sosial media paling populer di kalangan pendaki, ia menyempurnakan Jagat, lini produk peralatan kegiatan alam, dan membawa perusahaan rintisannya sukses bersama Aji.

Sendiri-sendiri kami berhasil mewujudkan mimpi masing-masing, menempatkan dunia di bawah kaki. Lalu kenapa kami berdua masih tidak baik-baik saja?

"Oke, selamat menikmati pestanya. Aku ... uh, aku mau ke sana dulu."

Kecanggungan di antara kami terasa menyiksa. Padahal kami ada di riuhnya pesta. Aku sudah tidak mampu lagi menatap mata tajam Semesta. Aku harus pergi sebelum denyar lukanya ganti menyayatku.

Namun, hal diluar dugaan terjadi. Tanganku terasa ditarik. Jemari Semesta bertaut di sana. Gapaian tangannya masih sama seperti dahulu. Keras, hangat, dan nyaman. Walaupun aku tahu banyak hal telah mengubahnya.

"Adara." Ujung mata Semesta berkedut, ia seolah sedang berperang melawan isi pikirannya sendiri.

"Iya, Ta?"

Semesta menelan ludah, kurasa bersama seluruh sisa keberaniannya. "Aku ada di Surabaya sampai akhir bulan depan. Kalau kamu?"

Mataku menyipit, berusaha memahami pembicaraan tak terduga ini. Belum sempat aku menjawab, Semesta sudah lebih dahulu menyahut.

"Mau mendaki lagi sama aku?"

Aku terkesiap.

"Untuk terakhir kalinya, Adara. Perjalanan terakhir kita."

Semesta Adara (TAMAT)Where stories live. Discover now