BJ - 12

2.5K 206 4
                                    

"Saya pikir tadi Ibu bersama dengan Bapak." Ujar asisten rumah tangganya yang kini sedang mengaduk kolak kacang hijau, menu makanan yang menjadi requestnya sore ini. Sepertinya Sarah sedang mengidam, keinginan untuk mencicipi makanan bersantan dengan gula kelapa itu tidak lagi terbendung.

"Temannya Bapak, Mbak Sul." Jawab Sarah sambil menggerakkan-gerakkan apple pencil pada layar iPad. Menggambar sebuah sketsa gaun bertabur mutiara yang menjuntai indah.

"Ganteng banget. Nggak kalah sama Bapak. Hihihihi." Perempuan yang usianya sudah memasuki separuh abad itu mengikik.

"Mbak Sulami paling nggak bisa lihat yang cakep-cakep ya?! Langsung gercep."

"Hihihihi, pengin punya yang cakep satu aja, terus yang baik, perhatian dan setia seperti Bapak."

Sarah menggeser iPadnya ke samping saat Sulami meletakkan semangkuk kolak kacang hijau yang berkolaborasi dengan pisang raja. Harum dan gurihnya terasa menggoda selera.

Menarik wadah tersebut tepat di hadapannya. Panas masih mengepul, Sarah meniupnya terlebih dahulu sebelum menyesapnya pelan-pelan. "Wah, yummy. Bayiku di dalam perut langsung heboh, Mbak. Ya ampun, Nak, jangan keras-keras dong nendangnya." Ujar Sarah sambil mengusap-usap perutnya.

"Ibu kalau pengin apa-apa langsung bilang aja, nanti saya buatin. Daripada beli di luar belum tentu higienis. Seorang Ibu hamil harus mengkonsumsi makanan yang sehat dan bersih."

"Yes, Mbak Sul, benar banget." Dengan lahap Sarah memasukkan potongan pisang ke dalam mulutnya, luar biasa enak. "Mbak Sulami juga makan dong, temani aku. Ayo! Sudah sebulan di sini kok tetap malu-malu aja sih. Makan satu meja sama aku sini."

Asisten rumah tangganya pun menurut. "Benar, Bu, enak. Biasanya saya tambahin durian buat penyedap gitu, Bu. Tapi kan Bu Sarah lagi hamil, nanti mual."

"Aku durian nggak masuk, Mbak. Memang sudah nggak doyan sekalipun nggak lagi hamil. Dulu waktu SMA pernah dipaksa sama Bapak, emang usil banget, aku dicekokin gitu, Mbak. Langsung sakit panas dua hari dua malam."

"Ya Allah, Bapak tega banget sih. Tapi gemes ya, Bu Sarah dan Bapak itu panutan banget. Mesra banget. Pacaran dari SMA ya, Bu?"

Sarah menggeleng. "Kan aku diasuh sama Mamanya Bapak, Mbak."

"Loh? Kok bisa, Bu?"

"Aku nggak punya orang tua loh, Mbak. Yang ngasuh aku dari kecil itu nenek, yang aku panggil Ibu. Nenekku nggak pernah cerita tentang orang tuaku, mungkin karena nggak ada hal baik yg bisa dibagi ke aku. Lalu, setelah nenek semakin sepuh dan sakit-sakitan, ada tetangga baru yang pindah tepat di samping rumahku. Yaitu Mamanya Bapak. Memoriku agak kurang bagus, meninggalnya nenek jadi pukulan besar buatku, Mbak. Tiba-tiba saja aku sering diajak terapi oleh sepasang suami istri, tetangga baruku ini, terus aku diajak tinggal di rumah mereka. Aku nggak nolak, langsung nerima gitu aja."

"Ya Allah, terenyuh banget saya dengarnya. Bu Sarah sudah ditinggal orang terdekat di usia yang masih kecil. Bu Sarah nggak punya siapa-siapa saat itu, makanya hanya manut saja. Untung saja ketemunya dengan orang yang baik ya, Bu. Bersyukur banget."

"Masih SD, Mbak. Iya, Mama mertuaku sangat baik. Aku diasuh dan dibiayai sekolah."

"Jadi pertemuan Bu Sarah sama Bapak sudah dari sekolah dasar dong?"

Sarah mengangguk sembari menandaskan seporsi kolak. "Yaps, kami itu sahabat dekat, Mbak."

"Wah, memang biasanya gitu, sahabat jadi demenan."

"Kami dijodohin kok, Mbak. Dia sebenarnya sudah punya pacar. Tapi karena Mamanya minta kita nikah, dan waktu itu Mamanya sedang sakit keras, mau nggak mau dia nurut."

Kali ini perempuan yang duduk di depannya terlihat kaget. "Masak sih, Bu? Kok kalau dilihat-lihat kayak bukan dijodohkan."

Sarah mengernyit. Tatapannya tertuju sepenuhnya pada sang ART.

"Iya, Bu. Saya itu sampai iri loh lihat perhatian Bapak sama Bu Sarah. Kelihatan Bapak cinta banget sama Bu Sarah. Zaman sekarang susah, Bu, ada laki-laki sudah sempurna fisiknya, pekerjaannya, akhlaknya pula. Seribu satu di dunia ini, Bu."

Sulami benar-benar berlebihan dan sok tahu. Genta memang suami yang perhatian dan selalu bersikap lembut pada Sarah, tapi itu bukan berarti pertanda istimewa. Dari dulu lelaki itu memang sangat baik sebagai sahabat. Dan setelah hubungan keduanya berubah menjadi sepasang suami istri, perhatian Genta padanya hanyalah sebagai bentuk tanggung jawab.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Sarah mendengar pagar besi rumahnya dibuka dan deru kendaraan roda empat menyusul.

"Siapkan makan malam untuk Bapak ya, Mbak. Soto dagingnya boleh dipanasin. Makanan kesukaan Bapak banget."

"Inggih, Bu, siap."

Sarah lekas mencuci tangannya di wastafel, membenarkan kunciran rambut yang sedikit berantakan agar lebih rapi. Lantas melangkah ke depan untuk menyambut suaminya.

"Jangan mendekat, aku bersih-bersih dulu." Tahan lelaki itu begitu Sarah sudah berada di hadapannya. Sarah pun menurut untuk menjaga jarak, mengekori langkah suaminya memasuki kamar.

Seperti biasa, selama Genta membersihkan diri, Sarah menyiapkan pakaian ganti berupa celana pendek dan kaos diletakkan di atas tempat tidur.

Sepuluh menit kemudian lelaki itu keluar dengan tampilan segar, wangi sabunnya memenuhi ruangan. Sarah menatapi lelaki itu yang berganti pakaian di hadapannya. Dulu posisi seperti ini membuat keduanya sangat canggung. Tapi sekarang tidak sungkan-sungkan Sarah mendekat dan menyentuh milik suaminya hingga membuat lelaki itu tergoda. Lalu keduanya berakhir di atas tempat tidur dengan aktivitas berpeluh yang terus diulang keesokan harinya.

"Kenapa lihat-lihat? Pengin ya?" Tanya lelaki itu sambil tersenyum nakal, boksernya tidak buru-buru dipasang dengan benar, tangan lelaki itu justru memainkan sesuatu yang berada di antara dua pahanya, sengaja menggoda Sarah.

Sarah menatap lekat. "Itu kalau kamu mainin sendiri bisa gedhe juga nggak?"

"Bisa aja, tapi nggak lebih enak dari tangan dan mulutmu."

Tubuh Sarah bereaksi. Jantungnya berdegup kencang. Sarah beranjak dari ranjang untuk mendekati suaminya. Keduanya beradu tatap. Sarah mengambil alih milik lelaki itu dan pelan-pelan mulai menyentuhnya. Lelaki itu mendesah, matanya terpejam sejenak dan terbuka kembali untuk menatap Sarah. Napas keduanya berkejaran seiring dengan gerakan tangan Sarah yang lebih cepat.

Lelaki itu menyambar bibir Sarah, menciptakan ciuman panas yang saling balas membalas. Tangan Genta menyingkap gaun tidur Sarah ke atas hingga lolos melalui kepala. Melepas kaitan bra Sarah dengan sekali sentakan lihai. Lelaki itu melepaskan ciumannya dan menunduk. Sarah memejamkan matanya saat kedua payudaranya yang besar dan berisi dimainkan secara bergantian

"Sar!" Genta tiba-tiba berhenti. Sarah membuka matanya. "Ini, kok keluar ...."

Sarah mengikuti arah pandang lelaki itu, ada cairan keluar dari payudaranya. "Nggak apa-apa!" Pungkasnya seraya menarik leher lelaki itu dan kembali menciumnya rakus.

Belahan Jiwa (TAMAT)Where stories live. Discover now