Chapter 4

345 20 14
                                    

Tak ada masalah dengan kepalaku hingga dokter pun langsung mengizinkanku pulang keesokan harinya, dengan hanya menyisakan plester mungil di sudut dahiku. Kak Rio dan Kirana bersikeras agar aku istirahat selama beberapa hari untuk pemulihan, walau sebetulnya aku baik-baik saja. Malas berdebat dengan mereka, aku pun mengiyakan.

Satu minggu aku bermalas-malasan di tempat kos. Kirana dan kak Rio bergantian membawakanku makanan atau majalah atau melakukan apa pun agar aku tak bosan. Tapi nyatanya aku luar biasa kebosanan. Diriku yang terbiasa beraktifitas harus mengurung diri di kamar kos, rasanya kesal. Kuputuskan untuk mengerjakan skripsi saja. Akhirnya hari ini aku kembali ke kampus untuk konsultasi skripsi. Aku memutuskan beristirahat sejenak dari pekerjaanku untuk fokus pada skripsiku. Kali ini aku lebih pintar. Skripsiku aku print di balik kertas bekas sebelumnya, sehingga aku takkan merasa sakit hati saat dosenku mencorat coret kertas itu.

Aku berjalan dengan langkah berat menujubruang dosen. Dalam hati, aku tahu bu Melisa sudah menunggu di mejanya dengan spidol merah ditangan. Kuserahkan hasil kerjaku pada beliau, pasrah. Hasilnya, bab yang kukerjakan selama 2 minggu sudah habis tercorat coret hanya dalam waktu 15 menit. Semua instruksi perbaikan sudah tertulis disana dengan spidol merah. Aku menghela nafas. Paling tidak skripsiku sudah maju selangkah. Tiba-tiba, handphone bututku berbunyi.

"Halo, kak Kana!!"

Suara ceria seorang gadis menyambut sapaanku. Aku mengernyit bingung. Siapa yang menelponku ini? Aku tak mengenali suaranya.

"Ini Rena, kak. Kakak belum lupa sama aku, kan?"

Aku tersenyum.

"Apa kabar, Rena?" balasku ceria.

Suara tawa menggema di telingaku.

"Harusnya Rena yang bertanya. Kan, kakak yang kemarin masuk rumah sakit." sahutnya lincah.

Aku mengerucutkan bibirku. Anak ini pintar sekali membalas perkataan orang.

"Hari ini ada waktu, kak? Jalan sama Rena, yuk."

Aku terdiam sejenak. Hmm... aku juga sedang bosan. Sudah lama aku terkurung di rumah tanpa melakukan apapun.

"Boleh. Kapan? Kakak lagi di kampus. Mau ketemu dimana?" tanyaku riang.

"Rena sudah di jalan. Biar Rena jemput kakak di kampus, ya." ujarnya sebelum mematikan telepon sesudah aku menyetujuinya.

Heran. Dari mana gadis itu tahu nomor telepon dan kampusku? Aku berjalan ke luar kampus untuk menunggu gadis itu menjemputku. Kalau aku bisa bertemu Renata, mungkinkah aku bisa bertemu kak Dion juga? Maksudku, kak Rein. Demi Tuhan, aku harus membiasakan diri memanggilnya kak Rein. Jangan sampai aku keceplosan. Kak Dion sudah mewabti-wanti bahwa ini rahasia. Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. Mikir apa, sih, aku ini? Jangan mengharap yang bukan-bukan. Pria setampan kak Rein tak mungkin belum mempunyai kekasih. Dengan tak sabar, aku menepuk-nepuk kepalaku.

"Kak Kana, baik-baik saja?"

Sebuah suara menyapaku. Aku mengalihkan tatapanku. Sebuah mobil sedan hitam terparkir di hadapanku. Renata menjulurkan kepalanya dari jendela.

"Sakit kepala?" tanyanya lagi.

Aku dengan cepat memulihkan diri dari khayalanku.

"Tidak. Kakak baik-baik saja." sahutku sambil berjalan ke arah pintu penumpang dan masuk ke dalam mobil. "Mau kemana kita? Kamu tidak sekolah?"

Renata nyengir lucu. "Pulang lebih awal, kak." sahutnya sambil mulai menjalankan mobil. "Kita cari makan dulu, ya. Sudah hampir jam makan siang dan Rena lapar banget."

Aku hanya bisa tertawa. Hmm... jadi siswi SMA memang menyenangkan. Punya banyak waktu luang. Tapi saat aku SMA pun, waktuku habis untuk belajar demi mendapatkan beasiswa ke universitas.

Forever MineWhere stories live. Discover now