01. Meets Lima L

50 7 6
                                    


Hari ini tak berjalan seperti biasa.

Jantung gadis bernama lengkap Lalina Andara yang biasa dipanggil Alin itu berdegup begitu kencang hingga rasanya mau lepas dari sarangnya. Langkahnya terasa sangat ringan hingga Alin merasa tak ada gravitasi normal di sekitarnya. Senyumannya selalu mengembang lebar di wajah oval yang oriental itu. Rambut hitam panjang yang selalu diikat seperti ekor kuda itu menari-nari setiap kedua tungkai bawahnya bergerak, mendekati papan pengumuman.

Papan pengumuman itu ditempel di dinding ruang guru. Biasanya menampilkan pengumuman harian, pengumuman mingguan, sampai pengumuman nilai UAS yang biasanya membuat seluruh murid tertarik untuk melihatnya. Sebab peringkat tujuh besar selalu mendapatkan keuntungan untuk bebas dari iuran bulanan sekolah selama satu semester.

Semua orang ingin menjadi tujuh besar itu. Terlebih Alin, yang selama ini sudah belajar keras, tapi belum pernah melihat namanya ada di tujuh besar itu. Ia ingin membahagiakan kedua orangtuanya, tapi sialnya peringkat delapan seolah mengikatnya sampai akhir hayat.

Meski sudah langganan menjadi peringkat ke delapan dan tak pernah mendapatkan pujian atas pencapaian itu selama nyaris tiga semester, Alin tak menyerah begitu saja. Alin tetap punya harapan dan mimpi. Selagi ia bernapas, mimpinya tak akan ia lepas begitu saja.

Semester empat akan Alin lewati dan sebentar lagi ia akan melihat pengumuman peringkat UAS angkatannya. Pagi ini.

Itulah alasan kenapa Alin merasa ada yang berbeda dengan cara kerja tubuh dan dunia di sekitarnya.

Alin menarik napas saat dua petugas sedang menempelkan kertas-kertas berisi deretan peringkat UAS yang dilaksanakan minggu lalu. Anak-anak yang lain sudah berkerumun, sama penasarannya. Banyak dari mereka yang belum pergi ke kelas untuk menaruh tas, sama seperti Alin.

"Aduh, gue nggak liat nama gue di dua puluh peringkat terbawah! Artinya gue naik! Waaaaa!"

"Gila, deg-degan banget!"

"Nama gue belum keluar, Njir! Ini udah mau nginjak lima puluh besar!"

Alin turut senang mendengar seruan-seruan itu. Meski ada beberapa dari mereka yang kecewa dan sedih. Dua petugas itu menempel kertas peringkat dari urutan bawah. Satu kertas berisi dua puluh orang dan artinya akan ada 15 kertas yang ditempel dan Alin tak pernah melihat 14 kertas terakhir karena namanya tak pernah beranjak dari kertas nomor satu.

Bukannya sombong, Alin hanya mengutarakan fakta.

Sudah sepuluh kertas yang tertempel dan semakin banyak kerumunan yang terbentuk. Tubuh mungil Alin yang jarang olahraga itu terdorong-dorong hingga ke belakang dan matanya tak bisa melihat nama-nama yang ada di kertas nomor satu saat kertas tersebut telah ditempelkan.

"Lima L emang nggak pernah mengecewakan, ya!"

"Gue bosen baca nama mereka!"

"Rahasianya apa, sih? Perasaan mereka banyak mainnya daripada kita, deh!"

"Dunia ini kerasa nggak adil, Ya Tuhan! Tolong hamba!"

"Hueeee! Kok bisa sih gue turun dua puluh angka!"

"Anak IPA itu rajinnya melebihi lebah, ya!"

"Dah lah, insecure gue bisa bikin gue stress kalau di sini terus! Kantin go!"

Alin bisa mendengar desas-desus itu secara samar. Lima L yang dimaksud banyak orang, Alin juga mengetahuinya. Mereka berlima adalah Laiden, Liu, Luken, Leoza dan Lomeo. Mereka adalah Lima L atau Lalilulelo yang tak pernah hengkang dari tujuh besar. Mereka adalah flower boys yang biasa ada di film romantis-sekolah. Alin tak akan munafik dengan mengatakan mereka tak tampan. Justru karena mereka tampan, mereka terkenal. Saat ternyata lima tampan itu punya otak brilian, hampir tak ada yang bisa menutup sinar yang mereka pancarkan.

Lima anak itu adalah tetangga, teman sejak kecil dan bisa dibilang belahan jiwa masing-masing. Lingkaran pertemanan mereka hampir tak bisa ditembus oleh siapapun, tapi orang-orang seolah tak lelah untuk mendekatkan diri pada mereka agar setidaknya bisa ikut dikenal dan ditatap sama.

Alin selalu menanamkan dalam hati bahwa ia tak akan pernah berurusan dengan kelimanya karena ia terlalu malas dengan sorotan atau perhatian yang akan ia terima jika seandainya ia akrab dengan salah satu dari Lima L, atau kelimanya.

Alin mungkin akan say bye pada dunia jika opsi kedua terjadi.

Berada hampir satu tahun di sekolah ini dan tahu bagaimana kehidupan Lima L membuat Alin paham bahwa mereka adalah bintang di langit gelap malam. Mereka indah dan banyak yang ingin melihatnya. Sementara Alin adalah kabut di langit malam yang pastinya akan menghalangi sinar Lima L dan mendapatkan banyak kebencian.

Karena itulah, Alin tak pernah mau mengenal Lima L.

Kerumunan yang sudah agak mereda membuat Akun mulai mendekati papan pengumuman itu. Alin merasa sudah tak lagi ada di bumi saat membaca namanya ada di urutan ke lima. Matanya membulat sempurna. Ia tak menyangka akan naik tiga angka, karena ia pikir nilainya tetap di angka yang sama.

Seluruh kerja keras Alin akhirnya terbalaskan. Malam-malam di mana ia tak tidur, jam-jam makan yang sering ia lewatkan, makanan-makanan yang tak ia nikmati sepenuh hati itu akhirnya berbuah manis.

"Siapa yang berani-beraninya misahin gue dari temen-temen?"

Alin hampir menangis terharu dan bersujud syukur, sampai kemudian ia mendengar sebuah suara tepat di sampingnya. Alin menoleh ke sampingnya dan mendapati Lomeo yang berwajah keruh saat melihat kertas pengumuman nomor satu.

Jantung Alin semakin berdebar. Jika bukan karena dirinya, nama Lomeo akan berada di bawah Leoza, sama seperti semester-semester sebelumnya. Lima L akan selalu dapat peringkat berurutan seperti direkayasa.

Hari ini, semuanya berubah karena Alin.

"Lalina Andara? IPA 3? Siapa tuh? Kok nggak pernah denger, ya?" Luken bertanya pada Lomeo yang ada di sampingnya.

"Samperin ajalah langsung. Gue juga penasaran. Gara-gara dia, peringkat gue jadi turun dan gue nggak akan terima sebelum tau sebabnya, sebelum gue kenal orangnya," cetus Lomeo dengan senyuman miring khasnya.

Alin membeku. Tanpa sadar terus menguping.

Luken tertawa kecil, tapi terdengar sangat tak bersahabat di telinga Alin. "Gue bener-bener benci nomor enam."

"Untung bukan enam enam enam ya, Bro." Leoza tertawa atas leluconnya sendiri.

"Pagi-pagi jangan stress deh lo." Laiden menukas dingin. Tatapannya selalu sinis dan penuh kebencian.

"Santai kali, Den, masih pagi," kata Liu menenangkan, tapi entah kenapa Alin mendengarnya seperti ledekan. Dengan santai, Liu merangkul bahu Laiden. "Kantin yuk ah! Gue belum sarapan nih! Mana nasgor Bang Affan wangi banget sampe ke sini!"

Alin langsung bernapas lega saat Lima L pergi menjauh dari tempatnya berdiri. Sungguh, Alin merasa tercekik saat mendengar percakapan Lima L barusan.

Alin punya firasat tak enak, tapi selanjutnya tak lagi cemas saat ia sadar telah menjadi lima besar pararel di sekolah pada semester empat.

Rasa senangnya jelas membuncah, melebihi apapun, mengalahkan semua perasaan negatif yang menyerangnya beberapa saat yang lalu.

Me & My SeventeenWhere stories live. Discover now