Bab 3

11.6K 707 25
                                    

........................

Iris kini sudah mengganti pakaiannya, memakai piyama berwarna biru milik Amia.

"Wuaaaaaah–hangatnyaa—"

"Beruntung sekali rumahmu tak begitu jauh dari tempat kita dinner." Racau Iris sambil naik keatas ranjang Ami.

"Kenapa kalian tidak memakai mobil?—"

Amia ikut naik keatas ranjang, mengambil pengering rambut yang tak jauh darinya. Lalu dengan cekatan membantu Iris.

"Nanti kau masuk angin."

Iris tersenyum senang melihat perhatian Ami kepadanya.

"Jadi kenapa kalian tidak memakai mobil?" Tanya Ami kembali.

"Mobilnya rusak." Jawab Iris singkat dan terlalu padat yang membuat Ami memandang Iris heran.

"Memangnya suamimu hanya punya satu?"

Iris tertawa saat Ami menanyakan hal tersebut, sungguh sahabatnya ini bertingkah sangat aneh dimatanya sekarang.

Meski tak mendapat jawaban dari pertanyaannya. Ami hanya bisa memaklumi, toh itu bukanlah urusannya.

Iris memang kadang bertingkah aneh. Seperti kali ini, ia ingin memakai kamar mandi yang ada di dalam kamar Ami.

Entah itu adalah modusnya atau apa. mungkin Iris menyukai kamar Ami yang selalu wangi dengan wewangian bunga. Kamar ternyaman bagi Ami, kamar yang dimana Jason juga menghabiskan waktu bersamanya.

Iris merebahkan diri di ranjang king size milik Amia. Lalu meregangkan sendi-sendi ditubuhnya.

"Kamar mu tidak berubah ya, rasanya sudah lama sekali aku tidak main kesini." Ujar Iris sambil terus menatap langit-langit kamar.

Ami kemudian ikut berbaring disampingnya, ikut memandang kearah yang sama.

"Kau sibuk pacaran sampai lupa dengan sahabat sendiri Nona, Huh" Ujar Ami berpura-pura marah.

Merasa sahabatnya sedang marah, Iris kemudian merubah posisi tidurnya, menghadap Ami.

"Oh ayolah sahabatku~ aku ini kan ingin cepat punya anak jadi—cepat proses pacaran, cepat menikah, otomatis cepat punya anak."

"Hihihihi" Ami tertawa mendengar logika Iris yang begitu menggelitik pikirannya, namun sangat jelas hal itu juga benar.

"Hey!! Kau cuma menggoda ku ya? Tolong jangan lakukan itu lagi!"

Kini giliran Iris yang berpura-pura marah.

"Iya iya~ Irisha aku hanya bercanda~ hahahaha"

Mereka terus menerus bercerita satu sama lain sampai tak menyadari seorang pria yang terus memperhatikan mereka dibalik celah pintu kamar.

........................................


"Iris, mungkin sebaiknya kita keluar kamar sekarang—

"Anakku dan suamimu pasti sudah menunggu."

Ami turun dari ranjangnya, disusul Iris yang mengekor dibelakang.

"Apakah kalian ingin makan? Aku bisa membuatkannya sebentar jika kamu ingin."

"Tidak perlu, aku masih kenyang. Tapi kamu bisa buatkan makanan untuk Chirs mungkin ia lapar."

"Chirs tidak lapar ia sudah makan tadi." Tanpa dosa Ami menjawab Iris.

"Bukan Chirs milikmu tapi Chris miliku. Hahaha aku lupa memberitahumu nama suamiku juga Chris, Ami."

Iris tertawa melihat muka bingung Ami.

"Seingatku di undangan namanya bukan Chris."

Ami mencoba mengingat nama yang tertera di undangan pernikahan Iris.

"Hey!! Namanya Chris. Sudah ayo cepat kita keluar." Iris menyeret Ami yang sedang begulat dengan kebingungannya.

.........................


"sayang, maaf lama ya."

Iris segara menghampiri suaminya yang sedang duduk diruang tamu bersama anak-anak Ami.

Dia hanya tersenyum simpul, menggeser duduknya kesamping mengisyaratkan Iris untuk duduk.

"Hey price and princess, kalian harus segara tidur." Suara lembut  Ami mengitrupsi permainan Kaka beradik itu.

"Hoaam mama~" cilla segara berdiri menghampiri Ami dengan jalan yang sempoyongan.

Ami segera mendekati anaknya meraih Cilla yang sudah mulai mengantuk kedalam dekapannya.

"Terima kasih Kaka, sudah menjaga Cilla dengan baik." Ami menyentuh pucuk kepala Chris dengan lembut.

"Sama-sama mama." Chris menjawabnya dengan semangat, terasa jelas perasaan bangga didalamnya.

"Aku harus mengantar mereka ke kamar dulu. Kalau kalian ingin segara beristirahat- Iris kamar kalian ada di bawah tangga ya. Oh iya, Anggap saja rumah sendiri."

Setelah mengatakan hal tersebut, Ami langsung izin untuk pergi meninggalkan pasangan pengantin baru yang masih duduk saling menempel.

kepergian Ami, mengubah raut wajah kedua insan ini. Mereka bahkan memiliki ekspresi wajahnya masing-masing.

"Aku hanya membantumu sampai disini, sisanya terserah kau."

Suara Iris dingin bahkan tak ada emosi dalam tiap kata yang ia keluarkan.

Pria disampingnya tertawa, ia kemudian merangkul Iris dengan mesra.

"Kau bahkan rela 'menjual'nya. Pertemanan kalian ternyata dangkal ya."

Suara berat lelaki itu seberat napas yang di hembuskan Iris.

"Diam kau keparat"




POSSESSIVE Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt