Akhirnya aku tahu rahasiamu

18.2K 2.1K 137
                                    


Saat magang dulu, Medhya belum pernah naik ke lantai dua puluh. Ini adalah kali pertamanya disini. Jadi, dengan segenap nyali yang ia miliki, gadis itu berdiri di resepsionis kedua yang ada di lantai ini.

"Saya ada janji dengan Ibu Gracia," ujar Medhya, menatap perempuan berambut Bob dengan tampilan necis yang kini balik menatapnya dari atas ke bawah penuh penilaian.  Medhya spontan mundur, merapatkan kaki sambil meremas tali tasnya dengan erat. Ia tersenyum canggung ketika perempuan itu mengangguk dan mengajaknya masuk ke sebuah ruangan yang luas.

Ada sofa besar yang melingkar, di pisahkan sebuah meja bundar terbuat dari kaca bening. Di banding kantor, ruangan itu lebih mirip kamar hotel. Pemandangan yang ada di dalamnya nyaris membuat Medhya lupa sedang berada dimana sekarang. Ia baru sadar ketika melihat perempuan yang semalam mendatanginya duduk di sofa tersebut. Berdiri menghampirinya.

"Tamu Ibu sudah datang."

Gracia mengangguk pelan. "Pergilah," ujarnya, pada si resepsionis sebelum mempersilahkan. "Silahkan duduk."

Medhya mengangguk rikuh. Gadis itu menjatuhkan penglihatannya pada jendela besar, menatap gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, kemudian turun kebawah untuk menyaksikan kemacetan di jalanan ibukota beberapa saat.

"Saya dengar Ayahmu baru saja meninggal."

Pertanyaan itu membuat Medhya mendongak. Melupakan pemandangan yang sempat menyita perhatiannya sesaat.

"Dari mana Tante tahu?"

Dengan senyum tipis, perempuan itu menjawab. "Saya tahu banyak hal tentang kamu."

Kalimatnya membuat Medhya merasa salah tingkah. Ia mengusap kedua lututnya dengan senyum canggung. Sementara di pintu masuk, muncul seorang lelaki yang kini menyusul duduk di sebelah ibu Gracia.

Medhya langsung berdiri dengan wajah terkejut.

"Bapak ... Hanggatama?"

Lelaki itu tersenyum cukup ramah. "Sepertinya, kita pernah bertemu." Ia meminta Medhya duduk lagi.

Medhya mengangguk pelan. "Sa-saya ...," Ia menahan napas sejenak saat lelaki itu menjabat tangannya. "Saya salah satu penerima beasiswa dari yayasan Prambudi Indonesia."

Medhya tidak menyangka, sosok yang selama ini hanya mampir lewat mimpi-mimpi megahnya kini tepat berada didepannya. Tersenyum padanya. Bahkan menjabat tangannya.

"Oh ..." Hanggatama mengangguk-angguk.
"Pantas saja saya merasa tidak asing dengan kamu."

"Saya juga pernah magang di sini, di lantai delapan, tim advertise dibawah mentor Mbak Juni Rahmantika, Pak."

"Oh ya? berarti kamu sangat hebat." Lelaki itu tertawa pelan. Ia duduk di sebelah Gracia kemudian berujar lagi. "Tidak banyak anak magang yang bertahan disini, apalagi di tim advertise sampai rampung. Ada berapa anak di angkatanmu kemarin?"

"Ada dua. Saya dan satu lagi mahasiswa dari jurusan bisnis."

Hanggatama mengangguk-angguk lagi.

Sementara itu, Medhya baru sadar ada yang janggal dari ini semua. Kalau Gracia adalah ibunya Ginan, kenapa pak Hanggatama duduk disebelahnya dan ikut bertemu dengannya?

Sebetulnya, bertemu di gedung ini saja sudah cukup membingungkan bagi Medhya. Sekarang di tambah kehadiran lelaki yang sering ia lihat di berita. Semuanya jadi makin tidak masuk akal.

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Medhya cukup lama. Ia pikir, akan sangat tidak sopan kalau ia memulai percakapan dahulu padahal ia kemari karena diundang.

Do you remember your first cup of coffee?Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt