Sebuah kenyataan yang terpendam

21.2K 2.6K 104
                                    




Akhir-akhir ini, Ginan jadi aneh.

Eh, bukan aneh, deh. Hanya saja ... apa, ya? Kelakuannya jadi berubah drastis, dari yang tadinya cuek bebek sekarang jadi super duper perhatian. Atau Medhya harus menyebutnya kelewat perhatian?

"Tunggu sebentar, cowokku nelpon lagi." Medhya berdiri lantas menjauh untuk menjawab panggilan Ginan, sementara Gerda dan Anya saling tatap dalam waktu lama.

"Gilaa. Tuh cowok lama-lama kayak satpam BCA. Melayani dengan sepenuh hati banget," bisik Gerda, geleng-geleng kepala.

"Bukan sih. Gue ngelihatnya malah kayak posesif gitu." Anya menambahi.

Memang kenyataannya, semenjak Medhya kecelakaan waktu itu, si om-om pacar Medhya ini jadi sering sekali menelpon. Kadang-kadang, Anya dan Gerda sampai gerah sendiri. Baru juga main sejam dua jam, pacar Medhya sudah menelpon berulang kali hanya untuk bertanya, 'sekarang sedang dimana?' atau yang paling menyebalkan, Medhya jadi tidak bisa diajak main malam-malam karena si pacar itu mulai membatasi jam main Medhya. Kesannya kayak berlebihan aja.

Setelah Medhya selesai bicara dan kembali ke meja, Anya langsung menyodorkan gelas lemon Medhya sambil bertanya. "Dia nanya Lo sekarang dimana, lagi?"

Medhya mengangguk. Mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan sebelum meminumnya.

"Buset. Pacar lo gitu amat sih, Yay. Lama-lama kayak apaan deh," komentar Gerda dengan raut tidak suka. "Jangan bilang liburan awal tahun kita nanti juga gagal kayak Christmas kemarin?"

Medhya menatap Gerda dengan kaget. Seolah-olah berkata, kok tahu? Dengan tampangnya yang mudah ditebak.

"Tuh om-om lama-lama gue kepret juga, lho!" Gerda langsung menyambar kesal. "Apalagi sekarang? Lo mau diajak kemana? Apa dia bilang lo masih sakit jadi nggak boleh keluyuran? Atau apa? Hah? Ayok bilang!"

"Ger,"

"Nggak bisa gitu dong, Nya. Rencana liburan semester kita aja udah gagal karena gue harus ikut semester pendek. Masak libur awal tahun juga harus gagal, sih!"

"..."

"Gue bilang juga apa! Jangan pacaran sama om-om. Beda dunia banget, anjir!" Gerda sudah tidak peduli dengan orang-orang didalam restoran yang meliriknya penasaran. "Sekarang lo dilarang pergi. Lama-lama lo di kerangkeng kayak monyet di kebun binatang kalau nurut melulu!"

"Ger, jangan gitu."

"Apa sih, Nya! Lo bisa diam aja, nggak?! Ini tuh gue lagi ngasih pengertian sama teman kita. Biar dia nggak jadi cewek goblok yang mau-maunya- ebuset cakep amat."

Anya langsung menoleh pada sumber kekaguman Gerda barusan. Seorang laki-laki tengah berjalan menuju meja mereka dengan wajah ramah. Anya menatap sosok itu kemudian menyerngit.

"Kok perasaan gue bilang, ini saatnya untuk tebar pesona, ya?" Gerda menyelipkan sejumput rambut di telinga sambil menegakkan punggung.  "Anjir! Dia ngelihatin gue! Guys! Dia kesini! Mampus, sebentar lagi gue laku nih, kayaknya!" Gerda berujar semangat dengan nada yang ditekan serendah-rendahnya. "Anya, Yaya, yang ini pokoknya buat gue! Cup!"

Saat Medhya menoleh, lelaki itu tersenyum sambil melambaikan tangan.

Gerda mematung tatkala melihat kejadian selanjutnya, dimana lelaki tadi, mengelus rambut Medhya kemudian mengecup puncak kepalanya singkat sebelum ia mengambil tempat duduk disebelah Medhya. Gerda ulangi. MENGECUP. ngerti mengecup, kan?

"Apa-apaan ini ..."

"Ger, Nya, ini pacarku," ujar Medhya malu-malu. "Mas, Ginan. Ini teman-temanku."

Gerda langsung ternganga dengan tidak estetik.

Do you remember your first cup of coffee?Where stories live. Discover now