╰┈➤ Cello || 01

896 91 3
                                    

✧

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lantunan instrumen cello¹ terdengar di aula konser. Indah. Orang awam akan beranggapan demikian, berbeda dengan Fyodor Dostoyevsky—pemain cello yang sedang naik daun dan menjadi konsumsi publik.

Pria kelahiran Rusia itu tengah menunggu gilirannya tampil di belakang panggung seraya memerhatikan peserta yang tengah mempertunjukkan bakatnya. Sesungguhnya, lomba cello internasional ini bukanlah hal yang penting bagi Fyodor. Tak lebih dari keisengan semata.

Dapat dibilang bahwa keberuntungan berada di pihak Fyodor. Hal ini diakibatkan oleh album instrumen pertamanya yang laku keras di pasaran, bahkan Fyodor sampai mendapat banyak tawaran dari berbagai pihak. Dan jika Fyodor memenangkan lomba tersebut, dia akan meluncurkan musik instrumen keduanya.

Bow² berhenti beradu dengan keempat senar cello, pemain hebat itu selesai. Giliran Fyodor tiba. Ketika tirai merah mencapai lantai kayu, Fyodor masuk ke panggung, duduk di kursi yang disediakan di tengah dan menaruh cello kebanggaannya di endpin³. Si tirai merah ditarik naik, musik indah khas tangan Fyodor langsung menyambut hangat pendengaran para penonton.

Pemenangnya sudah dapat dipastikan.

Sejujurnya, Fyodor tak pernah meragukan dirinya sendiri juga bakatnya. Di matanya, dia adalah orang berbakat yang mampu mempermainkan perasaan insan lain melalui musiknya. Sebagian menganggapnya anugerah, Fyodor sendiri memandangnya sebagai kutukan. Pemikiran seperti, betapa indahnya hidupku jika musik tak pernah menyapa telingaku, bukanlah hal tabu lagi bagi kalbu Fyodor, malahan sudah menjadi konsumsi sehari-hari.

"Hiatus?"

"Ya."

Nikolai Gogol—kenalan Fyodor—tampak kebingungan ketika Fyodor selesai menyampaikan keinginannya. Nikolai yang bahkan orang awam dalam dunia permusikan saja tahu bahwa hiatus dalam keadaan naik daun seperti itu bukanlah hal yang menguntungkan. Dan Fyodor sendiri membenci kerugian di tengah ladang kemakmurannya.

"Kenapa?" Berusaha memaklumi, Nikolai memilih untuk bersabar.

"Music's suck."

Selalu seperti itu, Nikolai membatin dengan ekspresi lelah.

"Tapi, Dostoyevsky, karirmu sedang berada di atas."

Fyodor menatap tajam pada lawan bicara. "Lalu?"

"Kalau kau hiatus sekarang, karirmu akan merosot."

Fyodor hanya mengangguk kecil, manifestasi dari rasa ketidakpeduliannya. Pria jangkung itu melangkah menuju balkon, menurunkan topi ushanka⁴-nya, seolah sedang berduka.

"Musik bagaikan sangkar sempit, dan akulah burung yang tinggal di dalamnya. Jika aku menetap, aku akan mati tanpa memiliki pengetahuan maupun ikatan dengan dunia luar. Aku akan mati dengan cela itu, Gogol."

Nikolai terkejut. Irisnya membulat dengan kening yang sedikit mengerut. "Aku mengerti. Kejarlah keinginanmu, Dostoyevsky. Sampai dirimu tak bercacat lagi."

Topi ushanka kembali dikenakan. Fyodor pun melenggang pergi meninggalkan teman badutnya sendirian.

Next, karena saya malas~

ʜᴇᴀʀᴛʙᴇᴀᴛ || ʙsᴅWhere stories live. Discover now