32. Bertemu

861 92 2
                                    

"Wajah dan sikap itu masih sama. Tapi apakah perasaanya juga belum berubah?"

—Love Math—

***

Yas, hari ini aku agak gak enak badan. Jadi kayaknya aku gak pergi ke kampus deh. Tapi aku udah pesenin kamu ojek kok. Kamu tunggu aja di depan rumah ya.

Kalimat terakhir Dira sebelum Yasmin memutuskan sambungan membuat gadis itu tersenyum kecil. Ah, sahabatnya itu. Padahal Yasmin bisa saja memesan ojek daring sendiri. Tapi karena ia dianugerahi keberuntungan dengan memiliki seorang sahabat yang begitu perhatian─meski dalam kondisi tidak sehat, Yasmin tidak perlu melakukan hal itu.

Menyelesaikan acara berbenahnya, Yasmin kembali mematut penampilan di cermin untuk memastikan tidak ada yang kekurangan. Ia kemudian melemparkan dua tembakan yang dibentuk dari jari-jarinya pada benda pemantul cahaya tersebut.

Yasmin memutuskan untuk menunggu di depan pagar rumahnya dengan tatapan menekuri ponsel. Hingga kemudian atensinya teralihkan saat mendengar deru motor yang berasal dari sebelah rumah. Bukannya Dira sedang sakit? Tapi kenapa ada suara motor? Apa gadis itu sedang membuat kejutan untuknya?

Yasmin masih menanti motor tersebut keluar dari balik pagar sambil bertanya-tanya. Namun ketika menemukan siapa pengendaranya, ia langsung memelotot kaget. Dengan refleks gadis itu kemudian kembali menunduk berpura-pura tak menyadari apa pun. Bahkan saat motor yang familier dinaikinya itu berhenti di depannya, Yasmin tetap tak menggubris.

Sang pengendara berdeham, membuat pandangan Yasmin yang semula fokus pada gerakan acak tangannya di atas layar ponsel, terpaksa dialihkan.

"B-bang Dimas?" sapa Yasmin dengan nada gugup. Jantungnya langsung berdebar saat mendapatkan tatapan dari pemuda itu. Beruntung Dimas belum melepaskan helm full face-nya. Sehingga kegugupan yang dirasakan oleh Yasmin sedikit mereda.

Dimas sendiri hanya mengangguk sekilas lantas menyodorkan penutup kepala yang sempat ia taruh di spion motornya ke arah Yasmin. Dengan sigap gadis itu menyambutnya dengan tangan bergetar. Membuat Dimas diam-diam menyembunyikan senyum gelinya.

Sekilas, Dimas memperhatikan penampilan gadis itu yang masih sibuk membenahi kerudungnya yang sempat kusut karena ditimpa oleh helm milik Dimas.  Dua tahun berlalu, semuanya sudah berubah. Tidak ada seragam putih abu-abu yang biasa melekat pada tubuh gadis itu. Penampilannya jauh lebih anggun dengan mengenakan tunik selutut bermotif bunga dipadukan dengan celana jin berwarna hitam. Ah, Dimas baru sadar. Gadis di hadapannya kini sudah berstatus sebagai mahasiswi. Bukan anak SMA yang sering ia antar-jemput seperti dua tahun lalu.

"Bang Dimas mau anter Yasmin?" Tepat sedetik ucapannya terlontar, gadis itu langsung merutuki mulutnya. Yasmin merasa terlihat benar-benar konyol sekarang. Setelah menerima penutup kepala yang disodorkan oleh Dimas, dia baru mengeluarkan tanya.

Pemuda itu hanya berdeham lantas mengedikkan kepalanya ke belakang sebagai isyarat agar Yasmin segera menaiki motornya.

Sepanjang perjalanan hanya keheningan yang menemani keduanya. Selain karena kecanggungan masih mendominasi, kepadatan jalan ibu kota juga menjadi penyebab mereka lebih memilih bungkam.

Embusan angin menerpa kulit wajah Yasmin yang tak tertutup oleh helm. Kerudung pasminanya yang melayang-layang seolah menggambarkan perasaan gadis itu sekarang. Sedari tadi dia tak berhenti melunturkan senyum dengan pandangan menyorot punggung Dimas yang terbalut oleh setelan andalannya.

Pemuda itu tidak mengubah gaya penampilannya. Masih setia dengan jaket hitam bertudung yang dulu sering dipakainya. Meskipun begitu Yasmin tahu. Dimas tentu saja tidak memakai jaket yang sama. Melihat warnanya yang tidak pudar dan masih jernih seperti baru dibeli.

Love Math✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang