6. Elena Sutomo

35 9 3
                                    


Waktu kecil, mendiang Ibu pernah bercerita,

"Garis tangan adalah perangko dari Tuhan untuk menandai setiap kisah ciptaan-Nya agar malaikat leluasa mencatat perbuatan tiap manusia selama hidupnya. Apakah lurus atau melenceng dari yang telah digariskan? Apa bermanfaat atau merugikan manusia lainnya?"

Kalau memang begitu, kasihan para malaikat yang kebagian mencatat kehidupan saya. Pasti pusing dan mungkin sebentar lagi akan mengundurkan diri dari pekerjaannya.

Dari Mbak Rumi sampai jadi Elena. Dari hanya seorang gadis yang suka bermain biola sampai jadi buronan negara.

Haha.

Sebenarnya kisah seperti apa yang Dia tuliskan saat menciptakan saya? Kalau memang hidup saya sudah digariskan, sayat tidak mungkin selalu menata hidup yang baru tiap kali mengganti jati diri demi melindungi orang-orang yang saya cintai.

Dulu, saat mereka mengenal saya sebagai Mbak Rumi, mereka memfungsikan saya sebagai ujung tombak dari segala permasalahan yang mereka ciptakan sendiri.

"Kan, Mbak Rumi yang paling tua!"

"Mbak Rumi harus tabah!"

"Kalau sampai adiknya begitu, ya mau ndak mau, Mbak Rumi yang harus ngasih tau! Kan Mbak Rumi tau kalau Ibu sedang sakit dan bla bla bla..."

Basi.

Ibu sudah sembuh dari sakitnya lalu pulang ke rumah-Nya begitu saja tanpa bertanggung jawab atas hajat hidup anaknya yang satu lagi.

Maksud saya, Ruri,

anak kesayangan Ibu sedari dulu.

Satu-satunya adik lelaki yang saya miliki. Si pembuat onar. Bahkan di kala dia sudah berani menjebak seorang anak perawan dengan iming-iming hidup bersama sampai tua, Ruri malah menjebak dirinya sendiri ke obat-obatan terlarang. Berulang kali. Sampai setengah hidup saya habiskan mondar-mandir di pengadilan, lapas, dan pusat rehabilitasi demi memainkan peran sebagai Mbak Rumi yang bertanggung jawab dan dituakan.

Tapi Mbak Rumi juga punya kehidupannya sendiri. Mbak Rumi juga tidak mungkin mengabaikan Mas Bing yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk mencari kebenaran lewat tinta dan pena. Menjadi istri Mas Bing merpakan pilihan paling nekat yang pernah saya buat dalam hidup saya.

Karena kalu saya tau akhirnya saya harus menjalani hidup penuh pelarian dan melawan, lebih baik dulu saya tidak menerima pinangan pemuda humoris yang hobi merakit Honda Gelatiknya di bengkel sebelah rumah saya.

Kalau tau akhirnya Mas Bing meninggalkan saya dengan Kitab Samsara yang belum sempat diketik, lebih baik saya menikah dengan orang lain saja, meski saya akan menghabiskan sisa hidup saya untuk jadi orang lain juga.

Ya, pada akhirnya saya tetap jadi orang lain, ding, sepeninggalan Mas Bing. Demi melanjutkan perjuangannya mengungkap kebenaran (dan tentu saja demi rasa cinta kepada mendiang suami yang akan selalu menempati ruang terdalam di hati saya), Mbak Rumi yang tercatat di akta kelahirannya dengan nama Miranda Angkasa Rusmini, terpaksa tidak bisa menggunakan nama itu lagi di KTP barunya.

Rara.

Saya hanya menuliskan nama 'Rara' sewaktu Cak Muaini mengumpulkan berkas-berkas pergantian nama. Oh, iya. Cak Muaini ini juga merupakan salah satu orang yang terpaksa menerima 'warisan kesialan' dari almarhum Mas Bing yang dijanjikan keadalian mengenai kasusnya yang terdahulu kalau Kitab Samsara berhasil beredar. Tapi, keadilan itu akan ia dapatkan dengan syarat yang diberikan Mas Bing sebelum kematiannya,

"Penulis Kitab Samsara harus tetap hidup sampai buku itu lahir dan beredar. Setelah itu, Cak Muaini harus menjamin si penulis bisa kembali memainkan biolanya kembali."

Dan di sini lah si penulis yang kembali beramin biola dari teknik paling dasar sebagai Elena Sutomo.

Pelajar Indonesia yang hijrah ke Finlandia demi mengejar mimpinya agar bisa bergabung pada suatu orkestra bergengsi dan berkeliling dunia. Putri bungsu dari keluarga Sutomo yang tidak pernah terdaftar di catatan sipil manapun karena sosok Elena Sutomo ini memang hanya akal-akalan saya dan Cak Muaini saja setelah melenyapkan Miranda Angkasa Rusmini lewat satu tragedi kebakaran dahsyat di Semarang.

Kitab Samsara akhirnya terbit dan jelas menjadi huru-hara di tanah air. Miranda Angkasa Rusmini juga sudah tewas, jadi perempuan itu tidak bisa diadili dengan dakwaan menciptakan kerusahan serta ancaman, terutama bagi pihak-pihak yang dituduhkan dalam buku tersebut.

Namun Elena Sutomo tidak bisa serta merta hidup dan melanjutkan mimpinya begitu saja karena 'pihak-pihak' itu jelas tidak akan mudahnya percaya kalau Miranda Angkasa Rusmini sudah mati.

Mereka jelas masih akan tetap mengejar saya sekalipun saya berada di ujung dunia. Tidak ada jaminan kalau hiudp saya sudah seratus persen aman.

Dan atas alasan tersebut, saya menetang keras keputusan lelaki yang menangis di hadapan saya ini untuk terus menemui saya di setiap akhir kontraknya.

"Tidak ada jaminan kalau mereka tidak mengincar saya lagi, Didit. Saya tidak mau melibatkan kamu lagi karena bisa jadi akalu mereka tau saya berinteraksi dengan kamu, mereka juga akan mengincar nyawamu. Saya sudah pernah kehilangan suami saya, Didit, dan saya tidak sanggup melihat kematian yang lain.

Tolong, tetaplah hidup dan menjalani kehidupanmu sendiri. Itu satu-satunya hubungan yang bisa kita jalani. Maafkan saya, Didit. Saya mencintai keselamatanmu lebih dari apapun."

Tetapi lelaki yang saya kenal sejak kabur ke Pulau Dewata itu adalah lelaki yang berprinsip tegas. Ia selalu percaya akan apa yang ia yakini. Sekalipun bisa membahayakan nyawanya.

"Terserah kalau kamu hanya mencintai keselamatanku, Ra—maksudku Nyonya Miranda—maksudku Elena. Tapi aku mencintai setiap kebersamaan denganmu di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi apa pun. Kalau seandainya aku mati dalam perjalanan mencintaimu, yang akan kehilangan bukan aku tapi kamu. Impas, kan?

Kamu pernah menjebakku dan aku hampir kehilangan kamu. Sekarang tentu kamu juga harus berada di posisi yang sama denganku. Itu satu-satunya hubungan yang harus kita jalani, Elena Sutomo."

Mungkin satu-satunya kisah yang digariskan dalam perangko pada telapak tangan saya, adalah saya yang akan selalu berjodoh dengan lelaki yang cepat atau lambat akan meninggalkan saya dengan cinta yang mendalam.

Karena setelah pagi di salah satu sudut Helsinki itu, saya kembali menghabiskan waktu bersama salah satu crew kapal pesiar yang kebetulan sedang menepi di sini dan akan segera kembali melanjutkan pelayaran dalam waktu kurang dari sepuluh jam. Dan saya kembali menjadi gadisnya yang kali ini menyambut kepulangan serta melepas kepergiannya—yang kali ini sudah tidak pada indekos milik Cak Muaini, melainkan bandara Finavia di setiap akhir kontrak kerjanya. Lalu Didit akan kembali menemani hobi jalan-jalan gadisnya yang kini berambut jeruk sunkist dan punya nama Elena Sutomo, salah satu mahasiswi Sibelius Academy, konsentrasi Violin yang punya mimpi bisa memainkan biolanya lagi di salah satu orkestra,

bukan Rara,

atau Miranda Angkasa Rusmini yang sudah lenyap, hangus tak berjejak.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 10, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

VOYAGERWhere stories live. Discover now