1. Tentang 'Pulang'

54 11 2
                                    


"Mas kapan pulang?"


Pada akhirnya, pertanyaan itu terdengar juga di telinga Didit.

Ada mungkin sepuluh tahun atau bahkan lebih Didit meninggalkan rumah. Berkelana seperti pendekar di masa lampau, mencari pengalaman hidup selepas tamat SMA. Berharap suatu hari bisa jadi 'orang', atau paling tidak menghargai identitas genetiknya yang terlahir sebagai seorang laki-laki.

Tidak.

Didit bukan si bocah pemberontak yang pergi dengan membawa luka batin akibat ketidakharmonisan keluarga atau berbagai kisah penuh anarki lainnya. Tidak. Keluarganya baik-baik saja. Om Harris pun menggantikan peran almarhum Bapak dengan baik untuk Ibu dan dua adik tiri yang lahir tak lama setelah mereka menikah. Didit pribadi juga tidak ada masalah dengan Om Harris. Lelaki yang bahkan tidak pernah memaksa untuk dipanggil 'Bapak' itu juga memperlakukan Didit dengan sangat baik. Hanya Didit saja yang sedari dulu enggan memanggilnya 'Bapak'. Aneh saja rasanya, memanggil orang lain yang bukan ayahnya dengan sebutan 'Bapak'. 

Menurut Didit, kematian bapak kandungnya tidak bisa membuatnya serta merta kehilangan sosok ayah dalam hidupnya. Didit masih punya bapak, hanya saja bapaknya tidak lagi tinggal di bumi sejak Didit berusia lima tahun gara-gara tidur siang yang kebablasan. Harusnya waktu Bapak bilang, "Dit, nanti kalau sop mangutnya Ibu udah mateng, bapak dibangunin, ya," Didit tarik saja tangan bapaknya supaya bisa nonton Beyblade dan tidak jadi ke kamar untuk tidur sebentar.

Karena ternyata, sebentar versinya Bapak adalah selamanya.

Hari Minggu itu Bapak tidur siang dan tidak pernah terbangun lagi. Bapak batal mencicipi sop mangut buatan Ibu. Dan Minggu-minggu setelahnya, sop mangut buatan Ibu selalu terasa kurang bumbu yang wujudnya adalah kehadiran Bapak di meja makan.

Untungnya Didit tumbuh menjadi anak yang sadar kalau kematian itu bisa datang kapan saja. Jadi Didit tidak berlarut-larut menangisi kepergian bapaknya, apalagi sampai mengasihani dirinya sendiri yang mendadak harus menjadi anak yatim. Tidak. Didit kecil tau kalau kesedihan tidak akan membangunkan Bapak dari tidur siangnya. Didit kecil tau kalau itu justru akan membebani Ibunya yang mendadak harus membesarkannya seorang diri. Lalu sewaktu Didit masuk SMP, ada Om Harris datang untuk meringankan tugas Ibu dan itu membuat Ibu sedikit lebih banyak tertawa. 

Bagus, lah!

Didit jadi tidak perlu kena omelan selama seminggu penuh kalau dia pulang sehabis maghrib, karena Om Harris bisa menjelaskan ke Ibu kalau tugas murid SMP di jamannya Didit memang sebelas dua belas dengan jam kerja budak korporat. Di antaranya, ada tugas kelompok yang mengharuskan Didit berlama-lama di rumah temannya. Ya, sebenarnya tugas juga sudah selesai dalam waktu beberapa jam saja. Tapi skip main bola itu rasanya dosa terhadap lapangan. "Malu sama Tsubasa!" kalau kata teman-teman setiap ada yang pamit pulang duluan sebelum permainan berakhir.

Lalu setelah Om Harris, Dio dan Desi lahir dari perut Ibu. Kedua adik tirinya ini lahir dengan selang waktu kurang lebih tiga tahun. Didit tidak begitu ingat pasti berapa jarak umur kedua adiknya ini karena waktu itu Didit sudah semakin jarang di rumah. Terlebih, banyak ada sekali kegiatan yang Didit lakukan selepas pulang sekolah. Ya ngeband, ya futsal (waktu itu Didit sudah pensiun dari tim lapangan dekat rumah karena teman-temannya yang lain juga banyak yang pindah), ya ikut bimbel (kalau yang ini sebenarnya biar bisa deket-deket sama Putri, pacar pertamanya Didit), dan masih banyak urusan lainnya. Termasuk diam-diam jadi kurir langganan Bu RT karena anak kandungnya sendiri merasa ndak mbois alias jadi tidak keren kalau harus mengantar lapis Surabaya buatannya yang laris pesanan dengan motor ninja. Lagipula, selain memang sudah saling kenal karena sering berangkat Jumat'an bareng-bareng, Mas Justin—anaknya Bu RT yang punya motor ninja itu, baru saja masuk kuliah. Jadi wajar kalau dia sering minta tolong Didit yang menggantikan tugasnya sebagai ahli waris lapis Surabaya Bu RT di bagian antar mengantar saja. Kalau soal warisan, sih... ya, jangan harap. Lagipula, Bu RT ataupun Mas Justin juga tidak pelit memberi sedikit tambahan untuk beli bensin dan rokok.

VOYAGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang