[SCENARIO 2 - The Star Stream Academy]

1.6K 301 113
                                    

Hal pertama yang menyapaku begitu aku membuka mata ialah bangunan pencakar langit yang berdiri gagah. Pagar emas terbuka dengan sendirinya ketika Uriel dan diriku melangkah mendekat. Lahan luas dengan keindahan yang tidak dapat aku deskripsikan dengan kata-kata terlihat sejauh mata memandang. Ada banyak makhluk berbulu putih seperti Biyoo berlalu lalang di udara.

Aku menggenggam tangan Uriel semakin erat. Banyak sekali pemandangan yang baru kutemui. Kami berdua berjalan melewati koridor yang megah. Lantainya berlapis karpet merah, sedangkan temboknya bercat emas. Ada beberapa lukisan menggantung di dinding.

Kami berhenti di depan pintu besar dengan ukiran flora di sekitarnya. Tanpa mengetuk, Uriel mendorong pintu tersebut hingga terbuka. "Metatron!"

Sosok pria paruh baya terlihat dari balik pintu. Pria tersebut tengah duduk di kursi besar yang terletak di ujung ruangan. Di belakang kursinya, ada jendela raksasa yang mengantarkan cahaya hingga aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

"Uriel, bukankah sudah beberapa kali kubilang untuk mengetuk pintu sebelum masuk?" Dari nada bicaranya, dia tampak kurang senang.

"Simpan dulu omelanmu untuk nanti. Aku sudah membawa anak yang kau minta."

Pria itu menatapku. Meskipun aku tak bisa melihatnya, aku merasa dia tengah tersenyum. Pria yang dipanggil Metatron itu bangkit dan melangkah mendekat. Sekarang, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia memiliki hidung mancung dan kulit putih bersih. Garis-garis halus tidak menutupi kharisma yang dipancarkan olehnya. Ada sepasang sayap yang bertengger di punggung pria itu, sama seperti Uriel.

"Halo," sapa Metatron sembari berlutut untuk mensejajarkan mata denganku.

Aku refleks bersembunyi di balik Uriel, sedikit terkejut.

"Ya ampun, dia manis sekali!" Wajah Uriel memerah, terlihat menahan kegirangan.

Metatron menatap Uriel dengan tatapan datar. "Uriel."

"Ahh, baiklah, baiklah! Dokja-ya, ayo sapa Metatron. Tenang saja, dia tidak akan menggigitmu."

Dengan malu, aku membungkuk pelan. "H-Halo," sapaku tanpa melepas genggaman tangan Uriel.

"Namamu Kim Dokja, bukan?"

Aku mengangguk.

"Boleh kulihat tanganmu?" Metatron menadahkan sebelah tangannya. "Sebentar saja," lanjutnya dengan lembut.

Meskipun ragu, aku tetap memberikan tangan kiriku kepadanya. Tepat ketika tangan kami bersentuhan, sebuah cahaya putih terang muncul menyelimuti tubuhku. Selang beberapa detik, cahaya tersebut memudar.

Apa ... yang baru saja terjadi?

Metatron tersenyum. "Dia benar-benar anak itu. Si pemegang fragmen terakhir dinding akhir."

Huh? Pemegang fragmen apa?

Uriel terlihat terkejut. Dia menatapku dengan mulut yang sedikit terbuka. "Astaga! Aku tidak menyangka dia sespesial itu!"

... Spesial?

"Anu ... maaf." Aku membuka suara dengan pelan. "Sepertinya kalian salah orang. Aku ... aku bukan orang spesial. Aku hanya ... Kim Dokja."

"Dokja-ya." Metatron mengelus lembut pucuk kepalaku. "Kami tidak salah orang. Kamu memang spesial."

Bagaimana mungkin?

Bagaimana mungkin aku spesial, setelah semua yang kualami selama ini ...?

"Terima kasih telah bertahan hingga sekarang."

Perkataan Metatron membuatku tersentak.

Tanpa memudarkan senyum di wajahnya, dia melanjutkan bicara. "Mulai saat ini, biarkan kami membayar semua perjuanganmu. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan apapun lagi. Cukup makan yang banyak dan hidup dengan layak."

Stories That Written Behind The Wall [ORV AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang