Bagian 1 • Rania

58.5K 2.4K 62
                                    

Cerita baru semangat baru 😊

Terima kasih yang udah mau nyempetin baca ya
Love you ❤

***

Kehidupan ini luas, pemahaman manusianya saja yang telah di persempit; bahwa cantik adalah putih dan berambut lurus; pintar adalah sains; dan kebahagiaan adalah uang.
Kenyataannya, kecantikan, kepintaran, dan kebahagiaan bagi setiap orang berbeda.
Sebab, setiap orang memang unik dan berbeda.

This is me! - Muhajjah Saratini

***


"Cantik ya?" Aku menarik kedua sudut bibirku ke samping, mengangguk-angguk paham, lalu membenarkan posisi duduk untuk yang ke - beberapa kalinya dan kembali memfokuskan pandangan ke kamera.

"Dibading soal pinter tadi, jawaban gue mungkin bakal agak jauh berbeda ya. Menurut gue sih, privillage." Aku menarik napas panjang untuk mengurangi kegugupan yang entah kapan dapat berhenti menyeruak. Ugh. I am not get to used it, yet, hate it.

"Sorry to say, kalo dari sepengalaman gue pribadi good looking itu emang ngebantu banget even untuk hal-hal kecil sekalipun. Selama lo cantik, actually hidup lo bakalan lebih gampang."

"Good manner?"

Lag-lagi aku menganggukan kepala setelah melihat deretan kata yang terpampang di layar. "Well, that one is important too, but being pretty is the number one. It's always be the first, kan? Gimana ya ngomongnya," Aku diam sebentar untuk memilih kata yang tepat untuk ku ungkapkan.

"Sebagian besar orang mungkin menganggap sopan santun buat seorang wanita itu yang paling penting, khususnya orang timur kaya kita."

Aku melirik beberapa staff di ruangan yang menganggukkan kepala menyetujui pendapatku. "Tapi gue nggak mau denial sih, yang paling pertama di lihat orang lain itu ya tampang kalo dibanding pribadi si individunya. Kaya nggak mungkin kita bakal tertarik buat nyari tau kepribadian seseorang di pertemuan pertama. Kemungkinan besar pasti bakalan fisiknya dulu yang diperhatiin."

"Contohnya? Simple sih. Orang nggak bakal take decision buat lebih deket sama lo, kalo dia sendiri ngga ngerasa you're not beautiful or something like that."

"Jadi selagi lo nggak cantik, kecil kemungkinan orang bakalan penasaran dan pengen get to know more about lo di pertemuan pertama." Lanjutku setelah cukup lama berfikir.

"Jadi lebih penting yang mana?" Aku melihat tulisan di layar macbook di pangkuanku, dan kembali membenarkan posisi duduk sebelum lagi-lagi mengarahkan pandangan ke arah kamera.

"Well kalo menurut gue sih semuanya penting ya..... Pinter bikin seorang jadi penasaran. Cantik bikin orang tertarik, dan kepribadian bikin orang bertahan. Tapi gue pribadi prefer ke pernyataan be clever and good manner are worth it, but be pretty is still more."

Kulirik Mas Dewa di belakang kamera mengangkat jari telunjuk sebelah kanannya.

"Tapi sekali lagi gue tekenin ya, ini murni pendapat gue sendiri. All about my perspective, and everyone have their own perspective."

"Beda kepala bakal beda persepsi, dan bakal beda pula pendapatnya." Lanjutku kemudian.

Aku menghembuskan napas lelah, lalu tersenyum kembali sebelum melanjutkan statement terakhir dari sesi pembuatan video siang ini. "Jadi gue mohon, lo semua yang nonton video ini jangan langsung menghakimi gue, karena setiap orang berhak buat punya pandangannya sendiri."

"CUT!" Suara teriakan Mas Dewa akhirnya bisa membuatku bernapas lega.

"Keren banget Ra! Nggak nyangka gue lo bakal sebijak ini jawabnya." Ucapnya sembari menepuk bahu kiriku.

Aku tertawa, lalu menerima sebotol softdrink yang diangsurkan Mas Dewa ketika Mbak Bela, which is MUA yang di sewa untuk mendandaniku melepaskan beberapa jepit rambut di rambut panjangku yang memang dibiarkan tergerai. "Gue ngikutin arahan script kali Bang, mana bisa gue bicara bijak kaya gitu."

"Anjir! Bener juga lo ya, gue nyampe sempet lupa loh lo sebenernya kaya gimana."

"Cantik harus, bodoh gakpapa," Lanjutnya dengan tawa yang membuat bahunya ikut bergetar.

Aku memutar bola mata jengah, lalu meninju lengan atasnya sembari berujar. "Ngeselin banget sih Mas elo, cuma bikin emosi orang aja. Dasar orang nggak tau terima kasih!" Sindirku, lalu menoleh ke arah Mbak Bela dan mengucapkan terima kasih atas segala bantuannya hari ini.

"Gue balik, Mas." Ucapku sembari berlalu untuk mengambil tas hitam yang hari ini ku gunakan untuk membawa ponsel dan segala benda penting lainnya.

"Wait, Ra!" Bang Dewa menahan langkahku dengan menyekal pergelangan tangan kiriku.

Aku menoleh, lalu megangkat kedua alisku seolah bertanya, apalagi?

"Buat fee yang kita omongin kemaren entar gue transfer ke rekening." Ucapnya yang membuat wajahku sumringah seketika.

"Beneran Bang?" responku antusias.

Mas Dewa berjalan ke arahku, lalu menyentil dahiku dengan ibu jari dan telunjuknya. "Aww! Sakit, Mas!" Teriakku kesal.

Mas Dewa malah tertawa. "Giliran duit aja lo semangat banget gitu, Ra. Dasar bocil!"

"Sana pulang! Titip salam buat tante." Lanjutnya sembari mendorongku menjauh darinya.

Belum juga aku beranjak pergi, dia dulu justru yang pergi dan meninggalkanku disini.

Aku menghentak-hentakkan kaki kesal, lalu berbalik dan kembali melangkah tanpa memperhatikan depan.

Bruk!

Seketika tumpukan buku-buku yang dibawa seseorang yang ku tabrak ini jatuh berserakan di lantai, tetapi dengan si pembawanya yang masih berdiri dengan gagah di hadapanku.

"Eh, sori-sori. Gue nggak sengaja." Aku menunduk sembari menumpuk kembali buku-buku yang berserakan.

"Nih! Sumpah gue nggak sengaja, maaf ya." Lanjutku sembari mengangsurkan buku-buku tersebut, lalu kembali melangkah maju tanpa mau repot-repot menoleh siapa yang sebenarnya aku tabrak barusan.

JejaringWhere stories live. Discover now