Bunga itu indah,tapi akan tetap layu jika tidak di rawat. Seperti biasa, rutinitas yang ku jalani selama menjadi ibu rumah tangga dadakan adalah rutin menyapa berjejer pot yang di hiasi kuncup cantik dan indah itu.
Aku menghela napas ketika mendapati ada setangkai mawar yang layu dan dinserang hama. Hati-hati aku menarik selembar daun yang mulai berlubang.
"Dor!"
Aku hampir saja terjungkal kalau tak segera menahan keseimbangan, geram,aku menoleh dan benar saja manusia itu terbahak mendapati aku yang tersungkur.
"Bisa nggak sih, kalau nggak usil seharii aja. Gimana kalau tadi aku nyungsep beneran?"
"Mbak ipar kalau marah makin cantik, jadi ga salah kalau aku suka goda."
Aku mendengus kesal, tanpa di pujipun aku tau kalau aku cantik. Kan memang aku cantik, aku perempuan Jawa. Dan semua perempuan, itu cantik.
" Di panggil mama,katanya mau di ajak ke rumah budhe Arum."
Ah iya, seharusnya sekarang jadwal ku belajar masak. Tapi, bagaimana juga mas Ravin belum memberikan izinnya. Dengan berat hati aku menatap ke arah Adam ,lalu menjawab.
"Mbak nggak jadi ikut,belum dapat izin dari mas Ravin."
Aku meneruskan kembali pekerjaanku.
"Ya ngapain izin? Mbak Karin bukan tahanan yang kalau keluar harus izin dulu. Mbak itu,free di sini."
Gundulmu!
Enteng sekali pemuda yang usianya 3 tahun di bawahku itu berkicau. Heh Bambang!
" Menikah itu bukan hanya tentang ijab Qabul,resepsi lalu hidup bersama. Bukan hanya tentang melayani dan memiliki,tapi juga tentang pengabdian seorang istri, yang melayani suaminya seperti melayani orang tua mereka,padahal suaminya itu adalah orang asing yang tiba-tiba menjadikannya pendamping. keikhlasan seorang suami untuk menyambung kehidupan bersama wanita asing yang baru saja ia temui dan bukan dari benih yang ia tanam."
Aku menjeda ketika melihat Adam benar-benar tertarik dan menjadi pendengar yang baik. Pupil matanya membesar ingin tahu.
"Menikah itu, nggak segampang dan sesederhana yang kamu lihat dan like di story' Facebook atau status Instagram. Menikah itu menyatukan perbedaan menjadi perpaduan yang indah. Dan ingat,itu tidak mudah. Bukan masalah terkekang atau di kekang, mbak minta izin sama mas Ravin karena memang itu kewajiban seorang istri,Dam. Bakti seorang istri. Ridho Allah kepada seorang putri ada di orang tua ketika ketika belum menikah. Tapi ketika sudah menikah, ridho Allah tergantung ridho suami. Percuma, meskipun niat mbak adalah untuk menyenangkan suami tapi kalau suami mbak nggak ridho ya mending gausah."
Aku mengakhiri dengan sedikit kedipan mata. Adam manggut-manggut seperti anak ayam di kasih makan.
"Mbak cocok jadi da'i."
Kan pengen tabok.
"Pengen punya istri kaya mbak Karin, udah cantik, Sholihah, penurut, nggak neko-neko pokoknya paket komplit untuk jadi ibu dari anak-anakku nanti."
Aku hampir saja terbahak, kalau tidak mendengar deheman dari arah pintu.
Sontak, kepala Adam menoleh karena ia memebelakangi pintu,sedang aku menyerongakn badan untuk bisa melihat siapa disana.
"Pasangkan dasi."
Ha? Masa Ravin berdiri di tengah pintu dengan sebuah dasi yang berada di tangannya. Mukanya,ya Allah. pengen cium.
"Mas Ravin ganggu!''
Protes Adam. Melempar ranting kering yang sedari tadi ia pegang.
Aku segera mendekat, meraih dasi dari tangan suamiku, dia membungkuk untuk mempermudah istrinya yang kurang tinggi ini.
"Biasanya juga pake sendiri, manja benget."
Gerutu Adam di belakangku, mas Ravin melirik sekilas lalu kembali menegakkan badannya ketika aku selesai.
" Urusan mas,lah. Dulu juga bisa tidur sendiri sekarang sama mbak mu, dulu nyiapin apa-apa sendiri sekarang di siapin. Kenapa jomblo protes? Iri? Lagian, Karin itu istri mas. Nggak masalah seharusnya."
Aku menggelengkan kepala mendapati perdebatan kecil ini. Juga debar yang di ciptakan Mas Ravin dari kata-kata nya. Mas Ravin memang suka menggoda adiknya, dengan kalimat sarkas yang selalu berhasil membuat Adam memanyunkan bibir.
" Memang mas sudah sehat?"
Tanyaku, memecah keheningan yang ada. Lelaki berparas tampan dan tegas itu melirik ke arahku, lalu mengangguk. Ku amati wajahnya, wajahnya masih sedikit pucat. Kemarin saat makan ia terlihat belum terlalu berselera, khawatir tentu saja kalau dia terlalu menekan diri pada tanggung jawab Sampai melupakan kesehatan.
"Sudah sehat,nggak perlu terlalu khawatir."
Aku mengangguk ragu, tapi aku yakin dia bukan orang yang ceroboh. Toh,kemarin masuk angin di dukung dengan kondisi fisik yang memang lelah, makanya maag lelaki itu kambuh.
"Kalau mau ikut mama ke rumah budhe Arum gapapa."
Mataku melebar, benarkah?
"Naik taxi aja, Adam ikut mas ke kantor."
" Enggak! Apaan ikut ke kantor. Ogah!"
"Oke, semua blokir."
Nggak banyak, dengan maksud menggertak Adam langsung patuh dengan sang tuan. Dengan langkah berat, sembari bibir yang tak berhenti mengomel adik ipar ku itu menuruti perintah kakaknya.
"Jangan terlalu dekat dengan Adam."
Mataku kembali terfokus pada wajah sempurna di hadapanku.
"Ta-"
"Assalamu'alaikum."
Aku menjawab sembari meraih tangannya yang terulur. Lelaki itu sedikit mengusap puncak kepalaku, dengan lembut. Seperti sedang membaca doa.
" Hati-hati,kalau sudah sampai kabari."
Aku mengangguk, sejenak aku hanya bisa mengikuti bahu lebar itu Sampai di telan dinding pembatas.
" Yaelah, mbak. Gitu ae baper. Sini Adam usek-usek kepalanya. Biar terbang sekalian."
Aku mendengus, lalu menatap lelaki itu mengejek.
Beda dong ya, di usap pangeran sama di unyel preman. Hua." Sana ikut ke kantor, nanti di blokir nggak bisa jajan. Nanges."
Aku berjalan meninggalkan Adam yang masih sibuk dengan jam tangan yang tak segera terpasang juga dumelan yang masih lancar.
********

YOU ARE READING
suamiku calon mantan adik iparku
RomanceAku duduk dengan resah, ketika kamar utama tak kunjung terbuka. mana adik manisku yang akan menjadi pengantin cantik sebentar lagi itu? Seperti beberapa tamu undangan, mereka juga menunggu ijab qobul segera di lantunkan, namun? apa yang terjadi set...