BJ - 3

2.2K 223 12
                                    

"Suami Mbak Sarah kerja dimana, Mbak?" Tanya wanita paruh baya yang menjadi pelanggan rancangannya. Tadi Genta sempat mampir ke rumah sebentar setelah rapat di luar untuk memberikan camilan kesukaan Sarah semenjak hamil. Dan wanita di depannya ini sempat melihatnya.

"Suaminya saya itu kerja sebagai pimpinan redaksi, Bu, di salah satu perusahaan majalah dan surat kabar di Malang." Jawabnya. Jam kunjung para pelanggannya kebanyakan di waktu Genta sedang bekerja.

"Oalah, tak pikir artis. Ganteng banget!"

Tawa riang dan lelucon pelanggannya ini menular pada Sarah. "Aduh, kasian artisnya kalau gitu."

"Loh kenapa? Mbak Sarah juga cantik. Punya suami ganteng. Cocok wes!"

Selain Tante Marisa, tidak ada orang yang terang-terangan memuji parasnya, wajar karena tidak ada pembanding. Mengingat dulu kemana-mana mereka sering bertiga, yaitu Sarah, Genta, dan Kinan. Dan Kinanlah yang selalu menjadi pusat perhatian semua orang karena fisiknya yang sempurna.

"Makasih, Bu. Badan bengkak semua begini terus cantiknya dari mana loh?"

"Hei, jangan salah. Seorang suami itu justru suka banget lihat badan istrinya yang lagi hamil, jadi makin seksi katanya."

Sarah menjahit kancing gaun kondangan milik wanita yang dipanggil Ibu Kartika. Bersyukur karena rata-rata pelanggannya Ibu-Ibu istri pejabat atau pengusaha yang sukses tapi sangat rendah hati. Terkadang terenyuh jika mendapati tontonan di media sosial ada pelanggan yang berlaku semena-mena.

"Eh, Mbak Sarah. Kalau punya suami ganteng banget gitu harus hati-hati juga. Mbak Sarah emang cantik. Dilihatnya juga suami Mbak Sarah tipikal setia dan sayang sama istri, biasanya bukan dari suami tapi godaan perempuannya. Aduuuuh, degdegser deh. Punya suami ganteng, baik, jangan sampai kecantol pelakor. Perempuan zaman sekarang sukanya sama yang instan, nggak mau kerja keras tinggal godain lakik orang."

Sarah hanya menanggapinya dengan senyum. Tangannya sibuk berkutat dengan benang dan jarum. Yang diungkapkan pelanggannya ini tentang pelakor mungkin sangat relate dan berpengaruh bagi semua istri di luar sana. Tapi tidak untuk Sarah, perasaan dan hatinya sudah diatur untuk pasrah dan tidak boleh menuntut banyak.

"Saya pernah ngalamain dikhianati, Mbak. Rasanya sakit banget. Kepercayaan diri kayak ilang gitu aja, Mbak. Eh, astaga, kok jadi curhat."

Sarah mendongak, wanita di depannya menutup mulut dengan sebelah tangan. Sebenarnya ia agak kaget dengan informasi tersebut, karena Sarah sangat mengenal betul siapa suami wanita ini, adalah seorang polisi dengan jabatan Kapolri. Sungguh tidak habis pikir dengan orang yang notabene sebagai panutan malah berkelakuan minus. "Monggo, Bu, kalau mau lanjut cerita. Saya ini pendengar yang baik kok. Insha Allah."

"Hehehehe, iya. Kelihatan kok kalau Mbak Sarah ini baik banget dan humble sama semua orang. Pasti para customer Mbak Sarah ngerasa aman banget belanja kalau dilayani maksimal." Hening sejenak. "Ya gitu, Mbak. Suamiku, Bapak Guntur, pernah punya wil loh, Mbak. Coba kalau Mbak Sarah nyangka nggak sih? Dia juga terlihat bukan laki-laki mata keranjang."

Untuk mengetahui ekspresi lawan bicaranya, Sarah mendongak sekilas sebelum kembali fokus dengan aktivitasnya memasang resleting. "Ya Allah, Bu, beneran?"

"Geger, Mbak. Yang jadi wilnya itu polwan yang waktu masuk itu aku ikutan bantu. Sakit, Mbak, dikhianati orang terdekat sendiri. Orang yang aku kenal, dan sudah aku anggap adik. Sakit pokoknya."

"Ya Allah, terus gimana sampai akhirnya Ibu Kartika mengetahui Bapak punya perempuan lain?"

Wanita itu meraih cangkir teh dan meneguknya hingga beberapa kali. Pasti yang dilaluinya sangat berat hingga membutuhkan amunisi untuk melonggarkan tenggorokan. "Kan ceritanya itu, ini perempuan kan masih arek cilik, Mbak. Ya ... usianya kira-kira 25 tahun kalau nggak salah. Baru jadi polwan. Dia memang dekat dengan keluarga kami. Terutama sama Bapak, sering diajak serta kalau ada dinas luar kota. Ini kan areke cerdas, Mbak. Selain public speakingnya bagus, dia juga menguasai beberapa bahasa. Ya Allah, Mbak, sampai sekarang aku masih sering sesak napas kalau ingat."

Untung saja perkara menjahit resleting sudah kelar, sehingga atensi Sarah bisa tertuju sepenuhnya pada Ibu Kartika. Sarah menyodorkan kotak tisu. "Tarik napas dan hembuskan pelan, Bu. Sabar nggih? Semuanya sudah berlalu."

Wanita itu mengangguk, mengusap sudut matanya yang berair. "Aku sampai terapi ke Psikolog loh, Mbak. Karena saking parahnya trauma. Nggak bisa percaya sama sekelilingku lagi. Aku menganggap semua orang itu jahat dan pengkhianat."

"Cobaan yang tidak semua perempuan bisa menjalani ya, Bu. Tapi Ibu Kartika sudah menunjukkan pada dunia, Ibu kuat dan masih bisa berdiri hingga detik ini."

"Mbak Sarah, nggak semudah itu. Arek iku rela mengundurkan diri demi mau dijadikan istri simpanan loh! Ya Allah, nekatnya kan? Katanya dia cinta mati sama Bapak. Bahkan Bapak sempat tergoda untuk menuruti permintaannya itu, Mbak. Nggak ingat Bapak siapa yang sudah menemani dari awal karir sampai bisa menjadi seperti sekarang. Aku orangnya, Mbak. Saat itu bisa loh Bapak menggadaikan perasaan istrinya demi untuk bersama arek kemarin sore."

Hening. Sarah sampai kehilangan suaranya.

"Aku memilih mundur, Mbak. Bisa saja aku laporin Bapak, tapi aku nggak melakukannya. Hehehehe, anehnya sekarang aku malah ngumbar aib ke Mbak Sarah. Baru kali ini loh aku terbuka sama orang di luar keluarga. Sama teman dekatku sendiri saja aku nggak bisa cerita."

"Terkadang memang begitu, Bu. Bersama orang lain dan membuatnya nyaman malah lebih bisa dipercaya."

"Ya, benar sekali, Mbak. Seperti yang aku rasakan saat ngobrol sama Mbak Sarah. Benar-benar kayak sudah kenal lama. Saat itu pertimbanganku tetap anak, kalau aku laporin Papanya, karirnya hancur, anakku nasibnya gimana? Anakku empat pula."

"Betul, Bu. Tapi terus akhirnya Bapak ...."

"Terus tidak lama Bapak dasar, mau meninggalkan perempuan itu dan memilih kembali ke keluarganya. Aku nggak mau, Mbak. Aku tetap minta pisah. Aku nggak semudah itulah ditaklukkan. Wong aku sudah pisah rumah, aku pindah ke apartemen sama semua anakku. To the point saja ya, setelah melalui banyak usaha akhirnya aku bersedia memberi Bapak kesempatan dengan syarat yang nggak bisa aku sebutin di sini, hehehehe, bagian yang ini sangat rahasia soalnya. Itu pun juga nggak mudah, Mbak. Sampai berbulan-bulan aku nggak mau disentuh, eh, kok jadi ngomongin yang ini. Ya gitulah, intinya dikhianati itu sakit banget. Ngilunya sampai ke tulang-tulangku, Mbak."

Sarah meringis, ikut merasakan sentakan sakit di tengah dadanya. Perasaan ini sebenarnya sangat akrab bagi Sarah, dulu saat Genta masih berhubungan dengan Kinan. Entah apa yang membuat keduanya memilih berpisah, yang jelas Sarah sudah memberi kebebasan pada Genta untuk bersama perempuan yang dicintai. Bahkan jika lelaki itu menginginkam berpisah demi bisa bersama Kinan, Sarah pun rela.

Belahan Jiwa (TAMAT)Where stories live. Discover now