Iya aku tahu, aku memang salah karena sudah mendulukan ego ku dalam mengambil keputusan, ketimbang memikirkan kesiapan anak – anak. Tapi apa mas Adit sampai harus telak menyalahkanku di depan mukakku begitu?
Semua ini terjadi karena siapa?
Kalau aku terkesan playing victim, lantas dia apa?
Apa dia memikirkan aku dan anak – anak dengan bersikap seperti itu terus? Aku muak dengan semua kata maaf mas Adit, yang gak di imbangi dengan tindakan yang tegas.
Butuh waktu berapa bulan baru dia berani mengganti nomor hp nya? Keburu kepercayaan diri tumbuh subur di perempuan itu. lihat lah dia, berdiri dengan berani dan menantang, seolah dia memang sudah punya amunisi untuk melawanku.
Istri sah pria ini.
Aku juga gak akan meninggalkan peran nyamanku, kalau gak terpaksa. Irfan benar, keruk aja duitnya. Tapi apa semudah itu? kalau ternyata gak semudah itu ngeruk duit mas Adit, terus aku dan anak – anak gimana?
Lagi – lagi dan lagi – lagi, masih aku juga yang salah. Sekarang kenapa jadi seolah mas Adit adalah korban, tersiksa dan pihak yang membutuhkan pertolongan? Aku jujur gak rela mas Adit bentak – bentak kayak tadi.
Isakan tangisku gak bisa berhenti, entah sudah berapa lama. Rasanya sakit banget anak kecelakaan dan aku masih di bentak – bentak gak karuan. Seolah aku ini istri pembangkang dan aku sedang menuai akibat perbuatanku. Seolah mas Adit adalah suami yang kewalahan mendidik istrinya dengan baik. Sakit banget rasanya. Aku muak.
Aku sekarang terduduk di sofa dengan mas Adit yang masih berlutut di depanku dan menggenggam tanganku. Mas Adit mengusap – usap lembut genggaman kami sambil menunduk dan mencium genggaman kami beberapa kali.
"maaf..." lirihnya entah untuk yang ke berapa kalinya. "aku minta maaf.." lirihnya sekali lagi.
Kami saling terdiam dan gak tahu mau ngomong apa. Mas Adit dari tadi hanya menggumamkan maaf terus menerus. Aku sendiri gak menjawab apa – apa dan masih terus menangis.
Aku gak tahu mau ngomong apa, karena rasa marahku rasanya bahkan sudah gak tahu harus aku salurkan bagaimana lagi. Aku hanya melemparkan pandanganku kearah lain setiap kali tatapan kami bertemu.
"mami sudah tahu.." jawab mas Adit tiba – tiba. Aku masih diam gak mau menanggapi apa – apa, membiarkannya bicara sampai selesai. "sepulang dari restoran itu, mas gak tahu harus gimana lagi buat ngatasin ini. Mas rasanya putus asa, karena seolah setiap langkah yang mas ambil gak menunjukan hasil. jadinya mas telepon mami dan mengakui semuanya ke mami..." mas Adit tertunduk dan menggelengkan kepalanya
"sekarang mas ngerti, kenapa kamu harus sampai sesakit ini dan sampai bertindak sejauh ini. Karena memang mas gak tahu diuntung, gak tahu diri, kurang ajar..." dia menarik nafasnya dan membuang pandangannya dengan matanya yang memerah "bahkan mami bilang mami jijik sama mas.." ucapnya dengan suara bergetar.
"kalau mas kemarin membatu sama semua emosi kamu, karena mas merasa dosa mas gak segitu gedenya. Mas merasa seharusnya kesalahan mas gak mendapatkan hukuman sampai separah itu. Begitu mami bilang dia jijik sama mas.." dia tertawa getir sambil air mata mengalir di matanya "kali ini perempuan yang melahirkan mas, perempuan yang mengandung mas.... bilang dia jijik melihat kelakuan mas. Gak perduli gimana mas bersumpahnya kalau mas gak melakukan apa – apa sama Dona. Mami gak perduli dengan semua penjelasan mas, dia terus bilang dia jijik sama mas. Rasanya sakit banget sampai rasanya mas kayak mendingan mati aja.."
Aku sontak membuang muka begitu mendengar nama dedemit itu disebut. Aku sebenarnya udah pingin nyerocos, dan memaki. Tapi, akhirnya aku memilih diam aja dulu. Mas Adit masih sanggup menyebut nama perempuan itu. Apa dia gak merasa mual sedikitpun menyebut nama perempuan itu?

YOU ARE READING
Her Real Value
Romancewarning! 21+ adult content. Shella : mau tahu rasanya jadi aku? nih aku kasih deh kamu kesempatan untuk mencoba. Apa benar sereceh itu jadi aku? kita lihat, siapa diantara aku dan perempuan itu yang benar ya mas. yang jelas... belum tentu ada maaf...