#8 - Hadir Membawa Getir

10 3 0
                                    

Kalau dia sering kamu sakitin, maka jangan cemburu kalau dia beralih ke hati yang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau dia sering kamu sakitin, maka jangan cemburu kalau dia beralih ke hati yang lain.

--000--

Hana, seorang wanita sekaligus ibu dari Kanina yang menginjak usia 40 tahun merasakan perubahan besar dalam hidupnya semenjak berkenalan dengan seseorang melalui media sosial facebook. Adalah Haris Purnama, pria yang ternyata sahabat ketika masih di bangku SMA yang kini menjadi pengusaha sukses di kota Jakarta.
     
Sesaat setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor, Hana ditelepon oleh Haris untuk bertemu di sebuah coffee shop. Awalnya Hana menolak ajakan Haris yang menurutnya terlalu mendadak, namun setelah mempertimbangkan banyak hal, Hana akhirnya menerima traktiran dari pria itu. Wanita itu memang ingin hidupnya terbebas dari tekanan sang suami. Lagipula siapa yang mau bertahan dengan lelaki yang cuma mengekang namun jarang memberinya uang?
     
DRTTTTTTTT...
     
Tiba-tiba ponsel berbunyi dengan nyaring ketika Hana masih di perjalanan. Hana melipir ke pinggir jalan, menghentikan aktivitas berkendara sejenak lalu mengambil ponsel yang tersimpan dalam tasnya. “Halo, ada apa mas?”

“Kamu lagi dimana? Aku sudah nyampai di kedai kopi.”
     
“Astaga cepat sekali kamu. Tunggu sebentar, ya. Lima menit lagi aku pasti sampai.”
     
“Oke. Santai saja, Hana. Tapi kamu tahu, kan, lokasi kedainya?”
     
“Tahu, kok. Aku matiin teleponnya, ya, Haris.”
     
Hana memarkirkan motornya tepat di depan kedai kopi yang penuh dengan nuansa estetik. Berpendar Lara. Itulah nama kedai yang berdiri sejak beberapa minggu yang lalu. Kafe ini mengusung konsep interior yang modern dengan berbagai corak warna yang instagramable. Selain itu terdapat ornamen dan gambar-gambar yang unik yang menambah kesan artistik sehingga membuat para pengunjung betah menghabiskan waktu berjam-jam di kedai tersebut.
     
“Hai, apa kabarmu? Baik-baik saja, kan? Maaf kalau membuatmu menunggu lama.”
     
I’m pretty good. Tidak apa-apa, aku baru saja tiba di tempat ini. Sekarang kamu kerja dimana?”
     
“Aku kerja di bank, Ris,” ucap Hana tersenyum malu.
     
It sounds good. By the way, kamu mau makan apa? Biar aku yang pesenin.”
     
“Hmm...terserah kamu aja, deh. Aku suka apa saja,” ujar Hana dibalas anggukan pelan dari Haris.
     
CRINGGGG...
     
Lonceng berbunyi nyaring tepat ketika Hana membuka pintu kedai tersebut. Beruntung, suasana sedang tidak begitu ramai sehingga Hana tidak perlu terusik taktala ia bercengkerama dengan Haris nantinya.
     
“Hai, Tuan Haris. Akhirnya datang kesini lagi,” sapa barista yang bernama Hans dengan hangat.
     
“Jangan panggil saya Tuan. Panggil saya Mas saja. Lagipula muka saya masih terlihat muda.” Haris berceletuk.
     
“Hahaha...bisa saja. Mas Haris sama siapa itu?” Tumben nggak bareng sama is-”
     
Haris menyela, “Dia teman SMA saya.”
     
Barista yang bernama Hans tadi hanya ber-oh ria lalu berkata dalam hati. “Omong-omong ceweknya Mas Haris geulis pisan.”
     
“Mas Haris sama Nona ini mau pesan apa?” tanya Hans sambil menunjukkan daftar menu.
     
Haris menyahut, “Saya mau pesan 1 caramel macchiato dan 1 floatty coffee.”
     
“Baik, Mas. Caramel macchiato dan floatty coffer akan saya buatkan. Harap tunggu sebentar, ya, Mas.”
     
Sembari menunggu barista yang sedang membuat kopi, akhirnya Hana dan Haris memilih tempat duduk yang sepi agar keduanya merasa nyaman untuk bercengkerama.
     
“Ris, aku mau ngomong sesuatu ke kamu.” ucap Hana membuka topik perbincangan.
     
“Boleh, emangnya ada apa?” Haris menaikkan salah satu alisnya, memandang lekat tepat di netra Hana.
     
“Hmm...nggak jadi deh, Ris. Aku malu.”
     
“Kamu mau minta bantuan? Silakan aja. Selagi bisa pasti aku tolongin.”
     
“Sebenernya aku mau pinjam duit, soalnya akhir-akhir ini aku banyak pengeluaran. Bayar air, lah. Bayar tagihan listik, lah. Bayar duit kontrakan. Belum lagi aku juga belum bayar uang spp buat sekolah anakku.”
     
“Terus suamimu apakah tidak membantumu dalam hal ini?” nada Haris mulai terdengar serius. Ia menggelengkan kepalanya.
     
Hana menggaruk kepala yang tidak gatal lalu menjawab, “Suamiku sudah 1 tahun ini tidak bekerja. Kesehariannya hanya di rumah. Makan, main hp, dan tidur. Sudah itu saja.”
     
Haris takjub mengetahui realita hidup yang dialami Hana. “Kasihan sekali kamu, Hana. Kamu memang wanita pekerja keras. Kalau aku berada di posisimu, aku nggak akan kuat punya suami yang tidak mau bekerja. Tenang saja, nanti habis selesai ngopi aku pasti kasih uang ke kamu. Kamu mau minta berapa?”
     
“Haris? Kamu serius mau ngasih? Wah aku jadi nggak enakan nih sama kamu, Ris.”
     
“Serius, Hana. Lagian dulu saat masih SMA kamu sudah banyak bantuin aku. Jadi sudah menjadi kewajibanku untuk menolongmu.”
     
Tak lama kemudian, Hans datang menyela percakapan dengan membawa dua cangkir kopi. “Ini Mas dan Nona. Selamat menikmati.”
     
“Terima kasih, Tuan.”
     
“Sama-sama, Nona.” sahut Hans memasang senyum lebar lalu kembali ke mini barnya.
     
Hana mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kedai kopi kini tampak mulai sepi. Ia juga melihat jalanan yang diguyur hujan. Membuat hatinya terasa sejuk jika dibarengi dengan meminum kopi.
     
“Dulu aku suka sama kamu, Hana.”
     
Hana meneguk salivanya lantaran terkejut mendengar pernyataan Haris. Hatinya seperti disambar petir dan gemuruh. “Haris, itu beneran yang ngomong kamu?”
     
“Iya. Aku memang suka sama kamu sebelum perpisahan. Tapi saat itu kamu memilih jadian sama Hendra. Jadinya aku memilih untuk mundur saat itu,” ungkap Haris apa adanya.
     
“Maafin aku, Haris. Andai saja aku tau perasaanmu dan aku menyukaimu saat itu, pasti hidup kita akan bahagia.”
     
“Itu bukan salahmu, Hana. Aku yang salah karena aku menyembunyikan perasaanku. Kamu juga tahu kalau aku ini pemalu dan pendiam saat masih SMA.”
     
Tiba-tiba ponsel Hana berdering. Di layar Hp Hana tertulis: Suami Tercinta Memanggil. Sial, kenapa aku sekarang jijik baca tulisannya? Ngapain juga aku nyimpan kontaknya dengan nama itu? Hana mengatakan hal itu pada diri sendiri dalam hati.
     
“Tunggu sebentar ya, Haris. Aku mau keluar sebentar.”
     
“Suamimu nelpon kamu, ya?
     
Tanpa membalas pertanyaan pria itu, Hana segera keluar dari kafe lalu mengangkat telepon. “Halo...”
     
“Kamu kalau pulang kerja nggak pernah tepat waktu sekarang. Sekarang kamu dimana, Hana?”
     
“Ini aku masih di kantor, Mas. Disini hujannya nggak mau berhenti sampai sekarang.”
     
“Banyak alasan kamu ini, tadi temanmu telpon aku kalau kamu sudah nggak ada di kantor. Apa jangan-jangan...,”
     
“Mas selama ini isinya curiga sama Hana. Kalau nggak suka Hana kerja diluar lebih baik Mas aja yang kerja gantiin Hana!”
     
“Jaga mulutmu, Ha-“ Hendra belum menuntaskan emosinya namun Hana menutup telepon secara sepihak.
     
“Ada apa, Hana? Kok mukamu cemberut? Apa suamimu marah sama kamu?” tanya Haris saat Hana kembali masuk ke kafe.
     
“Suamiku kumat lagi penyakitnya. Selalu aja dia curiga sama aku, tapi dia gak mau nafkahin aku, Haris.” Hana menumpahkan air mata yang sudah lama ia tahan. Haris segera menepuk pundak sahabatnya itu sembari mengambil tisu agar Hana mengusap wajahnya yang penuh bulir bening.
     
“Kalau kamu ada apa-apa, curhat aja sama aku, Hana. Kalau suatu saat kamu butuh sesuatu, minta saja ke aku. Selagi aku bisa, aku pasti kasih apa yang kamu mau.”
     
“Terima kasih, Haris. Terima kasih sudah ngertiin aku. Kamu memang pengertian sama aku.” Hana beranjak dari tempat duduknya. “Aku mau pulang dulu, Ris.”
     
Haris meraih tangan Hana secara spontan. “Cepat sekali, kenapa nggak pulang nanti saja? Lagipula...maaf aku nggak sengaja.” Haris melepaskan genggamannya ketika ia menyadari aksi yang tidak disengaja.
     
“Aku takut dimarahi suamiku, Ris. Jadi terpaksa aku harus pulang sekarang.”

***

Kanina tiba di rumah setelah berjalan kaki selama 40 menit lamanya. Hujan yang turun deras saat bel pelajaran selesai berbunyi menghalanginya pulang saat itu. Uang sakunya habis sehingga gadis itu tak bisa pulang menaiki bus kota. Selain itu Nathan sedang ada tugas belajar kelompok dengan temannya sehingga Kanina terpaksa pulang tanpa alat transportasi.
     
“Tukang selingkuh. Bangga banget kamu gonta-ganti cowok.”
     
“Mas, selama ini aku diam saja tiap Mas nuduh aku tukang selingkuh. Setiap aku punya teman laki, Mas selalu ngira aku ini ganti cowok.”
     
“Memang kenyataannya begitu, kok. Disindir gitu aja kok nggak terima?”
     
“Hana nggak nyangka bakal punya suami yang cuma bisa nyakiti perasaan istrinya sendiri. Kamu nggak pantas disebut suami yang baik!”
     
“Nggak usah merasa dikhianati, ya, kamu. Memangnya yang punya perasaan cuma kamu?”
     
“Kerja, Mas. Kerja! Sudah berapa kali aku bilang ke kamu, Mas. Selama ini aku yang kerja cari uang buat bertahan hidup!”
     
“Kamu kerja bukan untuk keluarga tapi buat selingkuhanmu, Hana!”
     
Tak ada habisnya Hendra dan Hana bertengkar, apalagi hal yang mereka ributkan hanya seputar itu-itu saja. Kanina sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, namun tetap saja pemandangan yang tak meneduhkan itu menusuk hatinya.
     
“Ayah sama ibu bisa nggak sih akur? Sehari saja,” pinta Hana dengan kesabaran yang hampir habis.
     
“Kamu nggak tau apa-apa, Nina. Jadi kamu lebih baik diam saja.” Hendra menimpali, wajahnya mulai memerah.
     
“Nina, ini ibumu, Na. Mama yang lahirin kamu. Mama yang ngerawat kamu sampai saat ini. Kamu minta apa aja selalu mama beliin. Tapi kenapa kamu malah diem, Hana? Apa kamu sudah ngaak sayang sama ibu?
     
“Nggak ayah nggak ibu sama saja. Kalian minta dibela tapi kalian nggak bisa kasih ketenangan buat Kanina. Aku belain ayah dikira nggak sayang sama ibu. Sebaliknya juga gitu. Aku capek hidup kayak begini terus. Nggak ada perubahan sama sekali. Terserah deh ayah sama ibu mau apa, soalnya Kanina disini cuma dijadiin pajangan doang. Habis ini aku mau pergi dari rumah ini. Titik!”
     
Kanina bukan seseorang yang suka banyak bicara. Ia tak mau terlibat dalam masalah yang menurutnya bukan menjadi bagiannya untuk diselesaikan. Ia segera berkemas-kemas, memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam tas miliknya. Kanina juga diizinkan untuk menginap di rumah neneknya setelah ia menelepon neneknya itu. Ia akui merasa lebih nyaman dengan neneknya yang sangat dekat dan mengerti isi hatinya.
     
“Jangan coba-coba kabur dari rumah ini, Nina! Kalau kamu berani keluar rumah sama saja kamu mempermalukan keluarga kita.” Hendra melayangkan jari telunjuknya ke arah Kanina.
     
“Yang bikin malu sebenarnya ya kalian berdua. Dasar orang tua pemikiran primitif. Tolol kok dipelihara?!”
     
Hendra geram ketika mendengar kalimat pedas yang dilontarkan anak satu-satunya itu. Ia mengepalkan tangannya, takkan gentar memukul Kanina yang sudah melebihi batas.
     
“Ayah mau mukul aku? Nggak apa-apa. Cepetan, aku tunggu sampai sekarang. Sekali ayah turun tangan, ayah bakal aku bikin sekarat seperti dulu. Berani kok sama cewek.” Hendra tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Ia mengurungkan niatnya untuk bertindak represif pada Kanina.
     
“Jangan tinggalin ibu, Na. Ibu sayang sama kamu, Na.” ucap Hana dengan ekspresi memohon.
     
“Sayang apaan? Buktinya ibu selalu bohongin aku. Uangku juga belum ibu kembaliin. Uang sekolah nggak pernah dibayar. Ibu selalu mentingin diri sendiri daripada aku! Sudah ah...capek aku ngeliat muka kalian,” Kanina mengakhiri ucapannya dengan wajah tidak berdosa. Tak ada rasa bersalah sedikit pun ketika ia mengucapkan kata-kata yang menyakiti kedua orang tuanya. Hingga akhirnya Kanina berjalan cepat meninggalkan rumah yang ia anggap sebagai kediaman roh-roh jahat.

--000--

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 06, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nathan & Kanina [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang