Percuma Kamu Dirumah?

42.4K 1.9K 57
                                    

"Shella... kopi mas mana?" panggil mas Adit dari meja makan. Aku sendiri sedang membujuk Aurel yang tidak mau memakai kaos kakinya yang selain berwarna pink. Entah lah bibik yang biasa membantuku mencuci dan setrika pakaian meletakannya dimana, aku juga tidak berhasil menemukannya. Aurel tidak mau memakai kaos kaki putih polos ini walau ada hiasan renda dan pita yang centil. Sesuai dengan gayanya yang selalu centil.

"Shella... mas telat nih.." panggi mas Adit lagi. Aku menghela nafasku kesal. Bukan aku istri yang gak ngurusin suami, tapi masalahnya, kopi itu hanya tinggal tuang sebenarnya, karena aku memakai coffee maker membuatnya. Tapi dasar mas Adit, sejak menikah memang dia sudah menyampaikan angan – angannya 'aku pingin jadi suami yang dimanja dari ujung rambut sampai ujung kaki'

Dan atas nama cinta, waktu itu aku mengiyakan permintaannya dan memang benar – benar aku jalanin. Waktu itu aku mikirnya gini, dia membujang sampai usia 33 tahun, orang tuanya di Bandung, dia hidup sendiri dirumah yang sekarang kami tempati ini. Pasti dia ingin seperti teman – temannya yang pulang kerumah disambut istri yang sudah menghidangkan segala macam diatas meja, air mandi yang sudah siap, pokoknya dia hanya perlu membawa tubuhnya melenggang.

"bunda kasih Aurel pilihan, pakai kaos kaki ini dan kita ke sekolah jadi bisa kasih kado buat Citra, atau Aurel masih mau ngambek gak mau pakai kaos kaki ini dan kita gak bisa ke sekolah, karena Aurel gak berpakaian dengan baik?" aku mengangkat kaos kaki putih berenda itu didepan Aurel. Hari ini memang ada syukuran ulang tahun temannya di sekolah, dan Aurel itu akrab sekali dengan Citra temannya.

Aku juga harus mengajarkan Aurel, jangan mempermasalahkan hal – hal kecil. Aku gak mau dia menjadi perempuan yang ribet hanya karena sedikit bad hair day, kuteks mengelupas, atau alis asimetris. Karena gak selamanya kita punya waktu untuk mengurus semua itu. Be practical and realistic. Itu yang selalu aku tanamkan ke anak – anak.

"sekarang bunda harus kebawah urus sarapan ayah. Kalau Aurel gak turun juga pakai kaos kaki ini, bunda anggap kita gak sekolah dan kado untuk Citra yang sudah Aurel pilih sendiri, jadinya batal dikasih ke Citra" aku menatapnya tegas. Dia memang baru 5 tahun, tapi aku selalu menanamkan ke kedua anakku, untuk tidak meributkan hal tidak perlu sejak dini. Aurel membuat pertimbangannya sendiri sambil memandangi kado yang sudah terbungkus hello kitty. Aku meninggalkannya sendirian didalam kamar bernuansa princessnya.

*****

"Shel.."

"iya mas... iya ini lagi turun..." ucapku dari lima anak tangga terakhir. Wajahnya sudah masam sambil menatapku jengkel dimeja makan. Aku hanya menggeleng gak habis pikir. Dari pada menungguku turun, jarak darinya dan coffee maker gak sampai sepuluh meter. Gak perlu lari sprint juga, hanya perlu sedikit kerelaan hati menuang sendiri.

Mas Adit memang belakanga selalu memasang wajah jengkel kepadaku. Bukan aku gak tahu penyebabnya, aku hanya menunggu waktu yang tepat saja untuk berbicara dengannya.

Sedikit cerita tentang mas Adit, aku ini sebenarnya mantan sekretarisnya. Ya..ya.. kalian pasti mikirnya aku dulu adalah sekretaris genit yang main mata dengan boss kan? selalu seperti itu asumsi orang - orang setiap mendengar seorang sekretaris jatuh cinta pada bossnya.

Masalahnya, aku dan mas Adit bahkan gak berpacaran sama sekali. Tidak satu haripun. Entah habis kejedut dimana, mas Adit tiba – tiba melamarku waktu kami pergi dinas bersama ke Jogja. Nggak, gak romantis sama sekali, dia mengajakku antri bakmi Kadin favoritnya setiap kali dinas ke Jogja. Bahkan gak ada cincin – cincinan, dia tiba – tiba bilang 'Shella, nikah sama saya ya? kalau Shella setuju, pulang dari Jogja kita ketemu orang tua kamu'.

Aku sampai melongo menatap mas Adit yang menatapku lekat waktu itu, berusaha mencari celah dia bercanda atau gimana? Tapi dia bahkan gak senyum sama sekali. Mas Adit yang memang lempeng dan serius kalau dikantor, tiga tahun menjadi sekretarisnya, aku cukup bisa membedakan diantara sejuta ekspresi lempengnya itu kapan dia bercanda tapi lempeng, serius tapi lempeng, dan lempeng emang lempeng.

Mas Adit ini bukan direktur, belum. Dia Head of Business Development disebuah perusahaan FMCG. Ini bukan kisah novel aku kecantol direktur ku, sayangnya bukan. Maunya sih gitu. Tapi... jodohnya ya mas Adit mau gimana?

Haha kayak nyesal ya? agak sih dikit dua mingguan ini.

"ini mas kopinya..." aku meletakan cangkir berisikan kopi, mengusap lembut pundaknya dan mencium keningnya. Kok aku? bukan mas Adit yang cium kening? Ya namanya juga suami istri, siapa cium duluan gak masalah. Yang jelas, sampai ada dua anak perempuan ya gara – gara mas Adit yang berubah menjadi mas Adit yang lain kalau sudah didalam kamar.

Diluar kamar ya begini ini.

"ya kamu dipanggilin gak turun – turun, ngapain aja sih diatas?" sabar Shella.. sabar.. tunggu aja sampai saatnya tiba kamu lempar bom ke muka ganteng suamimu ini. Asal kalian tahu, banyak yang bilang mas Adit ini mirip dengan Joe Taslim karena memang ada turunan Chinese nya dari mamanya, sedangkan papanya asli Malang. Mereka adalah pasangan suami istri berprofesi dokter spesialis di Bandung.

"ya ngurus anak dong, mas. Kok pakai nanya aku ngapain segala" jawabku santai sambil menyendokan nasi goreng ke piringnya. Nyendok nasi goreng sendiri aja gak mau, padahal nasi goreng sudah didepan hidungnya. Seingatku waktu beli centongnya di Transmart juga beratnya gak sampai 10kg, sama Aurel aja beratan Aurel kemana – mana.

"percuma kamu dirumah aja, kalau ngurusin anak sama suami doang aja bisa keteterang begini.."ucapnya pedas sambil memainkan ponselnya lagi. ingin rasanya kusiram mukanya dengan acar bercuka ini. tapi nanti saja, tunggu saatnya ya Aditya Wardhana.

 tapi nanti saja, tunggu saatnya ya Aditya Wardhana

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.
Her Real ValueTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon