25. Ditahan Seutas Tali

246 40 0
                                    

Adara

"Semesta ngajakin nikah?" ulang Mika.

Ia nampak takjub. Bibirnya mengulum senyum antusias. Namun, sejurus kemudian ekspresi di wajahnya berubah begitu menyadari kekalutan di wajahku sendiri.

"Terus kamu jawab apa?"

Mika tidak perlu jawaban untuk pertanyaannya. Dari kerutan di dahi dan kegusaranku ia langsung bisa menebak. "Kamu bilang enggak mau," lanjutnya lebih untuk dirinya sendiri.

"Belum," koreksiku.

"Belum jawab? Itu artinya kamu bakal nolak dia."

"Enggak."

"Berarti mau nikah sama Kebo?"

"Enggak tahu juga!" aku buru-buru mengubur wajahku di bantal. Seolah itu akan menghentikan suara-suara bersahutan dalam kepalaku.

Mika ikut menghentikan interogasinya. Aku masih bisa merasakan tatapannya hampir melubangi belakang kepalaku. Aku tahu dia tidak akan berhenti sebelum mendapatkan jawaban pasti dariku.

Aku memohon-mohon kepada Mika supaya dia bisa meluangkan waktu di antara jadwal sidangnya untuk datang ke rumah. Emergency. Satu kata dariku dan Mika langsung berlari ke ke sini. Yah, dia tidak benar-benar berlari sih. Namun, aku tidak bohong. Ini memang benar situasi darurat.

Aku tidak akan bisa menghadapi Semesta setelah ajakan nikahnya kugantung begitu saja. Tidak mungkin menghindarinya selamanya, cepat atau lambat kami pasti bertemu. Ketika tiba waktunya, sebaiknya aku sudah menyiapkan diri dengan jawaban.

Mika mengambil kompres dingin di sisi ranjang dan meletakkannya di atas kakiku. Bengkaknya sudah mulai hilang, tetapi kadang masih terasa nyeri.

"Kamu ragu."

"Enggak," bantahku masih dengan wajah terkubur di bantal.

Aku mendengar Mika menghela napas. "Ra, mana ada orang diajakin nikah enggak bisa jawab, kalau dia benar-benar ragu sama orang itu."

Aku bangkit menghadapnya cepat. Mika selalu ada di sisiku. Dia sahabat terbaik dalam hidupku. Ia selalu punya cara untuk meluruskan isi kepalaku, menyuarakan hal-hal yang tidak bisa kulihat. Kali ini mungkin dia juga bisa membantu.

"Aku enggak pernah ragu sama Semesta."

"Lalu kenapa kamu enggak bisa jawab?"

Aku menggeleng lemah. Sebenarnya aku tahu pasti jawaban atas pertanyaan Mika. Aku hanya terlalu takut menyuarakannya. Mengatakan segala sesuatu dengan keras tidak selalu membuat segalanya baik.

"Ini hanya terlalu cepat banget buat kita," jawabku pelan. Aku mulai menggigiti kuku, kebiasaan lama yang timbul ketika aku merasa tidak aman dengan segala pikiranku.

"Enggak ada sesuatu yang terlalu cepat, Ra," bantah Mika. Ia meraih tanganku dan membawanya ke pangkuannya. "Kalian sudah kenal setahun. Kalau menurut kamu ini terlalu cepat, butuh berapa lama lagi buat kamu? Tiga tahun? Lima tahun? Setelah lima tahun apa kamu enggak bakal bilang hal yang sama?"

"Well said, Mbak Mika." Aku mengerucutkan bibir. Merasa terkhianati karena dia tidak memihakku.

Mika terkekeh. "Aku enggak ngerti harus bilang apa. Mestinya aku ikut bahagia. Tapi lihat ekspresi kamu bingung kayak gini aku jadi ikutan bingung."

Aku dan Mika pernah berjanji, apabila tiba saatnya bagi kami untuk menikah, kami akan memberitahu satu sama lain lebih dahulu. Mika adalah orang pertama yang kuberi tahu soal ini, tetapi entah kenapa rasanya salah. Ini tidak seperti dalam bayanganku dulu. Kupikir aku akan memberitahu Mika secara dramatis, sangat bahagia sambil menunjukkan cincin melingkar di salah satu jemariku. Namun, kenyataannya hanya ada keraguan melingkupiku kali ini.

"Kenapa kamu mencintai Semesta?" tanya Mika kemudian.

"Kenapa pertanyaan itu terus-terusan berputar dalam hidupku akhir-akhir ini?" tanyaku balik. Tawaku terasa getir.

"Jujur sama aku Ra, apa yang menahan kamu bilang iya untuk Semesta? Kalau kamu enggak bisa jawab pertanyaanku tadi, berarti mungkin keraguan kamu beralasan. Kamu enggak secinta itu sama Semesta sampai mau menikah sama dia."

"Hanya saja ...." kata-kataku menggantung di udara. Aku melihat langit-langit, mencoba menjabarkan isi kepalaku di atas sana.

"Aku takut." Perkataanku terdengar lirih. Aku menggigit bibir keras, kilasan memori memelesat cepat dalam kepalaku seolah baru kemarin semua itu terjadi.

Mika bisa menangkap maksudku. Kami berbagi pengertian yang sama dalam pandangan kami. Alasan ketakutanku, keraguanku, sekaligus tali yang menahan kakiku untuk melangkah.

Masih jelas dalam ingatanku bagaimana ibu menghabiskan malam-malam sunyi dengan tangis tertahan, matanya menolak untuk hidup setelah ayah meninggalkannya, jiwanya perlahan mati dan terisap oleh cinta yang dulu juga pernah memberikan kebahagiaan kepadanya. Rasa sakit disimpan ibu, berpikir biarlah dia menanggung semua akibat, tanpa tahu bahwa segala rasa sakit itu menular ke anak-anaknya.

Aku tidak pernah mau menjadi seperti ibu nomor dua. Sebagian diriku takut pada sebuah lembaga bernama pernikahan. Aku tidak pernah ragu menerima cinta dari seorang lelaki seperti Semesta, karena nyatanya sepanjang hidup aku terus mencari bentuk perhatian yang tidak pernah ayah berikan kepadaku. Hanya saja, menyangkut pernikahan, aku tidak bisa membayangkan diriku ada di dalamnya.

Aku tahu Semesta bukan ayah. Namun, tak peduli sebesar apa pun rasa cintaku kepadanya, tali menahanku itu tetap tidak bisa enyah.

Mika maju dan menarikku ke dalam pelukannya. Tangannya membelai belakang kepalaku lembut sambil berbisik di telinga. "Dia pria baik, Adara."

"Aku tahu," kataku nyaris berbisik.

"Harusnya kamu lihat cara dia melihat kamu, Ra."

Bagaimana cara Semesta melihatku? Apa ada yang tidak kusadari ketika bersama Semesta? Pertanyaan itu bertahan beberapa lama dalam pikiranku, menambah daftar panjang hal untuk direnungkan di dalam sana, sebelum aku memutuskan untuk menyingkirkannya jauh-jauh.

Mika menarik tubuhnya. Ia mendesah melihatku. "Apa pun keputusan kamu, jangan pernah ragu. Terutama soal pernikahan, Ra. I'll always have your back."

Aku sedikit tersenyum mendengar kalimat terakhir Mika. Kami selalu mendukung satu sama lain, kadang aku merasa tidak pantas mendapatkan teman sebaik dirinya. Ia lebih seperti kakak perempuan yang tidak pernah kumiliki.

Tubuhku kurebahkan di pangkuannya. Mika membelai sisi rambutku perlahan. Dari luar aku bisa mendengar suara Banda berbicara di telepon dengan temannya. Kupejamkan mata, mencoba untuk berkonsentrasi pada satu hal. Cepat atau lambat aku harus mendiskusikan ini dengan Semesta. Setidaknya ia harus tahu alasan keraguanku. Bukan kepadanya, melainkan kepada masa depan.

"Aku cinta banget sama Semesta," ujarku pelan dengan mata terpejam.

"Oh, aku tahu itu. Kamu enggak pernah kayak gini sebelumnya sama laki-laki," sahut Mika.

Helaan napas beratku tenggelam di pangkuannya. "Aku enggak mau kehilangan dia."

Mika diam sejenak. "Kalau Semesta sampai bisa membuat kamu meragukan dan mengubah keyakinan kamu sendiri seperti ini, berarti dia layak, Ra."

Dalam hati aku sudah lama tahu kalau Semesta memang pantas. Mungkin aku yang tidak pantas untuknya. 

Semesta Adara (TAMAT)Where stories live. Discover now