22. Dirawat

1.4K 139 6
                                    

Semoga kalian ngga bosen nunggu cerita ini:*

***

"Gimana keadaan Zya, pi?" tanya Alik yang pertama kali datang.

"Dokter belum ke luar dari tadi," jawab Alan sambil mengacak rambutnya gusar.

Dari arah berlawanan dua orang lelaki berlari menghampiri mereka. Masih menggunakan pakaian kerja masing-masing, Dodo dengan stelan jasnya dan Eja dengan kemeja merah. Definisi gila kerja ya mereka, tetap bekerja meskipun saat weekend juga.

"Gimana?" Eja bertanya setelah mengatur napasnya yang ngos-ngosan membuat Alan menggeleng pelan sebagai jawaban.

"Anjing lo!" umpat seorang lelaki yang mengenakan masker, tiba-tiba datang sambil menggeplak belakang kepala Alik.

Alan melotot garang ke asal membuat sang empunya cengengesan sambil membuka maskernya.

"Si Alik nih pi, nyusahin mulu," adu Iwan cemberut. "Pas papi ngabarin Zya dibawa ke rumah sakit, Iwan minta jemput Alik biar cepet. Eh, motor bututnya mogok di tengah jalan. Si kunyuk malah ninggalin Iwan sama motor bututnya, mana capek harus ngedorong motor sampai ke bengkel," sambung Iwan yang mendapat tabokan dari kembarannya itu.

"Ngga tahu diri banget lo ya, udah gue jemput malah ngatain motor gue butut." Alik melotot garang ke arah Iwan. "Lo beneran bawa motor gue ke bengkel Bang Toyib, kan?"

"Gue jual udah ngga guna juga," sahut Iwan seraya membuka maskernya, lalu mengipasi wajahnya yang terasa panas.

"Ye bangsat, gue serius." Alik berseru marah.

"Gue ngga mau diseriusin sama lo ya. Mon maap, gue normal," sahut Iwan semakin sengaja ingin membuat Alik semakin marah.

"Mau papi hukum?"

Seketika dua lelaki yang pernah berada dalam satu rahim itu langsung terdiam, tak melanjutkan perdebatan. Mereka terlalu takut dengan ancaman sang papi, apalagi saat ini sedang dalam mode serius—Zya masih ditangani oleh dokter.

"Hukum aja pi, tuman," kompor Eja yang sedari tadi jengah dengan perdebatan adiknya itu.

Alan mengembuskan napas lelah melihat kedua anak lelakinya yang menunduk takut. "Kalau di rumah udah papi hukum kalian berdua."

Selanjutnya tak ada yang berani menyahut ucapan Alan, hingga akhirnya seorang dokter ke luar dari ruangan—di mana Zya diperiksa.

"Gimana keadaan Zya, Bas?" tanya Alan menghampiri lelaki berjas putih, yang kebetulan teman lamanya saat SMA.

"Apa akhir-akhir ini Zya mendapat tekanan?" Bastian bertanya balik.

"Kemarin sempat ada beberapa masalah," jawab Alik. "Memangnya kenapa ya, om?"

"Karena terlalu banyak tekanan dan pikiran itu membuat ingatan Zya tentang traumanya kembali. Hal itu pula yang membuat Zya pingsan hingga drop dan harus dirawat. Jika keadaannya sudah membaik, besok juga bisa pulang," jelas Bastian, lalu pamit untuk mengecek pasien yang lain.

Setelah kepergian sang dokter, Alan beserta keempat anaknya segera memasuki ruangan Zya. Gadis cantik itu belum sadar dari pingsannya. Kelimanya menatap Zya dengan ekspresi sedih dan khawatir.

Di sisi lain, seorang lelaki berhoodie merah sedang berlari di koridor rumah sakit dengan boneka babi dipelukannya. Kakinya tiba-tiba berhenti di belokan dekat administrasi. Netranya menangkap seorang lelaki yang dikenalnya sedang bersama seorang perempuan yang tak ia ketahui, karena membelakanginya.

ZYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang