Pertemuan Pertama

4 2 0
                                    

Bunyi nyaring seperti suara sirene menjerit-jerit di pendengaran Ae-Ri. Tubuhnya masih tenggelam di balik selimut, matanya pun bahkan tidak bisa untuk dibuka seolah ada lem perekat di sana. Ae-Ri menjulurkan sebelah tangannya di atas nakas bersebelahan dengannya, lalu berusaha menggapai benda yang sedari tadi minta diangkat itu.

“Halo?" kata Ae-ri begitu menempelkan ponselnya ke telinga. Matanya masih belum terbuka sempurna. “Jack? Ada apa?”
"Astaga! Aku tahu kau pasti bercanda.” Suara serak khas bangun tidurnya terdengar begitu kesal. “Apa? Sekarang? Tidak!” Begitu mendengar jawaban temannya di seberang sana, sontak matanya terbuka lebar dan ia langsung mengubah posisi menjadi duduk. “Serius? Oke-oke. Aku akan sampai di sana jam ...,” Ae-Ri menatap jam bekernya sejenak. “Sembilan,” jawabnya cepat.

Lalu menutup telepon sambil melompat dari kasurnya. Sudah jam delapan lewat empat puluh menit dan ia hanya punya waktu dua puluh menit untuk tiba di tempat latihan. Jack barusan meneleponnya untuk memberitahukan gadis itu bahwa pertunjukkan yang sempat dibatalkan ternyata ditunda sampai hari senin depan.


Biasanya sebulan sekali fakultas seni teater di kampus mereka selalu mengadakan pertunjukan. Atau kadang-kadang sering tampil di acara festival-festival. Ini sudah hari sabtu, mereka hanya punya waktu dua hari lagi untuk latihan.

Ae-ri meraih ponselnya di tempat tidur dengan cepat seraya memasukkannya di tas, mengambil payung lipat, buku kecil, dompet, dan berhenti di depan cermin sambil menjepit ujung rambutnya menggunakan penjepit rambut.

Kemudian buru-buru keluar dari kamar apartemennya lalu berlari sekuat tenaga menyusuri jalan.
Sesaat ia berhenti, berusaha mengatur pernapasannya sambil memandang berkeliling. Kenapa tidak ada satu pun taksi yang lewat? Pikirnya. Tiba-tiba ia langsung bernapas lega ketika ia melihat taksi dari kejauhan. Buru-buru Ae-Ri mengangkat sebelah tangannya untuk menghentikan taksi itu.

"Antarkan aku ke Bachelor Of Arts Di Dance sekarang,” desak Ae-Ri setelah ia duduk di kursi penumpang. Ae-Ri melihat sopirnya menoleh ke arahnya sambil menatapnya dengan alis mengerut, bingung. “Cepatlah, aku tidak punya waktu.” Setelah mengatakan seperti itu, barulah taksi yang ditumpanginya seketika langsung jalan.

Selama di perjalanan Ae-Ri tetap mengecek ponselnya untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu Jack menghubungi atau sekadar mengirim pesan kepadanya. Kemudian menatap sopirnya sekilas lalu membuang pandangan ke luar jendela. “Permisi, apa kau orang Asia?” tanya Ae-Ri menyuarakan rasa penasarannya.

Ia sempat mencuri-curi pandang tadi.
Ketika sopir itu menoleh, Ae-Ri semakin yakin dengan pemikirannya karena wajahnya memang seperti orang Asia. Laki-laki menggunakan setelan kemeja dilapisi kaos putih polos dan mengenakan topi itu hanya diam. Ae-Ri berdehem, lalu berusaha menanyakannya sekali lagi. “Asia bagian mana? Jepang? Cina? Atau Korea? Ku rasa wajahmu seperti—“

Ae-Ri tidak jadi melanjutkan ucapannya karena taksi yang ditumpanginya tiba-tiba berhenti.
"Sudah sampai,” ucap laki-laki itu singkat. Seakan baru menyadarinya, Ae-Ri langsung turun dan mengambil dompetnya dari dalam tas.

Namun, baru saja ia menunduk dan mengacak-acak isi tasnya, taksi yang ia tumpangi langsung pergi begitu saja. Ae-Ri melongo, memandang mobil itu menjauh sampai menghilang di belokan.
Gadis itu memasuki tempat latihannya. Ia sempat berpapasan dengan seorang resepsionis di depan pintu utama, menyapanya sebentar lalu menaiki lift sampai ke lantai tiga.

Gedung tempat latihan mereka memiliki tiga tingkat. Untuk yang paling bawah dan kedua di isi oleh anak-anak seni tari dan di lantai paling atas khusus untuk anak-anak teater dan drama sepertinya.
Saat menyusuri koridor, ia sempat bertemu dengan dua orang temannya.

Ae-Ri meluangkan waktu sejenak untuk bertanya, kemudian kembali melanjutkan langkahnya sampai ia tiba di sebuah aula yang cukup luas.
Rupanya sudah ada banyak orang. Ae-Ri melihat ke arah panggung, di sana sudah diisi oleh beberapa teman-teman sejurusannya yang sedang berlatih. "Hei, Aria!" seru Jack dari tepi panggung seraya melambaikan sebelah tangannya.

Ae-Ri menyunggingkan seulas senyum, lalu buru-buru menghampiri temannya itu.
“Kau hanya sendirian? Di mana Clara? Tadi aku sudah meneleponnya tapi ponselnya tidak aktif,” kata Jack. Laki-laki berambut gondrong yang diikat ekor kuda itu meneguk sebotol air mineral karena baru habis latihan.

Ae-Ri mendecakkan lidahnya sambil menatap Jack sinis. “Sudah berkali-kali aku katakan jangan memanggilku dengan nama itu,” sungutnya kesal. Jack menggaruk belakang kepalanya salah tingkah.
“Sorry, tapi nama-nama orang Korea sangat tidak cocok di lidahku.

Lagi pula, bukan hanya aku yang memanggilmu dengan nama seperti itu.” Ah, benar juga! Hanya Clara sendiri yang bisa menyebut namanya dengan benar. “Clara tidak bisa datang karena harus menemani ibunya di rumah sakit.” Ae-Ri mengempaskan bokongnya di kursi plastik dan memandang sekeliling. “Di mana si sutradara itu? Dia belum datang? Sial, aku sudah mau hampir mati untuk datang secepat ini,” protesnya tidak terima.

Jack mengedikkan bahunya tak acuh. “Dia tadi sudah di sini sebelum temannya datang.” “Maksudmu?” seakan baru menyadarinya, Jack langsung menambahkan, “Maksudku, tadi dia ada di sini tapi baru saja pergi ketika temannya datang,” jawabnya sambil lalu. Ae-Ri berdecak kesal dan memutar bola matanya, malas. “Sst! Aku akan menghajarnya kalau dia ada di hadapanku sekarang.”

“Memangnya kau berani?” Ae-Ri memandang Jack dengan mata berkilat-kilat. “Tentu saja tidak!” Jack baru saja akan protes ketika Robert datang. Semua mahasiswa yang sedang berlatih maupun yang berada di luar panggung langsung membentuk dua barisan.

Jantung Ae-Ri tiba-tiba berdetak lebih cepat. Kenapa ia harus merasa malu saat Robert melihatnya nanti? Bukankah saat di Bistro waktu itu sutradaranya bersikap biasa-biasa saja? Ah, benar. Dia saja yang terlalu berlebihan.

Ternyata Robert tidak datang sendiri. Ada seorang laki-laki juga di sampingnya. Ae-Ri menatap laki-laki itu lama, berusaha memutar otaknya dan tidak fokus mendengarkan pembicaraan. Ketika pandangan mereka saling bertemu, pupilnya tiba-tiba membesar. Ia terperanjat namun langsung cepat-cepat mengumpulkan kesadarannya.

Gadis itu baru menyadarinya sekarang kalau laki-laki yang sedang bersama Robert saat ini adalah sopir taksi yang mengantarnya ke sini tadi. Tapi ... Kenapa dia bisa ada di sini? Apa orang itu teman dari sutradaranya?
Lamunannya tiba-tiba buyar saat ia mendengar suara tepuk tangan saling bersahut-sahutan. Terpaksa itu harus menyudahi pikiran itu lalu kembali memfokuskan dirinya ke tujuan awal dan memilih mendengarkan pembicaraan dari Robert.

Selama latihan sedang berlangsung gadis itu tidak terlalu fokus. Laki-laki yang datang bersama Robert itu terus menatapnya dan bahkan ia hampir tidak berpaling sekali pun. Dalam hati ia sudah kesal setengah mati. Apa orang itu ingin meminta bayaran? Salah siapa langsung pergi.

Ia sudah berniat akan membayar sopir itu begitu latihannya sudah selesai. Tetapi, Ae-Ri justru sudah tidak melihatnya lagi. Beberapa teman-temannya satu per satu sudah pulang dan ia masih mencari sosok laki-laki tadi.

“Hei, ada apa?” tanya Jack sambil menepuk punggung Ae-Ri pelan. Pria tinggi berkulit putih keemasan itu menatapnya heran dan mengikuti arah pandang Ae-Ri. Gadis itu menggeleng cepat. “Tidak apa-apa, ”jawabnya. Sebenarnya Jack penasaran tapi ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.
“Oke, aku duluan ya, bye.” Jack melambaikan tangannya dan dibalas anggukan oleh Ae-Ri.

Ia mengembuskan napas keras. Baiklah, dia sendiri yang sudah duluan menghilang dan Ae-Ri tidak mau tahu soal itu. Buru-buru ia mengambil tasnya dan ikut menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu berjalan keluar. Saat ia baru saja belok di ujung koridor dan berjalan menuju lift, Ae-Ri kembali melihat laki-laki tadi. Dia sedang berbicara telepon, lalu melangkah kecil mendekati lift dan Ae-Ri langsung mempercepat langkahnya mengikuti laki-laki itu.

Posisi gadis itu berdiri di belakang laki-laki tadi saat mereka sudah masuk di lift. Tidak ada orang lain kecuali hanya mereka berdua saja. Ae-Ri masih melihat ia sedang berbicara di telepon dan bahasa yang digunakannya sama sepertinya. Bahasa Korea. Sudah tidak salah lagi. Waktu di taksi tadi ia juga sudah menduga hanya melihat dari wajahnya saja. Setelah laki-laki itu menutup teleponnya, ia memberanikan diri untuk berbicara duluan.

“Mm, maaf kau sopir yang mengantarku tadi, bukan?” Kali ini Ae-Ri berbicara menggunakan bahasa Korea karena dia tahu Laki-laki itu pasti mengerti apa yang dibicarakannya. Ae-Ri melihatnya setengah menoleh ke belakang, meskipun sebagian wajahnya ikut tertutup dengan topi, tapi Ae-Ri yakin mereka orang yang sama.

Ia melihat lawan bicaranya hanya diam, lalu seakan mengerti dia langsung mengaduk-aduk isi tasnya dan mengeluarkan uang dua lembar. “Aku belum membayarmu tadi,” kata Ae-Ri tenang. Ia terlihat sedang percaya diri sekali.

“Maaf, tapi bisa kau mengambilnya? Tanganku mulai pegal sekarang.” Ae-Ri mulai merasa dongkol. Laki-laki itu hanya bergeming tanpa menyentuh pemberiannya. Saat Ae-Ri akan berbicara lagi liftnya tiba-tiba berdenting. Lalu pintu seketika terbuka dan laki-laki itu langsung keluar. What? Kening Ae-Ri berlipat-lipat, kemudian ia berteriak dengan nada kesal sering pintu lift menutup.

“Permisi! Kau melupakan ini,” katanya dengan keras. Namun dia tetap tidak ditanggapi sedikit pun dan itu membuat rasa kesalnya semakin menjadi-jadi.
“Sialan!”

STORY IN NEW YORK (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now