BJ - 2

3.1K 335 17
                                    

Di tengah malam yang sunyi Genta terbangun dengan napas memburu, keringat dingin menghiasi seluruh wajah hingga rambutnya yang cepak. Tatapannya nanar. Jantungnya berdetak abnormal. Hentakan kasar itu rupanya mengusik perempuan yang terlelap di sampingnya.

"Kenapa, Gen?" tanya perempuan itu dengan suara kantuk.

Genta belum merespon, perasaan kaget masih menguasai seluruh tubuhnya.

Perempuan itu meraih botol air putih yang selalu ia sediakan di atas meja samping tempat tidur, jikalau sewaktu-waktu dibutuhkan. "Minum dulu!" titahnya yang langsung dituruti oleh Genta, meneguk hingga separuh.

"Tumben kamu mimpi buruk?" gumam perempuan itu setelah meletakkan kembali botol beling di tempat semula. "Kamu kalau lagi ada masalah pasti kebawa mimpi. Ada masalah sama Kinan?"

"Aku putus sama Kinan."

Pengakuan yang sangat mengejutkan! Jangankan Sarah, Genta sendiri juga tidak menyangka akan mengakhiri hubungannya dengan perempuan yang telah memiliki hatinya hingga bertahun-tahun demi tanggung jawabnya pada keluarga.

"Putus? Kenapa?" Sarah tampak benar-benar terkejut.

Genta beranjak seraya melepas singlet, digunakan untuk mengusap sisa peluh di lengan dan leher. Dua hari ini ia merasakan patah hati yang luar biasa, maka cukuplah hanya dirinya dan Kinan saja yang mengetahui alasan dibalik perpisahan itu.

"Cobalah kamu cerita sama aku, Gen. Kalian kenapa?"

Genta kembali berbaring setelah mengenakan singlet yang bersih. "Nggak apa-apa," jawabnya sambil menarik istrinya ke pelukan. "Ayo tidur lagi, nanti kamu capek."

Belakangan ini Sarah memang sering mengeluh sakit pinggang, mungkin efek hamil tua. "Kamu nggak mau cerita sama aku?" bisik perempuan itu.

Genta diam, memejamkan mata. Mimpi yang baru saja dialaminya kembali berputar. Saat Kinan menuntut keseriusan hubungannya dan berakhir dengan kemarahan Sarah. Mimpi itu sangat bertolak belakang dengan yang sebenarnya terjadi.

"Sebenarnya aku mau ngebahas ini setelah 40 harian Mama. Tapi aku lihat kamu masih sangat terpukul, jadi aku berniat nunda dulu sampai kamu bisa diajak ngomong baik-baik." Saat Genta sudah mulai terlelap, perempuan yang berada di pelukannya ini kembali bersuara.

"Kita dulu nikah karena permintaan Mama. Murni karena kita sangat menyayangi Mama yang saat itu sakit keras. Terbukti kondisi Mama berangsur membaik setelah kita mewujudkan keinginannya. Terlebih saat Mama mendengar kabar akan memiliki cucu. Kata dokter, obat paling mujarab untuk penderita kanker adalah hati yang bahagia. Meskipun itu tidak bisa membunuh penyakit yang sudah terlanjur menyebar, yang pada akhirnya merenggut nyawa Mama. Jadi, aku cuma ingin berkata, jangan terus disesali, Gen. Selama ini kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu sudah memberi banyak hal dihari-hari terakhir Mama. Sekarang saatnya kamu memikirkan kebahagiaanmu sendiri. Nanti setelah anak kita lahir, mari kita berpisah. Kamu harus kembali sama Kinan. Oke?"
.
.
.
"Mbak Sarah, yang ini nggak restock lagi?" tanya seorang perempuan paruh baya yang menjadi pelanggan online shopnya. Perempuan itu kembali menyodorkan ponsel ke arahnya, menunjuk salah satu artikel lawas yang sudah tidak diproduksi lagi. "Padahal bagus banget loh!" lanjut perempuan itu.

"Ibu kan tahu sendiri, kalau tiap desain yang saya buat hanya akan diproduksi tiga pcs saja. Itu yang bikin pelanggan saya awet, termasuk Ibu Aileen."

"Nyempil satu aja lah, Mbak. Buat aku."

Sarah melipat dress yang baru selesai ia pasang resleting ke dalam tas kertas dengan sablon namanya. "Nanti saya buatkan desain yang lebih bagus dari itu, khusus untuk Ibu Aileen."

Perempuan di depannya langsung berbinar. Diterima barang pesanannya tersebut sambil berucap, "Nanti saya transfer DPnya ya, Mbak?"

"Tunggu saya selesai buat desainnya dulu, baru nanti Ibu pilih-pilih yang menurut Ibu paling oke."

"Baiklah." Perempuan itu memasukkan ponselnya dan dompet ke dalam tas, bersiap untuk pamit. "Jadi Mbak Sarah lulus kuliah tahun berapa sih?"

"Saya lulus kuliah sekitar empat tahun yang lalu, Bu."

"Jurusan Tata Busana?"

"Iya, Bu. Saat itu usia saya sudah dua lima. Saya dulu kuliahnya agak telat karena harus kerja juga. Saya ini yatim piatu, Bu. Tapi saya bersyukur memiliki Ibu angkat yang banyak membantu kebutuhan saya."

"Wah, berarti sudah lama dong jadi desainer? Mbak Sarah memang nggak berencana bikin butik gitu? Kenapa hanya jualan online?"

Sarah menggiring perempuan itu untuk meninggalkan tempat yang biasa ia gunakan untuk menjahit, menuju ke ruang tamu. Mereka lanjut mengobrol. Tangan Sarah bergerak lincah menghidangkan beberapa camilan dan teh botol. "Setelah saya lulus kuliah, qadarullah ... ibu angkat saya divonis kanker. Beliau sudah sangat berjasa bagi saya. Sehingga, kesempatan saya untuk berkarir, saya kesampingkan untuk merawat beliau."

"Ya Allah, terus gimana keadaan Ibu sekarang, Mbak?"

"Ibu sampun kapundut, empat bulan yang lalu."

"Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Mugi-mugi husnulkhatimah."

Sarah tersenyum tipis sambil mengaminkan doa tersebut. Rasa sentimentalnya langsung keluar jika membahas tentang perempuan yang menjadi ibu kandung suaminya.

Mobil Genta memasuki pelataran rumah beberapa saat setelah pelanggannya pulang. Sarah berdiri di depan pintu sengaja menunggu lelaki itu keluar dari kendaraannya.

"Ada tamu?" tanya Genta saat sudah berada di hadapannya.

Sarah menyambut suaminya dengan senyum dan ciuman di punggung tangan. "Pelanggan aku," jawabnya kemudian.

"Kok ke sini? Nggak dikirim?"

"Kebetulan dia lagi dinas di Malang."

Genta mundur, menatapnya. "Oh, jadi sekarang kamu seorang penjahit?"

Sarah melotot. Lelaki ini selalu bisa mengejeknya. "Bisa lebih keren nggak? Aku mendesainnya sendiri, memilih kain dan segala macam aksesoris. Setiap gaun buatanku ada mereknya, namaku. Dan pelangganku tinggal terima jadi. Beda dengan penjahit, orang datang kepadanya dengan membawa kain, karena tidak bisa melakukannya sendiri. Lalu ...." Sarah membuang napas. Percuma ia tersinggung.

"Galak banget loh bumil satu ini! Ditanya gitu aja langsung ngegas."

Sepasang suami istri itu lantas beriringan masuk ke dalam rumah. Genta merangkul pundak Sarah. Aroma maskulin yang entah sejak kapan mulai membuatnya candu. Sarah mengimbangi dengan melingkarkan lengannya pada pinggang sang suami. Benar-benar pas dan nyaman, batinnya.

"Tumben pulang telat?"

"Habis ngantar Kinan ke Bandara."

"Oh, pulang kampung? Memang bisa cuti?"

"Dia nggak balik lagi. Tadi sekalian ngebantu angkat-angkat barang."

Sarah termangu. Apa itu artinya hubungan mereka benar-benar sudah berakhir? Sarah menggeleng. Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Ia harus melakukan sesuatu.

"Gen, kita harus ngomong. Kalian nggak boleh pisah. Aku nggak akan maafin diriku sendiri kalau sampai kalian nggak jadi nikah."

"Sar! Aku laper. Bisa nggak ngomongnya nanti aja. Sekarang, temani aku makan."

Belahan Jiwa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang