2. Rara

43 10 3
                                    


Ada yang bilang, cinta sejati adalah cinta yang tanpa alasan. Seperti cinta seorang Ibu pada anaknya. Atau seperti matahari yang senantiasa menyinari bumi.

 Tapi terakhir kali Didit mendengar kata-kata itu dari gadisnya (yang belum jadi buronan kala itu), Didit mematahkan analoginya. 'Cinta' mungkin relevan jika konsep situasinya adalah seorang Ibu yang sangat mendamba-dambakan kehadiran si buah hati, atau Ibu yang dapat bantuan suami suportif untuk membesarkan keturunannya. Bukti konkritnya yaitu Dio dan Desi yang senang sekali menghabiskan waktu di rumah bersama Ibu dan Om Harris ketimbang harus pergi ke luar karena mereka sudah pasti akan merengek tidak betah serta ingin cepat-cepat pulang.

Masih segar dalam ingatan Didit sewaktu ia mengajak adik laki-lakinya ikut latihan band bersama teman-teman SMA-nya. Kalau tidak salah Dio masih kelas 5 SD kala itu. Baru setengah jam Didit menyesuaikan beat untuk lagu yang akan ia bawakan bersama teman-teman, Dio sudah merengek minta pulang. "Mas, Dio pulang naik taksi juga nggak apa-apa. Nungguin lagunya lama. Dio bosen. Laper juga. Dio pinjem handphone buat telpon taksi, ya?"

Saat Didit membuka layar ponsel, jam menunjukkan pukul tujuh lewat beberapa menit waktu makan malam. Pantas saja adiknya ingin bergegas pulang. Singkat cerita, akhirnya Dio tidak jadi berguru dengan temannya yang gitaris dan semenjak hari itu, Dio menghapus 'musik' dari passion-nya hingga sekarang.

Sama halnya dengan Desi yang setiap ada acara darmawisata di sekolahnya selalu menangis di sambungan telepon guru pendampingnya sampai membuat Ibu dan Om Harris langsung menjemputnya ke lokasi hanya gara-gara "kangen rumah". Bukannya meremehkan, tapi Didit yakin setelah lulus SMA nanti, kemungkinan besar Desi akan mengikuti jejak kakak laki-lakinya yang satu itu untuk masuk ke universitas yang sama,

yang tentu saja lokasinya masih berada di kota yang sama.

Didit tidak menghakimi kedua adiknya itu dengan menganggap mereka sebagai anak-anak manja. Dan tidak ada salahnya juga menjadi manja selama ada yang memanjakan. Itu namanya privilege. Didit saja yang tidak pernah mengambil privilege itu, padahal Ibu dan ayah tirinya senantiasa memberikan apa yang Didit mau. Hanya kebebasan yang Didit ambil dari apa yang mereka tawarkan. Selebihnya, Didit merasa ia lebih baik sendiri. Karena konsep 'cinta' dari seorang Ibu kepada anaknya itu masih terlalu abstrak untuk ia cerna dalam otaknya. Kalau 'cinta' itu bentuknya perhatian, perhatian yang seperti apa yang sampai layak disebut sebagai 'cinta'? Bukankah perhatian yang berlebihan malah justru mengubah definisi kata 'cinta' menjadi 'obsesi' dengan kata sifat 'posesif'?

Didit rasa, perhatian dari keluarganya tidak sampai se-ekstrim itu.

Kalau 'cinta' wujudnya pengorbanan, sepanjang histori keluarganya belum ada yang sampai tumpah darah mengorbankan nyawa untuk membuktikan cinta terhadap setiap anggota keluarga. Nyawa yang hilang hanya sebatas kematian almarhum bapak kandungnya Didit. Tapi situasinya, almarhum bukan sedang mengorbankan sesuatu untuk melindungi atau menjaga atau apalah demi keutuhan keluarganya. Memang waktunya almarhum Bapak saja yang sudah selesai di dunia. Jadi beliau harus pulang ke rumah-Nya, tempat di mana seharusnya beliau berada.

Lama-lama cinta hanyalah sebuah kata dramatis yang sangat naif untuk didefinisikan.

Sampai akhirnya Didit bertemu dengan Rara, perempuan yang membuat Didit mendefinisikan cinta dari sudut pandang lain.

Perempuan yang mematahkan analogi Didit soal cinta Ibu kepada anak-anaknya atau matahari yang senantiasa menyinari bumi.

"Kalau ibumu nggak cinta sama kamu, Dit, mungkin kamu udah ditinggalin di panti asuhan setelah bapakmu nggak ada. Apalagi kalau punya anak yang mindset-nya selalu skeptis kayak kamu. Buat apa sih, kamu sok-sokan idealis dengan nyari definisi cinta yang sesungguhnya? Matahari kalau capek juga ngeluhnya nggak sama kamu, kok. Eman-eman itu lho kepalamu dibuat mikir hal-hal yang nggak seharusnya dipikirin."

VOYAGERWhere stories live. Discover now