Wattpad Original
There are 6 more free parts

[ Prolog ] Awal Bencana

78.3K 3.2K 49
                                    


Suara dengkuran halus menggema di dalam telingaku. Seharusnya aku segera membuka kedua kelopak mata yang terkatup rapat sekarang, tetapi aku terlalu malas untuk melakukannya. Kasur di bawahku sangat nyaman, apalagi selimut yang membungkus tubuhku. Aku memilih untuk meneruskan tidur hingga aku merasakan hawa dingin menyapu punggung telanjangku.

Telanjang! Sebuah kesadaran menamparku dengan keras. Buru-buru aku memaksa kedua kelopak mataku terbuka dan mendapati suara dengkuran halus tersebut berasal dari Axel. Pria yang kini kuanggap sebagai kekasihku tersebut tengah tidur berbaring di sebelahku. Saat ini kami berdua menggunakan selimut yang sama, tentunya untuk menutupi tubuh polos kami yang berada di bawahnya.

Oh. Sial. Mencengkeram erat-erat pinggiran selimut di atas dada, aku mencoba beringsut untuk duduk dan merasakan sekujur tubuhku penat juga sakit. Ya Tuhan. Apa yang sudah kulakukan?

Seperti hari-hari Jumat sebelumnya, Axel menjemputku di tempat kerja tadi sore. Tidak seperti biasanya, kali ini ia membawa motor sport miliknya bukan mobil yang biasa ia kendarai. Beruntung, hari ini aku mengenakan celana panjang formal bukan rok selutut.

Semua berawal dari hujan yang mengguyur tiba-tiba ketika kami keluar dari tempat makan. Mengingat lokasi rumah Axel lebih dekat daripada rumah kontrakanku, kami memutuskan untuk singgah sebentar di rumah Axel sembari menunggu hujan mereda.

Siraman air hujan yang kian deras, ditambah pula dengan listrik padam menyambut kedatangan kami di rumah Axel. Bajuku basah kuyup, begitu juga dengan Axel. Ia meminjamiku t-shirt dan celana panjang rumah yang kebesaran di tubuhku. Mula-mula kami hanya duduk bersebelahan di depan televisi sambil mengobrol. Hingga semua terjadi seolah tanpa bisa aku kontrol lagi.

Dalam siraman redup lampu emergency, Axel mulai menciumiku. Alih-alih menolak gempuran mulutnya yang kian lama kian kuat dan penuh tuntutan, aku malah menanggapi dengan semangat yang sama. Napasku ikut memburu, jantungku berdegup sangat berisik, tubuhku sendiri layaknya magma panas yang siap untuk meledak ke luar. Bahkan akal sehat sudah terkikis habis saat Axel membawaku ke kamar tidurnya dan melucuti pakaianku. Tidak berhenti sampai di situ, Axel membaringkan tubuhku di atas ranjang dan menindihnya. Cinta berbalut gairah dalam dirinya begitu membakar sudah membuatku kehilangan diri. Aku tak berdaya di bawah kendali dirinya hingga aku tak sanggup menolak saat ia mereguk semua yang ada pada diriku.

Aku duduk tercenung di atas ranjang. Suasana begitu remang-remang saat ini. Hanya ada binar kuning lampu dari luar rumah yang membayang redup di tirai kamar. Terdengar dengung halus suara AC yang mengisi kamar tidur ini. Aku tidak tahu sejak kapan listrik mulai mengalir dan hujan di luar sana sudah berhenti, karena tidurku terlalu nyenyak akibat kelelahan.

Tubuhku sontak gemetar dengan sendirinya. Entah karena sapuan udara dingin yang berembus dari AC atau karena membayangkan perbuatanku tadi. Aku sudah melakukan kesalahan fatal.

Pelan-pelan aku membawa tubuhku beranjak dari atas kasur dan mulai mencari pakaianku yang bertebaran di mana-mana dan bercampur dengan pakaian Axel. Aku menemukan pakaian dalamku dan buru-buru mengenakannya. Lantas aku mengenakan t-shirt dan celana panjang yang Axel pinjamkan kepadaku.

"Leta, ada apa?" Suara mengantuk Axel menyapaku. Aku mengalihkan mata dari t-shirt dan celana panjang ke arahnya. Mataku mendapati kekasihku tersebut tengah menyangga punggung dengan sikunya. Ia memandangku dengan mata lelah.

"Aku harus pulang sekarang, Axel. Apa yang kita lakukan ini ... salah." Suaraku bergetar.

"Ssh, kemarilah. Kamu tahu ini pukul berapa? Satu pagi." Axel beringsut untuk duduk, lalu mengacak rambutnya. "Besok aku akan mengantarmu pulang. Okay? Sekarang tidurlah."

Axel mengulurkan satu tangannya ke arahku. Ragu-ragu aku berjalan mendekatinya.

"Aku takut. Seharusnya tidak seperti ini, Axel." Suaraku menghilang dengan sendirinya, tetapi aku membiarkan lengan Axel menarikku lembut agar berbaring kembali di sebelahnya. "Bagaimana kalau aku sampai ...."

"Apa yang kamu takutkan?" potong Axel sembari memelukku. Aku berbaring dengan lengan Axel sebagai bantalnya.

"Aku takut ... hamil," bisikku menahan gelisah. Axel berdecak dari sebelahku.

"Kita saling mencintai, Leta. Tidak usah khawatir. Aku akan bicara lagi dengan Mama dan aku yakin Mama pasti merestui hubungan kita."

"Tapi, mamamu tak pernah menyukaiku." Kali ini aku mendongak dan memandang Axel dalam keremangan cahaya.

Sudah tiga kali Axel mengajakku ke rumah orang tuanya. Tidak pernah sekalipun mamanya menerima kehadiranku dengan hangat. Pertemuan kami yang pertama, ia menyambutku datar-datar saja. Saat Axel mengajakku untuk kedua kalinya, mamanya hanya mengajakku bicara seperlunya saja. Sisanya, ia menghilang entah ke mana. Malahan pada kedatanganku yang ketiga, mamanya sama sekali tak mau menampakkan diri. Menurut Axel, mamanya sedang tak enak badan. Aku hanya mengangguk saja meski aku tahu kalau Axel sudah berbohong demi kebaikanku.

"Aku satu-satunya anak laki-laki di keluargaku, Mama pasti mengikuti apa pun keinginanku. Tenang saja."

Aku hanya bergeming. Hatiku sudah menciut sejak tadi karena rasa takut dan waswas. Ucapan Axel tidak cukup menghiburku karena aku sepenuhnya yakin kalau kalimatnya barusan hanya sekadar menenangkanku saja.

Aku sungguh-sungguh berharap tidak ada kejadian apa pun hasil dari tindakan kami atau aku akan menyesal seumur hidup.

The ProposalWhere stories live. Discover now