Wattpad Original
There are 3 more free parts

[ Bab 3 ] Kesan Pertama

29.9K 2.8K 42
                                    

Aku mengayunkan langkahku lebih cepat ketika mataku menemukan Bu Hanny tengah berdiri di depan meja resepsionis. Di depan Livy, tangannya melambai-lambaikan sebuah kertas. Dari jauh sikapnya sudah terlihat jelas kalau ia tengah memarahi Livy. Celaka. Aku tahu kertas apa yang ada dalam genggaman tangannya sekarang.

"Ini dia biang masalahnya!" dengusnya keras ketika aku tiba di dekat meja resepsionis. "Dari mana saja kamu?! Saya kan sudah minta padamu untuk fotokopi materi training ini lalu dipotong jadi empat, mengapa tidak dikerjakan? Kamu pasti lupa, kan?!"

Aku menghela napas panjang mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Bu Hanny.

"Bu, tadi saya kan sudah bilang, biar saya saja yang fo—"

"Diam kamu!" sergah Bu Hanny memotong ucapan Livy lalu beralih padaku. Bola matanya bersorot penuh amarah. "Memang kerjamu sekarang lelet banget."

"Maaf, Bu Hanny. Saya tidak lupa permintaan Bu Hanny. Tadi saya mengantarkan tamu Pak Jimmy dan beliau meminta dibuatkan kopi segera. Karena di pantry sedang tidak ada office boy, terpaksa saya harus membuat sendiri. Lagipula, Bu Hanny tidak mengatakan kapan fotokopi ini harus siap." Aku mencoba memberinya penjelasan, meski aku tak menceritakan bagian saat aku muntah sebentar di kamar kecil sesaat setelah aku mengantarkan kopi untuk tamu Pak Jimmy.

"Kamu hanya buat excuse saja buat menutupi keburukanmu." Sepasang manik mata Bu Hanny masih saja mendelik tak terima.

"Bu, tadi saya sudah menawari ibu untuk fotokopi. Kalau tadi ibu izinkan saya, tentunya sekarang sudah selesai daripada ibu marah-marah seperti ini. Iya, kan?" Kali ini Livy yang membalas kalimat wanita setengah baya yang terkenal galak ini.

"Kalau begitu, biar saya fotokopi sekarang, Bu Hanny." Akhirnya aku memberinya solusi.

"Tidak usah! Saya bisa fotokopi sendiri!" sahutnya dengan ketus sembari memutar tubuh meninggalkan meja kami bertiga.

"Nah, itu bisa sendiri. Buat apa dia buang-buang energi untuk marah-marah begitu." Celetukan Syua membuatku sedikit khawatir.

"Ssh. Orangnya masih dengar, nanti malah tambah jadi masalah." Aku berbisik di antara kedua rekan kerjaku.

"Biar saja dengar. Mereka harus tahu, job description kita itu sebenarnya mengurusi segala sesuatu yang berhubungan dengan tamu-tamu di kantor ini, bukan pembantu umum. Disuruh fotokopilah, order makan sianglah, filling dokumenlah. Apa mereka pikir kita ini jongos? Seharusnya orang-orang itu berpikir, syukur-syukur kita mau bantu bukan malah diomelin."

"Kayaknya sekarang ada yang sedang curhat," Livy membalas dengan cengiran lebar ke arah Syua.

"Memang kadang-kadang aku kesal dengan sikap mereka. Kalau bukan karena 3 bulan lagi kontrakku selesai dan bisa segera pindah ke departemen lain, aku pasti sudah resign. Tugas ini makan hati," Syua membalas masih dengan nada menggerutu.

"Wah, bagus! Kalau aku masih panjang, satu setengah tahun lagi. Leta?" tanya Livy. Dua pasang mata rekan kerjaku kini semua menatapku.

"6 bulan lagi." Kalau tidak keburu HRD memutus kontrakku karena pastinya perutku sudah membesar. Setelah menjawab demikian, buru-buru aku menunduk agar mereka tak menemukan muramnya raut wajahku.

"Selamat buat kalian berdua. Sebentar lagi terbebas dari pekerjaan makan hati." Livy tertawa kecil, begitu juga dengan Syua. Namun, tidak dengan diriku.

Selain terus memikirkan bom waktu yang tertanam dalam perutku saat ini—dan belum menemukan jalan keluarnya, masalah yang kuhadapi sekarang adalah Bu Hanny pasti akan mengadu pada atasan kami, Pak Ken.

The ProposalWhere stories live. Discover now