Aku mengekori lelaki itu masuk kamar, dia tetap pada kediamannya. Kenapa aneh sekali? Masalah di kantor kok di bawa pulang.
"Mas, Salim dulu."
Aku meraih tangannya, lalu mengecupnya singkat. Tradisi sehari-hari yang tanpa sengaja ku lakukan setiap pagi dan menjelang petang. Mas Ravin tetap diam, sembari membuka Jaz yang membalut tubuh kekarnya.
"Mas sudah makan?"
Aku bertanya, dia bergumam.
"Mandi air hangat, atau biasa?"
Basa basi, karena aku tau dia lebih baik tidak mandi ketimbang harus mandi air dingin. Yakali sudah berbilang bulan masih belum tau.
Kembali lagi ia bergumam. Ini kenapa datang-datang ngajak Bantengan?
"Mas."
Aku berdiri di hadapannya ketika ia akan masuk kamar mandi.
"Apa?"
Apa? Apa katanya? Aku ngoceh kaya orang gila di anggurin, dn dia bilang apa? Gusti nu agung.
Oke, tarik napas, buang. Ulangi sampa agustusan."Mas, aku ada salah apa sih?"
Tanyaku langsung, dia menatap ku datar sedatar gurun Sahara di aspal. Kan kesal ya di anggurin seperti itu?! Aku menarik tangannya, lalu beridiri tepat di depannya.
"Kalau aku salah, bilang. Jangan di cuekin kaya gini. Mas kenapa marah-marah? Masalah kantor, apa aku yang salah?" Jelasku lagi. Dia menatap ku dengan tenang, tapi matanya tetap dingin.
"Kan sudah mas bilang, jaga jarak sama Adam. Kamu dengar,kan?" Intonasinya tetap, tapi di kata tertentu ia menekankan. Aku mengangguk, sudah ku lakukan. Adiknya saja yang kelewat perhatian. Salah siapa? Ya masa aku.
"Emang dekatnya Karin sama Adam itu bagaimana menurut mas?" Tanyaku, dia menghembuskan napas lelah.
"Jangan terlalu sering keluar sama Adam." Ujarnya,. Aku memejamkan mata, sembari menekan ulu hati yang semakin perih.
"Kan di suruh Mama." Kataku, lalu meraih tangannya takut-takut. Untung dia tidak menarik tangannya lagi.
"Insyaallah, aku bisa jaga amanah dari mas. Tapi kalau di suruh Mama, mana bisa aku tolak?" Jelasku lagi, mas Ravin menatap ku. Lalu memalingkan wajahnya. Kenapa? Dia masih tidak terima? Seketika rasa kesalku membuncah, kenapa harus aku yang mengalah disini? Air mata terdesak keluar, selain hati ku yang sakit perutku juga terasa sangat melilit entah karena apa.
Ku lepaskan genggaman tangannya, lalu pergi berjalan meninggalkan kamar. Di ikuti. Seseorang dari belakang.
"Rin." Pamggilnya. Bodo amat, aku tetap berjalan.
"Karin, berhenti." Pamggilnya lagi, aku berhenti melangkah sembari mengusap air mata. Ada mama dan papa, yang keluar dari kamar karena mendengar mas Ravin memanggilku agak keras.
"Vin? Karin? Kenapa?" Tanya papa, aku melihat mama dari ujung mataku, wanita itu tampak khawatir tapi tetap diam di tempatnya. Aku mendengar langkah kaki mendekat, lalu tarikan di pundak serta memutar tubuhku. Aku menunduk, sesekali mengusap air mata yang jatuh.
"Maaf." Ujarnya, aku diam. Tetap menunduk. Telunjuk mas Ravin memegang daguku lalu menuntun kepalaku untuk mendongak.
"Tatap mata mas." Perintahnya, kali ini aku menurut. Lelaki itu menghela napas, lalu memelukku erat.
"Kita masuk kamar, kita selesaikan di kamar." Katanya, aku menggeleng.
"Aku mau nata barang di dapur, masih berantakan habis belanja tadi. Makanya aku sama Adam, karena Adam mau bantu. Nggak taunya pas aku sama Adam debat, mas pulang. Salam, terus aku nggak dengar terus mas marah-marah, padahal aku belum jelaskan. Kesel tau nggak sih mas, di cuekin tiba-tiba kek gitu." Aku mengeluarkan unek-unek ku, dengan menatap matanya, di saksikan mama dan papa juga Adam yang baru datang di dekat tangga.
"Wih, drama nih." Komentarnya.
"Kamu larang Karin sama Adam dekat, Vin?" Tanya papa seperti sudah selesai merangkum ucapan ku. Aku menoleh ke arah papa, sedikit melirik ke arah mama.
"Kenapa, mas?" Tanya Adam sambil mengunyah entah apa. Lelaki itu kini berjalan sejajar dengan mama dan papa, seperti menunggu ucapan mas Ravin.
Lelaki di depanku gelagapan, seperti memikirkan sesuatu tapi sulit di katakan.
"Kamu cemburu sama adikmu?" Suara itu dari mama, kami semua menoleh ke arah mama. Senyum di sudut bibir mama, membuat mas Ravin semakin gugup. Cemburu? Apa iya?
"Mas cemburu?" Tanya ku, memastikan.
Hening.
'huek.'
Tiba-tiba perutku mual, dan sakit. Jadilah aku merintih kesakitan, membuat semua mata langsung tertuju kepadaku.
"Karin."
"Karin."
"Karin."
"Mbak Karin."
Serempak mereka memanggil namaku, lalu ku rasakan sepasang tangan mengangkat tubuh kecil ku, lalu seseorang lagi berteriak untuk memanggil dokter. Aku belum tau jawaban mas Ravin, tapi aku sudah terlebih dulu di telan kegelapan.

YOU ARE READING
suamiku calon mantan adik iparku
RomanceAku duduk dengan resah, ketika kamar utama tak kunjung terbuka. mana adik manisku yang akan menjadi pengantin cantik sebentar lagi itu? Seperti beberapa tamu undangan, mereka juga menunggu ijab qobul segera di lantunkan, namun? apa yang terjadi set...