Wattpad Original
There is 1 more free part

[ Bab 5 ] Tak Ada Lagi Harapan

29.1K 2.9K 96
                                    

Masih pukul setengah sembilan pagi ketika mataku sekilas melirik jam di pergelangan tangan. Kupikir memang waktunya terlalu pagi untuk bertandang ke rumah seseorang, tetapi tekad sudah kucengkeram erat-erat untuk mendapatkan Axel dan memberitahu soal kehamilanku ini. Satu-satunya jalan menghentikan bom waktu dalam perutku ini adalah dengan datang menemui Axel.

Kamu seharusnya dapatkan dia untuk meminta pertanggungjawaban darinya. Aku membenarkan nasihat spontan yang diberikan oleh Edgar—atasan dari segala atasanku tersebut.

Berbekal tekad bulat, aku tidak mau misi keduaku ini gagal seperti misi pertamaku yang sama sekali tidak bisa mendekat apalagi berbicara dengan Axel karena kehadiran Rosa dan calon istri pilihannya. Dari pengalaman sebelumnya, aku berpikir bahwa waktu yang tepat untuk menjumpai Axel adalah pada pagi hari saat pria tersebut di rumah sendirian.

Terhalang oleh rimbunnya pepohonan, aku berdiri dengan tegang di depan pagar hitam rumah Axel. Napasku sedikit memburu, debaran jantungku terasa menyengat di dalam dada.

Tak bisa kubayangkan apa reaksi pertama Axel saat mendengar aku tengah mengandung anak-anaknya. Apakah Axel akan berlutut dan menangis? Atau malah mengusirku keluar dari rumahnya? Aku tergeleng cepat untuk melempar keluar pikiran-pikiran negatif dari dalam kepalaku.

Mataku mendapati fortuner putih milik Axel ada di garasi rumahnya yang terbuka, artinya Sabtu pagi seperti ini pria tersebut ada di rumahnya. Suasana rumahnya sangat sepi—mungkin penghuninya tengah bermalas-malasan di depan televisi atau malah masih tidur. Benakku buru-buru menendang jauh-jauh bayangan indah kebersamaan kami setiap hari Sabtu seperti hari ini.

Tidak ada waktu untuk mengenang romansa masa lalu, Leta! Aku mengetatkan gigi mencari kekuatan, lantas kakiku berayun dengan penuh keyakinan.

Tanganku meraih pintu pagar dan membukanya tanpa kesulitan karena ternyata jemariku masih menghafalnya di luar kepala. Lintasan pikiran ini membuat hatiku sedikit tergigit.

Sneaker-ku berayun senyap di atas paving block di bawah kakiku. Sebaliknya dengan degup dalam dadaku saat ini. Mereka berdenyut kian cepat, membuat tubuhku mendadak berkeringat tetapi sekujur telapak tangan dan kakiku terasa mendingin.

Kakiku tiba di depan pintu rumahnya. Napasku berembus keluar masuk perlahan. Kelopak mataku terpejam sesaat untuk menenangkan adukan emosi yang ada dalam dada. Kamu harus kuat!

Menahan gemetar, aku mengangkat tangan untuk menekan bel pintunya. Suara berdering dari arah dalam ruang terdengar lembut dari tempatku berdiri. Aku mendengar tekanan suara langkah seseorang mendekat mengundang rasa mulas mendadak datang dalam perutku.

Ya Tuhan. Ya Tuhan. Pintu terbuka.

"Axel ...." Mati-matian aku menahan diri agar tidak menghamburkan tubuhku ke dalam pelukannya.

"Violeta!" desis Axel tanpa berniat menyembunyikan rasa terkejutnya. Kedua bola matanya membola. Namun, detik berikutnya wajahnya berkerut seperti menahan kesal. Ia memalingkan kepalanya sekilas ke arah belakang sebelum kembali berdesis padaku. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Aku menggigit bibir melihat perubahan sikapnya. Ke mana perginya Axel yang lembut dan penuh kasih sayang padaku? Bahkan saat ini pun, Axel seolah tak berniat mengajakku untuk masuk dan duduk di ruang tamunya. Sejak tadi tangan kanannya terus mencengkeram birai daun pintunya, seakan-akan takut tiba-tiba aku menerobos masuk. Retakan dalam hatiku menganga kian lebar, meninggalkan jejak nyeri di sana.

"Aku ingin bicara padamu ... tentang kita. Bolehkah aku bicara di dalam?" Suaraku serak menahan gejolak perasaan. Axel tergeleng sekilas.

"Apa yang kamu inginkan, Violeta? Aku sudah katakan padamu kalau hubungan kita sudah berakhir. Mamaku tidak menginginkan hubungan kita. Apa ucapanku masih kurang jelas buatmu?" tandas Axel dengan suara lirih dan tertahan. Menekan dalam-dalam rasa nyeri di dada, aku mencoba mengeraskan hatiku.

The ProposalWhere stories live. Discover now