Prolog

834 40 10
                                    

Prolog

'Pernah ga sih kamu bertanya-tanya kenapa kamu dilahirkan?'

Kanako, gadis kecil berponi, berjalan di sepanjang jalan setapak taman kota sambil melakukan kegiatan favoritnya, berbicara dengan dirinya sendiri.

'Ngga pernah? Kalau aku sering. Aku selalu bertanya-tanya kenapa aku dilahirkan ke dunia ini kalau cuma untuk ditinggalkan di depan sebuah panti asuhan. Apa kedua orang tuaku begitu membenci kelahiranku?' Lanjutnya.

Kana menemukan bangku taman dari beton dan duduk disana sambil menatap matahari orange yang mulai terbenam. Kana sangat menyukai matahari terbenam. Menurutnya keajaiban dunia itu adalah saat matahari terbit dan terbenam. Tapi berhubung Kana bukan anak yang bisa bangun pagi, maka ia memilih untuk menikmati matahari terbenam saja. Seulas senyum manis merekah di wajahnya.

Seorang remaja laki-laki berlari kecil menuju taman. Kepalanya sibuk menoleh ke kiri dan kanan, mencari sesuatu.

"Kemana sih dia? Selalu aja hilang entah kemana setiap jam segini," gerutunya sambil terus melihat sekelilingnya.

Lalu kemudian menatap langit yang mulai gelap. Tak lama kemudian matanya menangkap sosok anak perempuan berusia nyaris 7 tahun sedang duduk sendirian di bangku taman. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, anak laki-laki berwajah campuran Timur Tengah itu berjalan perlahan menghampiri anak itu.

"Kana. Dipanggil ibu. Ibu marah-marah, tuh, gara-gara kamu selalu ngilang jam segini." Kata anak laki-laki itu sambil menepuk ringan pundak Kana.

Perlahan Kana membalikkan wajah orientalnya. Lalu memberikan seulas senyum manis.

"Iya, kak Dion. Sebentar lagi, ya. Masih mau lihat matahari terbenam." Sahut Kana santai, kemudian terkikik geli melihat wajah sahabat kecilnya itu memberenggut.

Dion mengerutkan wajahnya, menunjukan ketidaksukaan atas kebiasaan Kana. Lalu ia mendengar suara kikik tawa Kana. Dion mulai mengomel dengan suara pelan.

"Aku ini lebih tua dari dia. Tapi kenapa, sih, kok rasanya aku yang selalu diperintah."

Dion mengoceh dengan lirih sehingga Kana tidak mungkin mendengarnya. Dion lalu duduk di sebelah Kana dan ikut memandangi matahari terbenam bersama gadis itu.

"Apa sih bagusnya memandangi matahari begini, Kana? Setiap hari lagi." Tanyanya.

Kana menoleh.

"Kana suka, kok. Indah. Kalau Kana udah besar nanti, Kana mau jadi fotografer saja. Terus mau kerja di majalah yang meliput keindahan alam. Nanti Kana bisa keliling dunia sambil motret matahari dan alam. Seru, kan, kak?" Sahut Kana, disusul dengan seulas senyum sumringah penuh harap.

Dion mendengarkan sambil mengelus-elus dagunya, berpikir.

"Ya... Kayaknya memang seru. Aku bisa bayangkan, loh. Kana dewasa berambut panjang, dikuncir, pakai kaos dan celana pendek selutut, sepatu kets dan kamera digantung di leher. Kayak pembawa acara di Discovery Channel yang biasa ibu suka tonton di tv." Sahutnya sambil terkekeh membayangkan Kana dewasa.

Kana nyengir sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Mendengar apa yang dibayangkan Dion rasanya Kana jadi ingin mimpinya itu benar-benar bisa jadi kenyataan. Kana sungguh berharap masa depannya benar-benar bisa secerah yang ia harapkan, mengingat sampai saat ini belum ada orang tua yang mengadopsinya. Kana tahu ibu Astri, pemilik panti, belum tentu mampu membiayai sekolahnya nanti.

*****************************

Dion dan Kana serta beberapa orang anak panti seperti biasa sedang bermain di taman belakang panti dengan serunya. Tiba-tiba, suara ibu menghentikan permainan mereka.

"Dion, ayo sini ikut ibu sebentar." Panggil ibu Astri lembut.

Tidak seperti apa yang diceritakan sinetron-sinetron di televisi tentang pemilik panti yang jahat, ibu Astri sangat menyayangi anak-anak panti bagai anak sendiri. Wanita setengah baya itu tidak menikah. Memilih mengabdikan hidupnya untuk mengurus mereka di panti.

Dion dan anak lain yang usianya lebih tua dari Kana terdiam saling berpandangan. Mereka tahu hari ini akan ada calon orang tua asuh bagi salah satu dari mereka.

"Iya, bu." Sahut Dion perlahan.

Ia bangkit berdiri dan menepuk pelan celana selututnya. Lalu tersenyun pada Kana, yang membalasnya dengan senyum cemerlang yang paling Dion suka.

Selesai menemui Ibu dan calon orang tua asuhnya, dengan senyum sumringah Dion mencari Kana. Ia menghela nafas panjang saat tak menemukan gadis cilik itu. Yang berarti ia harus kembali ke taman tempat biasa gadis itu menyendiri memandangi matahari terbenam.

Tempat tinggal mereka memang bukan di kota besar. Panti asuhan ibu terletak di pinggiran kota dengan pemandangan yang masih hijau dan udara yang bersih. Dion menemukan Kana berdiri di ujung taman. Kepalanya menunduk memandangi sawah dan sungai kecil di bawah bukit tempat kami berdiri.

"Sedang apa lagi disini?" Tanya Dion sambil menepuk pelan pundak Kana.

Gadis mungil itu tetap berdiri diam tanpa menoleh pada Dion. Tidak mengeluarkan sepatah katapun. Dion yang 7 tahun lebih tua dari Kana tersenyum penuh pengertian, kemudian menghela nafas panjang dan duduk di kursi beton di belakang mereka.

"Kakak akan pergi ninggalin Kana seperti kak Rio ya?"

Tiba-tiba Kana melontarkan pertanyaan itu setelah sekian lama terdiam.

Dion menatap gadis mungil dihadapannya yang sekarang sudah membalikan badannya dan menatapnya dari balik mata sipit dan bulu mata tebalnya. Dion lagi-lagi menghela nafas.

"Menurut ibu, kakak sebaiknya ikut bersama mereka. Demi masa depan kakak." Sahut Dion.

Wajah Kana terlihat semakin sedih.

"Kana bukan ingin memberatkan kakak. Kana ingin kak Dion bahagia. Seperti waktu dulu kita melepas kak Rio pergi." Sahut Kana, berusaha membubuhkan seulas senyum di wajah cantiknya.

Dion tersenyum hangat. Menepuk kursi kosong di sebelahnya, mengisyaratkan supaya Kana duduk di sebelahnya. Kana beranjak dari tempatnya dan duduk di sebelah Dion.

"Apa yang kamu khawatirkan kalau kakak pergi?" Tanya Dion. Walaupun sebenarnya Dion sudah bisa menebak apa yang Kana takutkan.

Kana mengangkat bahunya. "Kana hanya akan kehilangan kakak." Sahutnya. "Kana paham betul kalau hidup di panti asuhan ngga akan pernah mudah. Pasti banyak yang mengejek kita. Kak Dion juga tak terkecuali. Dan perbedaan suku Kana sudah pasti akan menambah porsi tekanan pada Kana. Tapi ngga ada yang peduli. Nyatanya cuma kak Dion dan kak Rio yang membela Kana."

Dion hanya terdiam mendengar apa yang Kana ucapkan. Kana memang masih kecil, tapi beban yang ditimpakan padanya sepertinya membuat Kana bisa berpikir lebih dewasa. Memang, dengan kulit putih susu dan mata sipitnya, Kana sering diledek oleh anak-anak setempat.

"Tapi kak Dion tau, kan, kalau Kana bukan anak yang cengeng. Kana kuat, kok. Kak Dion ngga perlu khawatir." Katanya lagi.

Kali ini matanya menyiratkan keyakinan.

Dion tersenyum melihat gadis manis penuh semangat di hadapannya. Dion membelai lembut anak perempuan yang selama ini menjadi adik kesayangannya.

"Tentu saja kakak tau. Kakak yang menemukanmu di depan pintu panti. Kakak juga yang membantu ibu menjaga kamu sejak kecil. Kakak yakin kamu anak yang kuat." Kata Dion menyemangati Kana.

"Begini saja, cita-citamu jadi fotografer harus tercapai. Kakak akan sebisa mungkin membantu. Janji ya, Kana. Jangan menyerah!" Dion mengacungkan jari kelingkingnya sambil menyeringai penuh semangat.

Kana tersenyum, senang bisa melihat senyum Dion yang mungkin tak akan bisa dilihatnya lagi. Lalu mengangguk penuh semangat dan mengaitkan jari kelingkingnya pada jari Dion. Mereka sama-sama tertawa dan bergandengan tangan pulang saat Ibu Astri berteriak memanggil mereka dari pintu rumah.


Author's note:

Hai!!! Lama ngga buka wattpad dan lupa cerita ini belum di update. Ada sedikit perubahan dan penambahan ya. Maafkan penulis yang lelet update ini yaa... Diusahakan cepat update kedepannya.
Enjoy dan jangan lupa vomment nya ya.

Forever MineWhere stories live. Discover now