Karena ini percobaan pertamaku

67.5K 4.4K 73
                                    



Pernah dengar kalimat 'cantik itu luka?'





Nah, mungkin kalimat itu sangat cocok disematkan pada Medhya Zalina Mukhtar.
Ayahnya adalah seorang Jawa, sedang almarhumah ibunya adalah seorang Bali-Jepang.
Tak heran jika Medhya memiliki kecantikan diatas rata-rata.

Kulitnya seputih porselen, hidungnya mancung, wajahnya feminim, tubuhnya ramping, dan senyumnya amat menawan.

Hanya sampai disitu?
Tentu saja tidak.

Gadis itu juga cerdas. Itu dia masalahnya.

Medhya tak ingat kapan terakhir kali ia duduk di peringkat selain satu. Mungkin karena hal itu memang tidak pernah terjadi. Seingatnya, ia selalu menjadi anak paling pintar, paling rajin, sekaligus paling diandalkan di kelas.

Tahu kenapa cantik dan cerdas bisa menjadi masalah?

Begini, rata-rata orang, khususnya di Indonesia, cenderung punya kebiasaan menilai sesuatu tanpa pikir panjang.

Dia pintar? Ah itu 'kan karena dia cantik.
Nilainya paling tinggi? Tentu saja, 'kan guru-guru lebih suka anak yang cantik.
Selalu ikut perlombaan? Ya iya lah. Bisa di tebak, soalnya 'kan, dia paling cantik. Jadi pasti dia yang dipilih.

HM. Kalimat diatas adalah omong kosong menyebalkan yang paling sering di dengar Medhya sejak kecil.

Karena dia cantik. Karena dia begini. Dia begitu.

Tak ada satupun orang yang menghargai usaha Medhya. Semuanya mengkambinghitamkan fisik Medhya atas segala pencapaiannya.

Apa hanya sampai situ?

Tidak. Belum.

Medhya yang cantik dan cerdas itu, punya bakat luar biasa besar untuk di manfaatkan siapapun.
Gadis itu dulunya terlalu gampang di bodohi dengan embel-embel 'sahabat'. Tidak terhitung berapa teman yang pernah menyakitinya. Memanfaatkan dirinya untuk mendapatkan sesuatu atau seseorang.

Karena itu, Medhya setuju sekali dengan kalimat 'cantik itu luka'. Saking setujunya, Medhya menjadikan kalimat itu sebagai pengingatnya agar tidak lagi tertipu.

Saking setujunya lagi, gadis itu berencana membuat tatto dengan kalimat demikian jika saja Ayahnya tidak mengancam akan membuangnya ke panti asuhan.

Ia pikir, tak ada satupun orang yang akan mengerti perasaannya.
Tidak, sampai ketika hari itu.

Medhya baru pulang dari kampus. Sebagai salah satu penerima beasiswa yayasan di universitasnya, Medhya punya banyak keuntungan.
Selain akses yang terbuka lebar, sebelum dia benar-benar lulus, Medhya bahkan sudah sering mendapat satu dua kerjaan di kantor pusat PT Prambudi Indonesia.

Saat ini, Medhya sedang mengerjakan tugasnya sebagai penerima beasiswa yayasan Prambudi Indonesia. Gadis itu dan beberapa teman sesama penerima beasiswa diberikan jam kerja di kantor pusat, membuat video kampanye untuk salah satu produk yang akan di keluarkan oleh Prambudi Indonesia Store.

Tak ada yang beda hari itu. Medhya berangkat seperti biasa. Berjalan kaki dari kampus ke kantor. Karena jaraknya memang dekat. Sama-sama di bawah yayasan Prambudi Indonesia.
Setelah selesai membuat planning untuk Minggu depan, ia makan di kantin sendirian.

Dan tanpa bermaksud menguping, ia mendengar kalimat segerombolan lelaki disana.

Ngomong-ngomong, kantin di kantornya punya sekat disetiap meja. Membuat Medhya tak bisa melihat orang yang ada di meja sebelahnya dan sebaliknya.

"Ginan kan ada. Biar Ginan lah yang bayar."

"Janganlah. Nanti dia pikir kita manfaatin dia doang gimana, elah?"

"Lha, memang iya, kan?"

Mereka tertawa.

"Kita capek-capek ikut seleksi kerja, dia mah tinggal masuk aja kayak perusahaan ini punya kakek moyangnya. Kekuatan uang memang diatas segalanya, sih."

"Dia umur segitu sudah selesai S2. Tebak, itu gelar hasil belajar apa beli?"

Tawa lagi.

Banyak sekali yang Medhya dengar tentang seorang bernama 'Ginan' hari itu.
Dan kesimpulan yang Medhya buat adalah : bahwa lelaki itu punya hidup yang jauh lebih menyedihkan daripada dirinya. Dia di manfaatkan dan dicemooh dalam satu waktu. Dan sebagai orang yang juga pernah di posisi itu, Medhya yakin si 'Ginan' tidak mungkin tak sadar.

Saking fokusnya memikirkan nasib orang bernama 'Ginan' itu, Medhya sampai terbatuk-batuk, tersedak nasi. Seorang lelaki disebelah kanannya langsung mengangsurkan gelas Medhya.

"Uhuk-uhuk ... m-makasih."

"Makanya jangan suka menguping pembicaraan orang." Lelaki itu berujar pelan, lalu kembali menyendok makanannya.

Tunggu dulu.
Sejak kapan ada orang disebelahnya?

Setelah meneguk air putih, Medhya menatap lelaki di sebelahnya dengan curiga.

"Semua kursi penuh. Saya sudah ijin tapi kamu tidak menjawab." Lelaki itu berhenti mengunyah untuk sekedar menatap Medhya sejenak. Matanya kebiruan. Cantik sekali. Pikir Medhya nyaris salah fokus. "... berhubung kamu sedang sibuk menguping, maka saya anggap kamu setuju saya bergabung di meja ini."

Semena-mena. Pikir Medhya kemudian. Memutuskan untuk tidak jadi terpesona pada si mata biru.

Medhya melirik sinis. Gadis itu nyaris melontarkan kalimat tidak terpuji sebelum matanya melihat kartu pengenal yang tergantung di leher lelaki yang ada di sebelahnya tersebut.

'Arsitek : Ginan Satyatama'

Mata Medhya membulat. Gadis itu menyerongkan kepala demi bisa membaca kartu pengenal itu lebih dekat. Gadis itu terpekik kaget saat lelaki di sebelahnya membalik kartu pengenal yang sedang Medhya baca dengan cepat. Lalu menjauhkan badannya dari Medhya.

Sementara Medhya berkedip tak enak, lelaki itu menatapnya datar. Datar sekali, sungguh.
Tapi rasanya, wajah datar itu lebih menakutkan dari emosi marah manapun yang pernah Medhya lihat.

"Dia 'kan orang kaya. Hartanya nggak akan habis cuma karena traktir kita semalam."
Orang di sebelah bersuara lagi.

"Lagipula anak kayak dia, kerja disini pasti cuma jadi ajang main-main, kan?"

Medhya melirik lelaki itu. Dia kembali makan seperti tak ada sesuatu yang terjadi.

Orang disebelah membicarakan Ginan.
Lelaki itu juga bernama Ginan.
Ini bukan kebetulan, kan?

"Eumm ..." Medhya sedang berpikir kalimat pembuka paling bijak untuk memulai percakapan antara dirinya dan orang asing.
"Boleh kenalan?"

"Tidak." Jawaban itu terdengar lugas, tegas dan tidak memberi celah bagi Medhya untuk meneruskan aksi basa-basi.

Sial. Kenapa begitu, sih. Harga diri Medhya jadi tercoreng.

"Kenapa? Belum pernah di tolak sebelumnya?"

Medhya menoleh. "Eh ..."

"Saya akan pura-pura tidak dengar apapun dari kamu." Ujarnya, membuat Medhya bingung.
"Tidak perlu malu. Perusahaan ini besar, jadi kemungkinan kita bertemu lagi sangat kecil."

Medhya mendengus pelan. "Sombong."

Selesai makan, lelaki itu meneguk teh di gelas kemudian melirik Medhya lagi.
"Kamu juga."

Medhya mendongak. "Hah?"

"Kamu juga kelihatan sombong."

Sial.

Bibir penuh lelaki itu tersenyum miring.
"Permisi."

Pertemuan itu cukup membuat Medhya kepikiran hingga berhari-hari setelahnya.

Masalahnya, yang tadi itu memang penolakan pertama bagi Medhya.



***









Salam, Cal.

Do you remember your first cup of coffee?Where stories live. Discover now