50. Perjalanan Terakhir

333 49 0
                                    

Adara

Kami adalah dua jalinan akar saling bertaut dalam waktu singkat. Jeratannya sangat mematikan. Hingga kami memutuskan untuk menguraikannya tepat sebelum ia memilin makin kuat. Memisahkan kedua akar kembali ke buminya masing-masing, menjadi tak lebih dari dua hati dengan luka bekas belitan.

Matahari bersinar terik di atas pucuk-pucuk daun pepohonan. Tanaman paku di sisi jalan setapak jalur pendakian Gunung Arjuna masih meneteskan air hujan dari badai semalam. Bau tanah basah bercampur dengan wanginya bunga kopi dari perkebunan warga di lereng gunung. Seluruh hutan masih lembap dan dingin, tetapi matahari terik di atas langit akan menguapkannya sebentar lagi.

Kakiku tidak menyerah meniti setapak demi setapak jalan yang didominasi bebatuan dan akar pohon. Sejauh mata memandang, jalan itu terus menanjak tanpa ada tanda-tanda dataran landai. Sesekali punggungku terasa berat, meronta karena aku paksa memanggul beban belasan kilo dalam tas. Peluhku bercucuran, paru-paruku terbakar.

Batu-batu besar di depanku membentuk tangga alami. Melihatnya saja membuatku kembali mendesah putus asa. Aku tahu ini belum apa-apa, di depan jalur akan lebih menanjak.

Kakiku melangkah bersama dua trekking pole di tangan. Belum juga tuntas satu langkah, rasa nyeri tiba-tiba menjalari seluruh betis dan kaki.

"Arrrggghhh!!" erangku seketika meleparkan trekking pole dan terduduk kesakitan di atas bebatuan.

"Adara!" Semesta buru-buru berlari menghampiri dari bawah sana. Tas carrier di punggungnya bergerak mengikuti langkah paniknya. Lelaki itu kemudian duduk di sampingku kebingungan. "Kamu kenapa?"

"Kram," kataku kesakitan seraya menunjuk betis.

Semesta membantuku melepas tas carrier di punggung lalu meletakkannya di samping kami. Ia meluruskan kakiku, melepas sepatuku dan buru-buru menarik jempol kaki ke arah tubuhku, sementara tangan lainnya cekatan memijat betisku.

"Sakit!"

"Minum!" perintah Semesta sambil mengedikkan dagunya ke sebuah botol minum di samping tas kami. Aku menurutinya.

Dua orang pendaki berjalan dari bawah. Mereka berhenti melihat kami di tengah-tengah jalan setapak.

"Butuh bantuan, Mas?" tawar salah seorang dari mereka.

Semesta menggeleng. "Cuma kram saja, Mas." Setelah saling mengucapkan salam, mereka meninggalkan kami berdua.

"Malu-maluin saja. Pake kram segala," gerutu Semesta. Aku tahu dia tidak sungguh-sungguh.

"Aku juga enggak minta ini."

"Makanya olahraga," sahut Semesta.

"Kerjaannku di Braga sudah naik turun bukit."

"Kurang," komentar Semesta singkat.

Rasa sakit di betisku berangsur hilang. Walau rasa nyerinya tidak sepenuhnya sirna. Betisku kini jadi lebih berat dari sebelumnya. Semesta masih memijat kakiku sabar. Aku tahu harusnya ia bisa berhenti sekarang, tetapi sengaja kubiarkan jemarinya lebih lama di sana. Memberiku alasan agar bisa menunduk memandangi puncak kepalanya. Rambut gondrongnya ia kuncir asal dengan karet gelang. Peluh juga membasahi keningnya.

Aku ingin menyeka keringatnya. Tanganku sudah hampir terangkat, tetapi buru-buru kubatalkan.

"Sudah mulai hilang sakitnya." Aku berucap berat, menyadari Semesta akan kembali menjauh setelah ini.

Namun, aku ternyata salah. Semesta masih melanjutkan pijatannya untuk beberapa saat lamanya, sampai dia yakin aku telah cukup mendapatkan perawatan. Ia menyeka peluhnya lalu baru melepas tas carrier-nya sendiri dan duduk agak di bawahku. Baru kusadari ia tidak sempat melepaskan tas beratnya ketika aku kesakitan tadi.

Semesta Adara (TAMAT)Kde žijí příběhy. Začni objevovat