The bond that links your true family is not one of blood, but of respect and joy in each other's life.
- Richard Bach
❁❁❁
Ini pertama kalinya gue bisa menceritakan semua kecemasan gue pada orang lain, terlebih di situasi hujan kaya gini. duli, jangankan bercerita, bisa bernapas tanpa merasa sesak ketika hujan turun pun gue udah lebih dari bersyukur.
Gue juga sering kali enggak bisa merespon apa-apa ketika ditanya tentang hal terkait dan berujung Kak Kendra yang sering kali kerepotan menjelaskan pada orang lain tanpa memberi tahu apa yang sebenarnya gue alami, bahkan pada Nina. Pertama kali Nina tahu tentang kecelakaan ini, itu dari Kak Kendra bukan gue.
Kini gue hanya terdiam setelah mengatakan Oma menjadi salah satu alasan dibalik gue punya trauma berkepanjangan dan kenapa gue benar-benar menganggap Tante Liana dan Kak Kendra seperti gue sendiri.
Devian pun juga enggak bersuara, mungkin dia berasumsi kalau gue enggak atau belum siap melanjutkan cerita yang termasuk luka lama bagi gue, jadi dia Cuma diam tanpa bertanya atau meminta penjelasan lebih. Namun, keheningan di antara kita enggak berlangsung lama karena gue merasakan sebuah tangan mendarat di atas kepala gue sambil menepuk kepala gue beberapa kali.
"You are doing well, Delyn."
Gue lantas mendongak, mendapati Devian yang sekarang tersenyum dengan posisi tangan yang masih sama selama beberapa sekon. Tolong ya, Devian, elo itu enggak boleh mendadak kaya gini, bikin orang repot nih jadinya.
"Ujannya udah berenti, balik sekarang?"
NAH, TUH KAN. Sekarang dia malah dengan santainya berjalan menuju motor dan mengambil helm gue yang tergantung di spion sebelah kiri kemudian menyodorkannya pada gue.
"Entar lo kemaleman sampe rumah."
Melihat gue yang masih enggak melakukan apa-apa, dia malah seenaknya mengambil helm yang gue pegang dan langsung memakaikannya ke kepala gue. "Kenapa bengong?"
Gue mendongak dan mendengus pelan sambil menunjuk helm yang posisinya sekarang udah berada di kepala gue. "Elo enggak boleh tiba-tiba begini tahu."
Terus Devian malah senyum ketika mendengar gue protes kaya gitu. "Kalau gitu, nanti-nanti gue akan minta ijin dulu ke lo."
"BUKAN GITU MAKSUDNYA," teriak gue bete sendiri karena dia terus menerus teasing gue setiap kali gue melontarkan sesuatu.
"Iya, maaf, ya?"
Eh, kok malah jadi gini.
"Enggak gitu juga maksudnya," ucap gue kebingungan sendiri.
Sekarang malah Devian yang mendengus. "Tuh kan, elo kebiasaan deh, santai aja. Kita beneran pulang sekarang deh, nanti elo beneran kemaleman pulangnya."
Sejujurnya gue pun enggak paham kenapa gue dan Devian selalu berinteraksi seperti ini.
❁❁❁
Setibanya gue dan Devian sampai di kontrakan setelah sekian banyak halangan, gue langsung mendapati pagar rumah yang terbuka kecil karena ditarik oleh sang empuhnya.
"Eh Iris malem-malem mau ke mana?" tanya gue bingung. Hmm, belum malem sih, tapi enggak tahu kenapa kayanya lihat Iris mau keluar jam segini bagi gue kaya udah malem banget.
"Bukain pintu buat Kak Del, tapi nanti mau pulang juga, Kak," jelasnya sambil memegang kunci pagar rumah.
"Dijemput Kokomu?" tanya gue lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Playlist: Gemercik
General FictionSebab dari bunyi air hujan yang jatuh melukiskan sebuah kisah yang baru. [Playlist ; Collaboration project 2.0] ©Written by Pitachynt January 4th, 2021