Afterlethe

239 19 113
                                    

part ini didedikasikan untuk deselene & dantiidon

Kadangkala ketika duduk pada sudut kursi kayu tunggal di depan jendela yang terbuka dan landskapnya langsung membuat kedua iris membelalak takjub laiknya itu lukisan surga. Deru anginnya seketika menyapa seperti sebuah pembuka. Menyerubung pada epidermis kulit dan mengantarkan gelombang ketenangan pada akhirnya. Entah kenapa, hal sesederhana itu seringkali bak sebuah sapuan ilusi yang berhasil mengkosong ratakan pikiran bercabang, bertumpuk berantakan tak terurai dan hanya menyisakan satu hal pada bilik relung paling dalam. Tentang suatu hal yang sebenarnya sudah ingin dipikirkan sejak lama. Hal yang sebetulnya sudah tergugah di dalam kalbu yang jangka waktunya tidak menentu, namun ketika singgah—itu membuat perasaan yang bernama rindu menyebut dalam setiap helaan napas dengan seruan namanya.

Mengabaikan teh chamomile yang tak lagi menunjukkan uap airnya, sebab sudah terlalu lama. Pikiran Yunhee dengan tiba-tiba melaju begitu saja tanpa pernah ia duga. Keraguannya dalam hitungan detik kembali singgah. Tentang apakah keputusan yang ia ambil tiga tahun yang lalu adalah keputusan yang benar-benar ia inginkan atau tidak. Jika itu iya, lalu kenapa pada sepertiga malamnya selalu saja merasa putus asa. Seperti jiwanya ingin mengutuk keputusan itu sendiri. Malamnya penuh dengan kegelisahan dan resah. Bahkan Yunhee beberapa minggu terakhir, harus mengendurkan egonya sendiri bahwa ia baik-baik saja dan pergi ke psikolog terdekat guna berkonsultasi tentang mentalnya.

Tak dapat dipungkiri, setelah pertemuan terakhir yang bisa disebut sebagai perang paling berkesan di hidupnya. Yunhee memilih untuk meninggalkan Korea, mengundurkan dirinya sebagai presdir dan menyerahkan perusahaan serta jabatannya kepada kakak sepupunya di Amsterdam, lantas pergi dan menetap di Grindelwald selama kurun tiga tahun terakhirnya. Menikmati kehidupan barunya seorang diri tanpa gelar apapun. Tanpa kekuasaan apapun. Bahkan wanita Bae memutuskan untuk membuka Kafe dan beberapa toko roti sebagai penyambung hidup. Meski tidak ada lagi prosentase harga saham di plasma pintarnya setiap hari, atau bahkan pertemuan, kerjasama, dan rapat bersama klien. Tetapi Yunhee merasa bahwa ini lebih baik. Di Grindelwald, Yunhee dapat menjadi dirinya sendiri.

Ia bisa memakai apapun tanpa ada paksaan memilih gaun. Ia bisa pergi kemana saja, menggunakan apa saja yang ia mau tanpa memikirkan apakah itu cukup mahal. Apakah itu tetap mempertahankan esensi elegannya atau tidak, dan ia dapat pergi dengan siapa saja tanpa aturan apapun. Kebebasan benar-benar menjadi kawan paling setianya sekarang. Bahkan baru-baru ini Yunhee suka bersepeda menyusuri pedesaan dengan hamparan ladang hijau dan perbukitan yang menjulang di Grindelwald atau mungkin berhenti guna melihat beberapa gantungan gondola yang singgah pada pegunungan Eiger di sisi utara. 

Suara debum pintu kayu lirih tak dapat mengetuk lamunannya, maka ketika tepukan pada sebelah pundak itu mengudara—Yunhee sukses mengedipkan bahu dan terjingkat kaget saat merasakan eksistensi manusia lain di rumahnya. Aroma roti yang masih tercium seperti baru keluar dari balik oven pemanggang, sukses menarik atensi Yunhee lebih jauh bersamaan langsung membalik badan dan melihat bagaimana pria jangkung dengan setelan lengan kemeja yang telah digulung seperti biasa itu, kini tengah berkacak pinggang dan memandang dirinya dalam diam.

"Kau sudah makan?"

"Kudengar kau pergi ke psikolog baru-baru ini, apakah setelahnya kau merasa baik?"

Yunhee hanya memijat pelipis dan dahinya singkat. Kalimatnya memang selalu perhatian, tapi kadang juga membuat wanita Bae pening saat ia sedang tidak memiliki jawaban yang tepat. Sepasang nayanikanya lantas bergerak dan melihat pada jendela yang pandangnya bisa menembus hingga pagar kayu depan rumah. "Kapan kau datang?"

The lethe ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang