4.1

657 144 1
                                    

"Q!"

"Q, lihat, deh!"

"Q, tahu tidak kemarin—"

"[Name], kenapa kamu jadi memanggilku dengan Q?" tanya Herder bingung kepada [Name] yang sedang memakan sarapannya.

Mereka berdua sekarang sarapan bersama, sambil menikmati pagi hari yang sejuk sekaligus tenang di akhir minggu ini. Sudah lama juga mereka tidak sarapan bersama seperti ini, jadi mengapa tidak?

"Entahlah, kamu terlihat keren kalau dipanggil Q. Bukankah kamu sendiri meminta yang lain untuk memanggilmu dengan Q?"

"Pertama, aku memang keren dari dulu." jawab Herder dengan percaya diri sekaligus narsis. "Yah, kamu 'kan bukan klienku."

"Nah, karena kamu keren, aku akan memanggilmu dengan 'Q' sekarang~"

"Baiklah, suka-suka dirimu." Herder meminum tehnya, kemudian menopang dagunya. "Kudengar dari Tuan William, kamu akan menjadi guru sementara di universitas yang ia ajar?"

[Name] tersedak saat mendengar pertanyaan dari sepupunya ini. Ia mencoba menelan makanannya, lalu meminum teh agar membantu makanannya supaya bisa ia telan.

Memang sejak pertemuan dengan William tempo hari, [Name] belum memberitahukan kepada Herder bahwa ia akan menjadi guru sementara di universitas. Tentu ia bermaksud memberitahukannya, tetapi tidak secepat mungkin.

"Aku tidak akan berbohong deh, iya. Karena aku membutuhkan uang sekaligus mencari pengalaman di negeri orang."

"Hee... padahal kamu bisa meminta uang kepadaku dan menjadi asisten teknisi~ kenapa tidak bilang?"

"Q, aku tak ingin menjadi asistenmu. Kamu pasti akan menyuruhku seenaknya, dan sesukamu. Dan walau kita sangat dekat, tentu aku mengetahui batas."

"Wah, wah. Tak disangka bahwa [Name] sudah dewasa, sini aku peluk~" Herder bangun dari duduknya, dan mencoba memeluk [Name] walau wanita tersebut menahan-nahannya.

"Oh ya, aku ingin bertanya sesuatu."

"Apakah itu~?"

"Aku serius."

"Baiklah, baiklah." Herder kembali duduk, dan siap menyimak.

"Apakah Tuan William itu bos kamu?"

"Hm... bisa dibilang begitu. Yah, karena aku bekerja untuknya. Sejujurnya saat pertama kali aku datang ke sini, aku bukan siapa-siapa sebelum bertemu dengannya. Aku senang sekali ketika Tuan William mengakui kemampuanku, bahkan aku sampai bersumpah setia dengannya. Berkatnya juga, aku bisa sampai sejauh ini."

"Wah... aku tak menyangka." melihat Herder berbicara seperti itu, [Name] semakin yakin bahwa William sangat membawa pengaruh yang baik kepadanya. Ia merasa senang melihat Herder yang semakin berkembang. Dan sepertinya William sendiri juga sangat memercayai Herder, mengingat pria itu yang tiba-tiba menawarkan rekomendasi kepada dirinya walau baru bertemu.

"Ada udang di balik batu, ada maksud apa kamu bertanya seperti itu~?"

"Hanya ingin bertanya..."

"Kamu tak ingin menanyai tentang Tuan Louis~?"

Telinga [Name] menjadi merah saat mendengar nama 'Louis' disebutkan. "K-Kok tiba-tiba jadi Tuan Louis... memang kamu tahu apa tentang dia?"

"Entahlah, aku tidak begitu dekat dengannya. Yang kutahu ia hanya adik Tuan William, yang sama jeniusnya walau dari sisi yang berbeda."

[Name] menghela napas, tak bohong ia ingin mengetahui banyak hal tentang pria tersebut. Ia ingin berbincang lebih banyak lagi dengannya.

"Kok kayak kecewa, sih?" ledek Herder.

"Argh, sudahlah. Kamu pasti mau ngeledekin aku, kan?" [Name] membereskan piring serta gelas bekas mereka sarapan, lalu mulai mencucinya.

Herder hanya terkekeh. "Oh ya [Name], kamu sudah kembalikan keranjang yang tempo hari? Yang waktu itu kamu bawa pai."

"Benar juga, aku belum mengembalikannya." kemudian sebuah ide terlintas di pikirannya. "Q, hari ini aku mau belanja. Kamu mau apa untuk makan malam?"

"Hm... entahlah. Apapun sepertinya oke. Oh ya, hari ini sepertinya aku akan sibuk. Untuk bagianku taruh saja di tempat biasa."

"Oke~" setelah selesai mencuci, [Name] menuju ke kios terdekat. Sesampainya di sana, ia melihat-melihat sambil mempertimbangkan apa saja yang ia harus beli.

"Hm... sepertinya ini saja cukup..." ia melihat-melihat kembali untuk melihat apakah ada yang perlu ia beli kembali. "Oh ya gula..."

Dan pas sekali, gula yang tersisa di gerai hanya tersisa satu.

"Saya mau ambil gula itu."

"Tuan, tolong gula yang itu."

[Name] menoleh ke sumber suara, dan yang memintanya adalah seorang pria berambut ash blonde atau malah... kehijauan? Dan ia memiliki wajah yang lembut, menurutnya. Terlihat juga pria ini pun sama bingungnya.

"Oh... kalau begitu, nona saja." ujarnya.

"Eh... tidak, lebih baik tuan saja."

"Saya merasa tidak enak..." ia melihat ke belanjaan wanita tersebut, "dan sepertinya anda lebih membutuhkannya dibandingkan saya."

"Baiklah... terima kasih, tuan...?"

"John—"

"John, masih lama tidak?"

"Sebentar, Sherlock!"

"Saya John H. Watson, anda sendiri...?"

"[Name] von Herder. Terima kasih sekali lagi, Tuan Watson."

"Tidak apa-apa," John mengambil koran dan membayarnya. "Sampai jumpa lagi, Nona Herder."

"Hee, cewek siapa lagi itu?"

"Bukan siapa-siapa, Sherlock. Ayo, cepat kembali."

[Name] tersenyum sampai pria itu hilang dari pandangannya, dan membayarnya. Ia segera kembali ke rumah begitu kegiatan berbelanjanya selesai.

[Name] berencana untuk membuatkan Louis bienenstich atau bee sting cake, sebagai balasan untuk stargazy pie yang ia buat. Sebenarnya, [Name] sendiri tak yakin apakah ia dapat membuatnya. Pernah ada suatu insiden saat ia masih remaja, ia dengan sahabatnya membuat käsekuchen atau cheesecake dengan hasil yang... bahkan ia sendiri tidak ingin mengingatnya.

Tetapi, tak ada salahnya untuk mencoba bukan? Selain itu, ini juga sebagai balasan karena orang-orang dari keluarga Moriarty telah memperlakukan dirinya dengan baik.

Maka dari itu, dengan catatan resep yang ia bawa —walau sebenarnya ia dipaksa oleh sahabatnya untuk berjaga-jaga— [Name] mencoba membuat kue tersebut mengikut resep. 

Ada gunanya juga ternyata aku membawa ini, pikirnya.

"Hm... pertama masukkan tepung... telur... lalu... raginya..."

"Eh... sebentar... sepertinya aku salah... mengapa adonannya menjadi seperti ini?"

"Agak asin... rasanya aku tadi memasukkan gula..."

"Oke, harusnya apinya cukup seperti ini."

Wanita tersebut membuatnya dengan —berhati-hati— sebisa mungkin tidak menimbulkan kekacauan. Selama pembuatan, ia berharap hasil akhir dan rasa dari kue baik-baik saja. Setidaknya... begitulah yang ia harapkan.

promise | louis j. moriartyWhere stories live. Discover now