Gadis deja' vu

6 2 0
                                    

Seorang laki-laki menggunakan setelan kemeja cokelat baru saja keluar dari minimarket dengan agak terburu-buru. Sebelah tangannya menenteng sekantong plastik berisikan minuman kaleng dan beberapa makanan ringan. Sedangkan di tangan sebelahnya, ada beberapa tumpukan buku.
Ia setengah berlari menuju ke mobilnya yang diparkir di tepi jalan. Namun, karena tidak terlalu fokus Dong-Yul tidak sengaja menyenggol bahu seseorang.

Tidak ingin membuang-buang waktu dan tidak ingin ambil pusing, laki-laki itu sengaja mengabaikannya dan cepat-cepat masuk ke mobil.
Dia hampir lupa kalau ada janji dengan temannya. Setelah dari lokasi syuting, ia langsung pamit pulang duluan meskipun teman sesama rekan kerjanya mengajaknya bergabung makan malam bersama.

Tiga puluh menit kemudian mobilnya tiba di pekarangan rumah. Dari tampak luar, rumah itu kelihatan cukup besar. Dikelilingi pagar besi dan ada beberapa tanaman hias di halaman depan. Dong-Yul menekan tombol interkom di dekat pintu sejajar dengan bahu laki-laki itu. Setelah terdengar suara bel, pintu seketika terbuka otomatis, tanpa berlama-lama ia melangkah masuk di rumah yang sering didatanginya itu lalu menghampiri seorang pria yang sedang duduk di ruang tamu.

“Sudah lama menunggu?” tanya Dong-Yul ikut duduk di hadapan temannya sambil meletakkan sekantong belanjaan di meja. Ia menyibak potongan rambutnya yang rapi dan menutupi dahi ke belakang.  “Lumayan,” jawabnya ringan. Dong-Yul mengangguk, ia mengambil satu minuman kaleng, membukanya, lalu meneguk isinya. “Kau tidak mau?” Dong-Yul mengangkat minuman di tangannya, menawarkan. “Ya, boleh.”

“Ada apa? Wajahmu kelihatan begitu kesal sekali?” tanya Dong-Yul penasaran.  Sejak tadi mereka hanya saling diam. Tatapan pria itu menerawang dan ia memutar-mutar permukaan kaleng menggunakan jari telunjuk. Entah karena hal apa ia juga tidak begitu tahu. Robert Alexander meneguk sisa minuman di tangannya lalu meletakkannya kembali di meja. “Tidak. Hanya ada masalah kecil saja,” jawabnya sambil lalu.

“Apa ini berhubungan dengan mereka?” tebaknya. Tentu saja Robert tahu 'mereka' yang dimaksud Kim Dong-Yul. Yaitu para mahasiswa seni teater dan drama yang terlibat dengannya.

Robert mengangguk samar. Ah ... memang tidak salah lagi. Robert merupakan sutradara yang bertanggung jawab untuk pementasan seni teater dan drama. Sudah hampir tiga tahun ia berprofesi sebagai sutradara dan bisa dibilang dia cukup berpengalaman. “Bagaimana denganmu? Kau sudah selesai?” Robert bertanya balik mengalihkan pembicaraan. “Hm.”

“Bagus. Kau membawanya?” Robert sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, sebelum meletakkan minuman kaleng di meja  lalu menjulurkan tangannya untuk mengambil beberapa tumpukan buku di meja. Sesaat keningnya mengerut samar, kemudian mengangkat pandangan lagi dan menatap Dong-Yul dengan alis ditekuk dalam. “Kau tidak membawanya, ya?”

“Apa? Tentu saja aku tidak lupa. Coba periksa lagi,” elaknya. Robert kembali mengacak-acak tumpukan buku itu namun tetap saja tidak ketemu. Hanya ada buku-buku yang tidak terlalu penting. “Tidak. Kau pasti lupa, memang tidak ada di sini.” Dong-Yul berdecak sebal. Laki-laki itu lantas mencoba mencari buku yang dimaksud.

“Lihat, tidak ada, bukan?” Kali ini kekesalan Robert bertambah dua kali lipat ketika membaca ekspresi laki-laki itu. Ia mendesah berlebihan lalu, “Sudahlah. Hari ini batalkan saja,” cetus Robert sambil memijat pelipisnya. Ia sudah cukup kesal dengan kejadian tadi lalu temannya itu makin menambah beban pikiran.

“Tidak, aku rasa aku sudah membawanya tadi,” gumam Dong-Yul berusaha mengingat-ingat. Hari ini mereka berdua akan membahas naskah film yang dibuat Dong-Yul. Dia meminta pendapat Robert mengenai naskah-naskahnya sebelum dikirim dan diawasi langsung oleh perusahaan agensi perfilman. Laki-laki berusia dua puluh lima tahun itu sudah dua tahun berprofesi sebagai penulis naskah film di Korea Selatan.

STORY IN NEW YORK (Sudah Terbit)Där berättelser lever. Upptäck nu