Tak ada yang istimewa sama sekali, hanya sebaris tanya yang biasa. Catat. Biasa! Tapi mampu membuat senyum ku enggan meninggalkan lekung bibir.
"Pengantin baru emang bikin pusing."
Aku menoleh ke arah mama ketika suara itu terdengar, menatap heran.
"Kalau ada pesan,ya tinggal di bales. Memang senyummu bisa sampai ke Ravin?''
Ah, malu. Ternyata mama memergoki ku yang tengah asyik memutar otak untuk membalas pesan singkat mas Ravin. Wanita paruh baya yang masih jelita itu menggelengkan kepala, lalu kembali fokus ke depan.
"Ma,"panggilku.
Mama menoleh ke arahku, deruman mesin mobil menemani keheningan kami.
"Mas Ravin bisa nggak ya nerima Karin sepenuhnya?"
Mendapati pertanyaan ku, mama menatap sejenak. Lalu menyerongakn badan mengahadapku sepenuhnya.
"Kenapa nanya gitu? Ravin nyakitin kamu?"
Aku segera menggeleng, menggoyangkan kedua tangan cepat. Kehangatan melingkupi tanganku, siapa lagi kalau bukan mama. Tak terasa, mataku berdenting air.
Flash back on
Badan mas Ravin mencapai suhu 39°C saat aku mengukur menggunakan termometer. Lelaki itu tak hanya menggigil hebat, namun juga terus merancau tak jelas. Istri mana yang tak khawatir melihat suaminya seperti itu.
Ingin keluar memanggil mama, ada rasa sungkan melihat jarum jam baru menunjukan pukul 2 malam. Diam? Mana mungkin bisa. Ku keluarkan 2 selimut tebal yang tertata rapi di dalam lemari.
"Di-dingin."
Aku mendekat, meraih tangannya untuk di genggam. Wajahnya tak nyaman, badannya terus bergerak ,panas tapi kedinginan. Tangannya meremas perut erat , beberapa kali mendesis sakit.
"Sakit."
Air mata tak tertahan, ku ambil minyak kayu putih di laci, mengoleskannya di bagian perut mas Ravin.
"Mas, mana yang sakit?"
Aku terus bertanya, meskipun tau perut laki-laki itu yang sakit . Hingga akhirnya mata mas Ravin terbuka, tiba-tiba memuntahkan air dari mulutnya. Membasahi pakaian yang di gunakan juga sedikit bantalndan selimut.
"Mas, bangun dulu yuk, di ganti dulu bajunya. Nanti makin sakit."
Panggilku melihat mas Ravin yang kembali memejamkan mata usai muntah. Lelaki itu membuka mata perlahan, lalu kembali mendesis.
"Yuk, ganti baju dulu. Nanti minum obat."
Mas Ravin membuka mata, menatapku lamat.
"Jangan pergi,"pintanya.
Aku mengangguk.
"Jangan pergi, Sya."
Deg
Seketika tubuhku menegang, hatiku berdenyut sakit. Tapi? Bukankah memang adikku masih menjadi ratu di hati lelaki yang kini terbaring lemah di hadapanku ini? Bukannya aku hanya pengganti? Lalu apa yang ku harapkan? Mas Ravin memang selalu baik pada siapapun, apalagi kepada keluarga kami yang rencananya akan menjadi keluarganya. Tapi? Kenapa hatiku sakit sekali? Kenapa aku merasa tak terima? Aku menangisi diriku sendiri, menangisi nasib yang mempermainkan ku. Sampai ringisan pelan mas Ravin menyadarkan ku, segera ku raih tubuhnya yang sudah basah keringat lalu mengganti baju yang baru. Setelahnya masuk ke dalam selimut yang sama dengan mas Ravin dan memeluknya erat.
Tak masalah kan,kalau dia menganggapiku Nasya didalam ketidak sadarannya? Bukankah aku harus baik-baik saja?
Flas back off
Mama Luna memeluk erat menantunya yang payah ini, mengusap pelan bahuku yang bergetar. Aku bangkit, lalu memaksa senyum.
"Tresno jalaran Soko kulino. Mama yakin, cepat atau lambat Ravin akan mencintai kamu,Rin. Kamu hanya perlu bersabar."
Aku mengangguk, mengiyakan kata mama yang memenangkan seharusnya. Tapi membuatku semakin merasa kerdil dalam cinta.
Kenapa harus secepat ini rasa yang ku dedikasikan untuk seseorang yang masih hidup di masa lalunya?"Hapus air matanya, sudah mau sampai di rumah bude Arum. Harus cantik dong menantunya mama. Senyum,sayang."
Aku kembali memeluk mertuaku erat, kembali meraba hati yang melupakan nikmat sebesar ini demi benih yang baru saja ku semai. Tidak semua mertua akan menyayangi menantu seperti mama Luna menyayangi ku. Dan aku masih terus saja berharap lebih di waktu yang singkat ini. Betapa rakus dan serakahnya aku.
"Jadilah temannya,Rin. Karena untuk menjadi kekasihnya kamu harus lebih dulu menyembuhkan luka yang ia obati sendiri. Bantu dia,temani dia. Dan percaya lah, setelah itu dia tidak akan melepaskan mu."
Aku tak mengangguk, tak menggeleng . Kapan ma?
*******
Mobil berhenti di depan rumah megah milik saudari mama, bude Arum. Kami di sambut hangat dengan senyum merekah .
" Maaf kemarin belum bisa hadir di pernikahan ravin, Mas Satriya opname di rumah sakit. Fauzi juga baru pulang dari luar negri. Maaf,ya dek."
Fauzi? Nama yang memproyeksikan wajah seseorang.
" Nggakpapa mbak, lawong sekarang ya aku kesini sama pengantinnya loh, mau belajar masa sama mbak."
Aku tersenyum santun lalu meraih tangannya sopan. Wanita yang ku taksir umurnya tak sampai 5 tahun di atas mama itu, tersenyum lembut sembari mengusap jilbabku.
"Cantik ya, solihah juga. Pinter sekali Ravin milihnya."
Seketika senyumku pudar. ' bukan pilihan bude, tapi opsi terakhir.'
Batinku menyanggah. Mama juga diam, ia tau kata-kata itu merubah mood ku."Ehm, jadi mulai belajar masaknya kapan ini?"
Mama Luna mencairkan suasana, bude Arum menyahut aku masih terdiam. AHA hati, jangan terus mendengki.
Privat memasakpun di mulai. Aku yang sebenarnya sudah lihai dalam urusan dapur, cukup cepat untuk mengikuti step by step yang bude Arum berikan. Aku sedang menyimak beberapa bumbu tambahan yang bude Arum berikan sampai suara salam membuat kami menoleh, dan disana, di tengah pintu beridiri seseorang yang menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku terjemahakan. Dunia, jangan terlalu bercanda untuk duniaku.
******
Temen-temen boleh di like, komen dan follow ya ..
Kasih bintang itu loo gratis dan menyenangkan author. Kalau author nya senang. Update pun lancar 😂😂😂😘😘💜💜💜

YOU ARE READING
suamiku calon mantan adik iparku
RomanceAku duduk dengan resah, ketika kamar utama tak kunjung terbuka. mana adik manisku yang akan menjadi pengantin cantik sebentar lagi itu? Seperti beberapa tamu undangan, mereka juga menunggu ijab qobul segera di lantunkan, namun? apa yang terjadi set...