Rintik 25: Taksa

171 22 22
                                    

No matter how much suffering you went through, you never wanted to let go of those memories.

- Haruki Murakami

❁❁❁

Delyn

Kontrakan akhir-akhir ini jadi sunyi. Gue dan Kak Shelma selalu pulang malam karena kerjaan, Iris dan Nares yang sibuk dengan kuliahnya, serta Lana yang mendadak seakan menghilang dari rumah walau dia kemarin sempat pamit untuk menginap di rumah Abangnya.

Lana yang kunjung enggak ada kabar membuat Kak Shelma memutuskan untuk menelepon Bang Bian. Kita enggak pernah menyangka kalau kabar yang kita dapat bukan sebuah kabar bahagia, melainkan kabar duka.

Lagi, anak-anak rumah harus kehilangan tanpa ada perpisahan. Kabar kepergian bapak Lana jelas membuat kita semua kaget bukan main. Sejak mendengar kabar dari Bang Bian, sesekali gue menaruh atensi lebih pada Iris. Kehilangan itu enggak pernah mudah, bagi siapa pun. Sehingga Iris yang belum lama ditinggal Papinya membuat gue cukup khawatir selama beberapa hari.

Ketika kita tahu kapan Alana pulang, Kak Shelma langsung membeli red velvet kesukaannya dan gue yang beli sate madura untuk dia. Yang kita harap, Lana bisa sedikit terhibur. Enggak ada yang bisa kita lakukan selain memeluk Lana erat dan mengusap punggungnya lembut sambil meminta maaf atas diri kita yang telat mengetahui kabar bapaknya.

"Kakak ambil sendiri aja enggak apa-apa kok. Sekali lagi makasih banyak ya semuanya. Aku seneng hehe," jawab Alana ketika Iris yang menawarkan diri untuk mengambil piring dan air putih.

Ada perasaan sedikit lega ketika gue kembali mendengar kekehan Alana di dalam rumah. Walau kita tahu sebenarnya Alana masih enggak baik-baik aja.

Hari demi hari berlalu, minggu demi minggu terlewat sampai ke pagi ini kita lihat Nares yang udah rapi banget karena mau sidang.

Cepet banget, ya.

Setiap udah kamis, gue secara enggak sadar akan selalu ngomong satu hal yang sama ke Raihan dan Kak Arsen kalau udah sampai kantor. "Hah, udah Kamis lagi."

Iya, udah kamis lagi. Bentar lagi weekend dan ketemu senin lagi. Perasaan kayaknya baru deh senin dateng. Terus kemarin-kemarin dari senin ke kamis ini kelewat gue ngapain aja kok bisa cepet banget?

Gak tahu ya. Gue juga enggak tahu gue ngapain selain datang ke kantor, balik ke kantor, makan bareng anak-anak rumah, tidur, dan repeat. Cuma bedanya, sekarang gue bisa lebih menikmati hidup gue.

Dulu gue selalu questioning about my purposes, about my life. Lihat teman-teman yang udah sukses, dapat kerja pertama kali di tempat yang luar biasa nyaman, sedangkan waktu itu gue dapat tempat kerja yang bikin perang batin. Mereka dapat gaji yang fantastis, sedangkan gue masih standar-standar aja. Udah ada yang punya rumah, udah ada yang punya usaha sendiri.

Gue bahagia lihat orang-orang yang gue kenal sukses, berhasil mencapai apa yang selama ini diharapkan. Tapi, gak bisa dipungkiri gue juga sedih. Kayak kecewa sama diri sendiri masih begini aja dan di sini aja.

Dulu Papa bilang namanya kerja sama orang pasti enggak enak, as long as it relates to work, Papa bilang harus banyak sabar. Tapi, gue enggak pernah cerita soal gue yang disindir tentang anak baru bawa mobil. Gue cuma berani cerita ke Kak Kendra dan waktu mendengar itu, Kak Kendra jelas marah. Tapi, gue minta Kak Kendra untuk enggak cerita sama Mama Papa.

Ya walau akhirnya Papa Mama juga tahu karena tanya kenapa gue jadi jarang bawa mobil waktu ujan. Ketika Papa tahu, Papa marah banget sebab itu enggak ada hubungannya sama sekali dengan 'pekerjaan' dan fakta gue masih takut banget sama hujan kala itu membuat Papa jauh lebih parah marahnya.

Playlist: GemercikWhere stories live. Discover now