4. Miranda Angkasa Rusmini

38 9 2
                                    


Dihadapkan dengan kenyataan bahwa Rara selayaknya bom waktu yang dapat meledak kapan saja, membuat Didit akhirnya mengungsi sejenak ke tempat tinggal salah satu seniornya. Didit perlu menenangkan diri sembari menata ulang rencana serta langkah yang ia ambil. Kekasihnya kini sudah bukan perempuan yang ia kenal. Yang setau Didit paling takut jarum. Yang payah kalau harus membuka tutup selai. Yang selalu mengetuk pintu kamar kostnya untuk sekedar menikmati senja di pantai dengan kebijaksanaan dari perpaduan abidin dan sekotak Marlboro yang selalu menenangkan pikiran barang sejenak.

Rara yang sekarang bukan lah Rara yang pernah Didit kenal.

Dia,

perempuan berbahaya dengan sejuta rahasia.

Perkara kaki Cak Muaini itu bukti konkritnya. Masih untung kaki yang jadi incaran. Bagaimana kalau nyawa?

Dibandingkan rasa khawatir apalagi takut, sesungguhnya yang Didit rasakan saat ini adalah amarah yang sangat memuncak. Didit tau gadis itu berbahaya untuk keselamatannya. Tapi di sisi lain, apa tidak ada cara untuk meredam bahaya itu? Maksudnya, apa tidak ada yang bisa Didit lakukan agar situasinya bisa kembali seperti dulu? Hanya Rara, perempuan yang Didit cintai. Itu saja. Tanpa ada embel-embel kalau ternyata gadis itu merupakan incaran oknum-oknum yang menginginkan sesuatu darinya.

"Pasti takut LDR, ya?"

Teman-teman yang mendadak jadi sering datang untuk nongkrong di kost milik teman yang Didit tumpangi selama beberapa hari itu jelas tidak tau apa yang membuat Didit begitu resah akhir-akhir ini. Lebih dari itu, kalau Didit bisa bercerita. Namun Didit tau, ia tidak bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada sembarang orang. Bahkan pada siapapun sekalipun pada keluarganya. Salah-salah Didit malah akan kehilangan Rara selamanya.

Tapi bukankah itu lebih aman?

"Jadi kehidupan di kapal itu sebenernya gimana sih, Bli?"

Ya!

Setelah beberapa hari menghabiskan waktu untuk nongkrong dengan Bli-Bli dari tempat kerja yang sudah Didit anggap seperti keluarga sendiri, Didit akhirnya memutuskan pilihannya untuk bekerja di kapal pesiar. Pada akhirnya Didit juga ikut pro dengan opini Rara demi masa depan yang lebih baik.

Dan lebih aman tentunya.

Setelah mengambil keputusan, Didit tidak serta merta kembali wara-wiri di kostan. Ia masih menghindari Rara. Ia takut kalau kembali berinteraksi dengan perempuan itu, ia akan melepaskan segenap rasa penasarannya yang masih mengganjal dan berakhir melukai Rara dengan rasa frustasinya.

Jujur, Didit masih ingin mencari tau meski Didit sadar ia tetap tidak mendapatkan apa-apa karena sampai kapan pun, gadisnya tidak akan mau mengungkap rahasianya.

Jangankan rahasia.

Sewaktu Didit menyempatkan untuk pulang ke kostan dan bersiap untuk berangkat kerja lagi esok harinya, gadis itu bahkan tidak menyapanya. Padahal Didit tau kalau gadisnya tengah mengintip dari balik jendela kamarnya ketika Didit tengah memanaskan kendaraannya. Kontras sekai jika dibandingkan dengan apa yang Rara lakukan di masa lalu. Bagaimana gadis itu selalu menyapanya ramah sembari mengantar kepergiannya dengan "Semangat ya, Mas Didit! Pantang pulang sebelum tumbang!" Membuat Didit selalu jadi lebih semangat untuk memulai harinya yang jelas tidak akan pernah mudah, mengingat pekerjaan Didit sebagai tukang masak untuk hotel kelas dunia dengan event yang tiada hentinya.

Bahkan sejak Didit mengenal dunia perhotelan, Didit jadi asing dengan tahun baru yang seharusnya bisa ia lewatkan secara romantis seperti manusia-manusia yang memiliki pasangan di luar sana. Untuk ukuran orang hotel, 'tahun baru hanyalah mitos'. Dan mitosnya jadi semakin mengerikan setelah surat resign yang Didit ajukan diterima serta offering letter dari pihak kapal pesiar yang Didit kirimi surat lamaran sudah keluar.

VOYAGERWhere stories live. Discover now