02. Love Is Dangerous, If ...

25 7 1
                                    

Saat ini, masih ada dua puluh menit sebelum bel masuk berbunyi. Empat gadis yang sudah saling mengenal hampir dua tahun itu duduk dan berbincang dengan seru.

"Gila! Keren!" seru Moza bangga setengah mati.

"Ini pencapaian besar, Lin! Lo harus traktir biar kebahagiaan lo nggak sesaat!"

"Pikiran lo tuh sesat." Alin menukas singkat saat mendengar bualan Abil, salah satu teman dekatnya. "Kebahagiaan gue nggak akan sesaat meski gue nggak traktir kalian kalau gue mengusahakan kebahagiaan gue. Jangan aneh-aneh deh lo."

"Tapi emang begitu hukumnya, Lin. Lo udah dapat bukti nyata dari Alena. Dia nggak traktir kita-kita pas dia jadian sama Lomeo. Eh, besoknya malah putus," cerocos Abil, masih terus berusaha merayu Alin. Sementara yang namanya dibawa-bawa dalam kenangan kelam itu hanya memasang wajah bete.

Alin mengangkat kedua bahunya. Sejak tiga temannya itu melihat pengumuman di mana Alin berhasil menjadi lima besar yang mana merupakan prestasi tinggi dan sulit untuk didapat kebanyakan orang, mereka menatap Alin dengan penuh binar kagum lengkap dengan kata-kata selamat dan apresiasi.

Terutama Abil. Ia terus meminta Alin untuk mentraktir.

"Gue nggak punya uang sebanyak itu buat beliin kalian makanan, kecuali permen gopek-an. Gue juga males ke kantin," cetus Alin. "Jadi, stop minta gue jajanin lo, Bil."

Abil cemberut. "Sombong banget nih anak."

"Bukan sombong, Anjir," balas Alin frustasi sendiri. Ia paling malas berdebat atas sesuatu yang jelas-jelas sudah ia akhiri. "Ya udah kalau lo mau gue traktir. Paling cuma lima ribu doang." Alin mengeluarkan tiga lembar limaribuan ke atas meja dengan raut wajah masam. "Kalian—"

"Makasih banyak, Alin!"

"Wah, semoga lo panjang umur ya, Lin!"

"Semoga prestasi lo permanen, ya! Gue doain setiap malem, deh!"

Tiga teman gilanya itu langsung mengambil uang Alin dengan wajah penuh kesenangan. Mereka tak melihat bagaimana raut wajah Alin berubah begitu muram saat melihat pemandangan itu.

"Kalian tuh emang materialis, ya," kata Alin tak menyangka. "Kenapa gue betah temenan sama orang-orang toxic kayak kalian, sih?"

Abil tertawa ngakak. "Makasih buat pujiannya, Beastie!"

"Lo temenan sama orang-orang toxic, karena diri lo sendiri toxic, Alin," balas Moza kalem.

Alin memutar bola matanya. "Enak aja lo! Gue nggak toxic kayak kalian! Kapan gue minta traktir atau senang di atas penderitaan lo-lo pada?"

"Lo suka nyuruh gue ngerjain tugas kesenian tanpa imbalan, lho," balas Alena dengan senyuman manis.

"Setiap malem lo suka minta gue buat nyanyiin lulaby sampai lo tidur, lho," sambung Abil dengan tatapan penuh arti.

"Dan lo suka minta gue temenin ke mana-mana, bahkan maksa, saat gue ada kesibukan lain, lho," tambah Moza seraya mencubit pipi kanan Alin dengan gemas.

Alin terdiam sesaat. Ia jelas kalah karena lawannya ada tiga dan semua yang dikatakan mereka adalah fakta. Jadi, pada detik berikutnya ia memilih untuk angkat tangan. "Fine."

Moza, Alena dan Abil tersenyum penuh arti.

"Jadi, lo ngaku lo sendiri toxic?" Satu alis Abil terangkat.

Alin mengangguk enteng. "Gue emang temenan sama kalian karena gue butuh kalian, gue cuma manfaatin kalian."

Moza tersenyum lebar, lalu mengangguk setuju. Alena dan Abil tak bereaksi, membuat Alin merasa agak tak enak hati.

"Jadi, apa kalian masih mau temenan sama gue?" tanya Alin takut-takut.

Moza, Alena dan Abil sama-sama saling melempar tatap. Mereka tampak berpikir keras, sebelum kemudian melebarkan senyuman di wajah cantik masing-masing.

"Buat apa kita berhenti temenan sama lo? Kita juga manfaatin lo, kok," kata Moza memulai jawaban. "Gue suka minta lo kerjain tugas kimia kalau gue nggak sempet."

"Gue juga suka minta lo buat cariin cowok yang bikin lo repot banget, bahkan sampai dipermaluin," balas Alena dengan senyuman teduh.

"Sadar atau nggak, kadang gue cuma manfaatin otak lo doang buat nilai rapot gue. Gue jarang ajak lo main. Gue ini toxic juga buat lo, Lin," jujur Abil dengan tenang.

Alin tertawa kecil. "Pertemanan kita aneh banget."

"Makanya," balas Moza semangat. "Aneh itulah yang menyatukan kita."

Abil ikut tertawa, sementara Alena hanya tersenyum kecil.

Detik berikutnya, sebuah ingatan menabrak otak Alin, membuat seluruh kesadarannya bangun.

"Btw, kalau ada Lima L cariin gue, bilang gue nggak sekolah," kata Alin dengan nada memohon. "Bilang gue nggak ada. Pokoknya sembunyiin gue."

"Hah? Emangnya ada apa?" tanya Alena heran. Mendengar kata Lima L membuatnya ingat mantan dengan periode paling pendek di hidupnya.

Meski bukan hanya Alena yang menjadi mantan Lomeo, sebenarnya Moza dan Abil tak begitu menganggap Lomeo berarti sebagaimana yang Alena lakukan.

"Peringkat gue bikin peringkat Luken, Leoza sama Lomeo turun dan karena itu mereka penasaran sama gue. Katanya mereka bakal nyamperin gue," jelas Alin serius.

Untuk sesaat, hanya hening yang menjawab penuturan Alin. Sampai kemudian tawa Moza mengalun ke udara.

"Itu artinya bagus, dong! Lo tau sendiri di sekolah ini hampir semua orang pengen kenalan sama Lima L atau seenggaknya dilirik dikit. Ini kesempatan emas, lho, Lin!" seru Abil menggebu. "Gue emang mantan Lomeo, tapi asli, empat L yang lain sama sekali nggak pernah ngomong sama gue. Mereka kayak nggak mau kenal sama gue."

"Bener!" seru Moza setuju. "Ini kesempatan berlian yang mana lo bakal kenal sama tiga L! Ini super duper—"

"Masalahnya gue nggak mau kenal sama mereka, Za," potong Alin gemas sendiri. "Udah napa. Gue nggak kayak kalian yang tergila-gila sama Lima L itu. Gue pengen kehidupan SMA gue tenang, tinggal satu tahun lagi juga. Jadi, bantu gue, ya?"

Moza, Alena dan Abil saling bertatapan untuk kedua kalinya. Mereka memikirkan hal yang sama.

"Jadi, kita harus ngapain?"

"Kalau ada Lima L, tiga L atau berapapun L yang datang ke kelas ini pas gue ada, bilang gue nggak ada, terserah kalian alasannya apa tapi yang pasti harus masuk akal. Dan kalau gue nggak ada di kelas ini pas mereka datang, bilang gue nggak akan pernah ada di kelas ini lagi. Got it, Girls?"

"Ribet juga ya lo." Abil mencibir.

"Selama gue bisa ketemu sama Laiden, denger suaranya, gue bisa lakuin apapun," kata Moza dengan mata berbinar. "Lagian sebenarnya gue deketin Lomeo buat deketin Laiden awokawok."

"Dasar wanita ular! Kasian dong Lomeo lo PHP-in!" seru Alena agak kesal.

"Move aja udah. Lomeo itu brengsek," tukas Moza serius.

Keseriusan Moza adalah salah satu peringatan alam yang tak boleh disepelekan. Itu fakta. Karenanya, Alena semakin tersiksa. Justru semakin ia ingin melupakan Lomeo, otaknya semakin bekerja untuk mengingat laki-laki brengsek itu.

Semuanya karena Lomeo melakukan pendekatan pada Alena dengan mulus dan manis selama enam bulan, tapi umur pacaran mereka hanyalah duapuluh enam jam.

Membayangkan hari ini akan bertemu dengannya membuat Alena overthinking dan tak fokus pada pelajaran yang berlangsung.

Cinta memang sangat berbahaya jika kita tak mempelajarinya dengan baik, tak memahaminya dengan positif, apalagi tak bisa mengendalikannya.

***

Me & My SeventeenWhere stories live. Discover now