Adik ipar

2.1K 109 5
                                    

Kepalaku mengangguk untuk yang kesekian kali. Mama Luna sedanf berbaik hati mengajarkan kepadaku bagaimana cara merawat bunga di pekarangan belakang. Aku takjub dengan pengetahuan mama mertuaku kali ini. Beribu macam bunga ada disini. Dan dia hebatnya, beliau tau nama masing-masing nona jelita yang kini di basuhnya dengan penuh cinta.

"Kamu percaya kalau mereka akan mekar dengan indah dengan kita memegang masing-masing kelopaknya setiap hari? Seperti ucapan selamat pagi. Hm?"

Tanya beliau dengan mata masih menatap lurus bunga bugenvil ungu yang unyu-unyu. Alisku naik, berarti tak paham sepenuhnya dengan apa yang dikatakan. Bunga, ya bunga. Mereka tidak punya telinga, kan?

"Mereka memang tidak punya telinga, tapi mereka ciptaan Allah, yang pastinya dikaruniai perasa. kamu nakal juga, ya."

Mama Luna, melirik kearahku.
Aku unjuk gigi, malu pikiranku di baca mama mertua. Mama Luna kembali berjalan, dengan tak hentinya bibir melengkung sesekali menggumamkan sapaa. Ah, sudahlah.

"Astagfirullahal'adzim, Karina! Mama lupa, ish, kenapa tidak di ingatkan? Kamu ini, benar-bentar."

Aku? Plis deh, mama. Apa? Apa yang harus diingatkan?

"Nanti Adam pulang, kita belum masak. His lah, hayu masuk. Bantu mama masak." lanjut beliau dengan tangan menarik lenganku.

"Adam itu, siapa ma?"

Aku bersuara, mama Luna menatapku aneh, lalu kemudian menghela napas. Seperti mengingat sesuatu.

"Ah, maaf, mama lupa. Seharusnya adikmu mengenal Adam."

Hatiku tersentil. Sebegitu dekatnya Nasya pada keluarga Mas Ravin. Lalu? Kenapa dia tega menyakiti mereka? Astagfirullah. Aku tersenyum menanggapi mama yang terlihat segan. Mungkin sungkan, karena mengira aku Nasya yang sudah tah hampir seluruh keluarga mereka. Aku mendesah. Pikiran negatif rata berkeliling memenuhi otakku, sampai ocehan mama memenuhi indra pendengarku, lagi. Beliau dengan cekatan memberirahu bagaimana cara memasak yang sedap. Tak lupa memeberi tahu, apa yang di sukai dan tidak disukai suamiku.

"Assalamualaikum."

Aku dan mama saling pandang, mendengar salam dari arah depan. Dengan langkah seribu mama berlarj meninggalkan tumisan. Hais, kaya perawan ketemu gebetan. Hihihi. Selanjutnya aku beristigfar lalu mematikan kompor. Menyusul ke depan. Di ruang tamu, aku melihat dua sosok lelaki tampan berdiri disana. Bedanya, satu raga terengkuh dalam pelukan hangat mama Luna. Wanita itu tak hentinya mengecup inci demi inci wajah tampan itu. Satunya lagi, berdiri menyilangkan tangan ke dada. Mengawasi drama di depannya , dengan senyum tak lepas dari bibir merah mudanya. Duh, tampannya suamiku. Hatiku memuji, kesekian kali wajah ranum milik Mas Ravin.

"Karin, ngapain? Sini, sambut Adam."

Aku tersentak, tiga pasang mata mengarah menatapku. Wajah baru itu menatapku aneh, lalu nyengir. Dekil, tapi tampan.

"Wah, mama baik banget sih! Dateng-dateng udah disiapin mantu, cantik ma! Adam mau nikah sama dinda kirana."

Plak.

Aku hampir terbahak, melihat adegan mama menjitak kepala Adam gemas. Mas Ravin datar. Senyum hilang dari bibirnya.

"Ini kaka ipar kamu, enak aja mau di nikahin. Namanya Karin, bukan kiran. Kenalan, gih."

Mata Adam membola mendengar penuturan mama, aku paham.

"Istri lo, oprasi plastik? Pakai hijab lagi sekarang. Gue yang lupa, atau emang bini lo makin cantik?" ujar Adam, meneliti wajahku tapi bertanya ke Mas Ravin.

"Mas mau mandi, kamu istirahat aja, besok lanjut kenalannya."

Ujar Mas Ravin, melangkah masuk kamar namun dengan tangan meraih tanganku dan menariknya pelan. Hatiku menciut, sebegitu tak inginkah dia, jika aku dekat dengan keluarga dekatnya? Dadaku panas, sesak. Sampai mata terasa kebas. Aku kuat. Nggak, jangan nangis. Perintahku pada dri sendiri. Entah kenapa perasaanku tiba-tiba main disini. Menyebalkan.

"Adam itu orangnya bar-bar. Jangan terlalu di tanggepin."

Ujar Mas Ravin, ketika ia sudah selesai mandi. Aku mengangguk menghadap kaca. Derap langkah mendekat.
Aku mendongak, tepat ketika mata elang itu menatap bola mataku. Aku langsung menunduk.

"Maaf," gumamku.

Mas Ravin diam, setetes air mataku jatuh, eh. Kenapa aku secengeng ini? Cepat aku mengusap pipi dengan punggung tangan. Tiba-tiba selembaran kain putih melayang di antara mataku. Dia duduk di lantai,  dengan posisi menyamai tinggi tubuhku yang duduk di kursi.

"Kenapa?"

Tanyanya, aku menggeleng, menerima sapu tangannya, lalu mengusap bersih sisa air mataku di pipi. kemudian mengangkat wajah, menatapnya. Memaksa senyum.

"Maaf sudah setuju permintaan mama, tapi Mas Ravin tenang aja, ini semua Karin lakukan untuk menjaga hubungan baik keluarga kita, muru'ah keluarga kita, nggak lucu, kan? Kalau gosip beredar putra sulung keluarga Abraham di tinggal lari di hari pernikahan oleh putri bungsu keluarga Mahesa."

Aku berusaha tersenyum, mengingat perasaanku sudah mulau tumbuh pada sosok yang selalu ku temui di sisi ranjang pembaringan kala mata terbuka, meski jarak masih terenggang du antara kita. Dia diam. Wajahnya tak bisa ku deteksi menampilkan raut apa.

"Mas istirahat saja, Karin mau bantu mama Luna."

Pamitku langsung neninggalkannya, tak sanggup lebih lama lagi berhadapan dengan wajah tersiksa miliknya.

* *

suamiku calon mantan adik iparkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang