Syuting Pertama

4 2 0
                                    

Kim Dong-Yul membungkukkan setengah badannya dan menyapa para staf-staf di lokasi syuting. Lalu masuk ke tenda dan tersenyum pada Alice yang sedang berdiri di depan meja rias seraya menatapnya di balik bayangan cermin.

Wanita itu balas tersenyum, setelahnya laki-laki itu duduk di kursi panjang dekat pintu keluar-masuk. “Nah, ada apa lagi denganmu?” Alice mendekat sambil membawakan secangkir teh hangat yang masih mengepul. Wanita berusia awal tiga puluhan itu salah satu perias untuk model-model yang akan tampil dalam video musik ini.

Dan, ia sudah mengenal wanita itu sejak kedatangannya pertama kali di sini beberapa bulan yang lalu.
Dong-Yul menarik kedua sudut bibirnya ke atas, menerima pemberian Alice sambil berkata dengan nada yang tenang, “Tidak apa-apa.” Wanita itu menyipitkan mata lalu menatap Dong-Yul dengan tatapan menginterupsi.

“Kenapa aku tidak percaya?” “Sudahlah,” sela Dong-Yul. Lalu menyeruput teh panasnya, menelan, dan seketika tenggorokannya terasa lebih baik. Kemudian ia melanjutkan, “Lupakan saja.” Alice mengangguk-angguk. Lalu menduduki satu kursi tepat di hadapan laki-laki itu. “Omong-omong, kau sudah dengar tentang itu?” Alis Dong-Yul mengerut bingung. “Apa?” Alice sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan sambil mengelus dagu.

“Bukannya dalam video musik kali ini kita membutuhkan dua model? Tapi  hanya ada satu orang saja. Dengar-dengar, yang satunya lagi sudah keluar negeri sekitar dua hari yang lalu mungkin.” Ah, memang benar. Konsep video musik kali ini adalah tentang cinta segitiga.

Di mana akan membutuhkan dua orang perempuan sebagai pemeran pacar dan orang ketiga. Tapi, siapa yang pergi? Dong-Yul penasaran dan langsung menanyakannya itu.
Alice mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di bibir, berpikir sejenak dan berusaha memutar otaknya.

“Mm, aku sudah lupa namanya. Tapi, dia yang akan berperan sebagai orang ketiga.” Kemudian ia melihat Alice mendesah pelan. “Kenapa?” Alice mengangkat pandangannya. “Tidak. Masalahnya, kita tidak punya model cadangan sebagai pengganti. Itu memang bukan urusanku tapi aku juga ikut cemas memikirkannya.”

Dong-Yul hanya diam, lalu menyeruput kembali tehnya dan menatap ke bawah, tepat pada sepatunya. “Apa kau punya kenalan? Pokoknya yang bisa akting. Siapa tahu dia bisa membantu.” “Apa?” Dong-Yul mengangkat pandangan lagi dan menggeleng. “Tidak-tidak. Aku tidak punya,” sahutnya cepat.

Alice mendadak lesu, dengan sekali sentakan ia berdiri dari bangkunya. “Baiklah. Aku kembali bekerja dulu.” Dong-Yul melirik arlojinya sebelum mengangguk. Sudah pukul sembilan lewat delapan belas menit tapi syutingnya belum dimulai.

Ia merasa beruntung karena tidak jadi terlambat namun di satu sisi, ia juga ikut memikirkan perkataan Alice tadi.
Dong-Yul menoleh tepat di luar tenda, melihat ke arah laki-laki berperawakan tinggi dan berambut kuning yang sedang berbicara di telepon.

Ia meletakkan teh yang dipegangnya di sebelahnya, lalu keluar menghampiri sutradaranya itu. “Hei,” sapa Dong-Yul pada laki-laki itu. Bobby setengah menoleh, mengangkat sebelah tangannya kemudian kembali menyelesaikan ucapannya di telepon sampai sambungan itu terputus.

“Kapan kau sampai?” tanyanya sambil menjejalkan ponsel ke saku celana jins. “Tidak terlalu lama.” Sebelum bersuara, Dong-Yul berdehem sejenak. “Dengar-dengar, apa kita kekurangan model untuk video musik kali ini?”

Bobby mengangguk tapi cepat-cepat menambahkan, “Tidak usah khawatir. Aku sudah menelepon salah satu temanku dan katanya dia punya kenalan yang bisa dijadikan figuran untuk video musik ini.” Syukurlah, Dong-Yul agak lega mendengar penuturan itu.

Bobby dan dia memang tidak terlalu lama mengenal satu sama lain. Ia juga baru diperkenalkan oleh Robert saat pertama kali ke sini. Umurnya juga tidak terlalu beda jauh dengan mereka. Mungkin, hanya selisih dua tahun lebih tua darinya.

Dan beberapa Minggu lalu Bobby memintanya membuatkan naskah video musik karena kebetulan konsepnya juga terkesan seperti film pendek. Ketika mereka sedang larut dalam pembicaraan, suara gaduh disusul pekikan seorang wanita menarik perhatian keduanya. Dong-Yul menoleh cepat dan mendapati gadis ... tunggu-tunggu. Laki-laki itu menyipitkan matanya dan tersentak pelan.

“Gadis itu?” Tanpa sadar ia telah menyuarakan pikirannya dan langsung mengumpulkan kesadarannya kembali.
Bobby dan Dong-Yul segera menghampiri asal suara itu yang ternyata berasal dari depan tenda. Sekarang, ia bisa melihat gadis itu dengan jelas.

Berusaha berdiri dari tanah dan tangan sebelahnya memegang sikunya yang kotor. Alice juga ada di samping gadis itu, ikut membantu gadis itu berdiri seraya menyerahkannya kain kecil berwarna merah. Gadis itu tersenyum kikuk, menerimanya sambil setengah membungkukkan badan sebagai permintaan maaf.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Bobby. “T-tidak. Aku tidak apa-apa, sungguh.” Ia menampakkan seulas senyum yang terkesan kaku sambil menggoyang-goyangkan tangan. Ia beralih menatap Dong-Yul di sebelah Bobby, Ketika mata saling beradu, laki-laki itu langsung cepat-cepat mengalihkan pandangan sedetik setelahnya.

***
Saat ini Ae-Ri sedang berdiri di depan apartemen Clara. Lebih tepatnya, menunggu kedatangan Clara yang katanya lima menit lagi sudah sampai. Dan benar saja. Ae-Ri melihat temannya di sana, baru turun dari bus, menyeberangi jalan kemudian menghampiri gadis itu. Di satu sisi Clara turun dari bus dengan jantung yang berdebar-debar.

Sebelah tangannya menenteng sekantong belanjaan penuh yang sempat ia beli di pasar. Begitu kaki jenjangnya menginjak setapak, ia makin mempercepat langkah, untunglah saat itu lampu tanda boleh menyeberang menyala jadi ia bisa berjalan cepat mendekati Ae-Ri.
“Hei, k-kau harus membantuku,” katanya dengan napas tersengal-sengal.

Wajah Ae-Ri tampak bingung, ia hanya diam menunggu temannya itu menyelesaikan perkataannya.  “Kau ingat dengan Miss Karen?” Ae-Ri mengangguk. Model iklan sekaligus sepupu dari Clara. Ia masih ingat waktu itu ketika Clara memperkenalkan mereka saat acara makan malam di apartemennya.

Kali ini suara Clara tidak terdengar enggan putus-putus lagi meskipun suara napasnya belum menunjukkan tanda-tanda normal. “Tadi dia meneleponku. Katanya, temannya sedang membutuhkan figuran untuk video musiknya. Dia memintaku untuk ke sana tapi aku tidak bisa. Mama sudah menunggu di atas.” Ae-Ri masih saja belum mengerti. “Jadi?” tanyanya. Clara menarik napas sebentar lalu mengembuskannya pelan.

“Jadi maksudku, kau harus menolongku. Menggantikan aku menjadi figuran video musik itu. Tadi aku sudah menyetujuinya karena ku pikir, aku tidak enak hati untuk menolak.” Sebuah senyum langsung terbit di wajah Ae-Ri. Matanya berbinar, ia setengah melotot dan, “Astaga! Kenapa kau tidak memberitahuku dari tadi!”

***
Ae-Ri berlari cepat menyusuri jalan. Ia sempat melihat sekeliling, menatap sekali lagi alamat yang tertera di kertas kusut yang dia pegang. Memang benar ini tempatnya. Tapi, ia tidak menemukan tanda-tanda ada orang yang sedang melakukan syuting di sini. Selain dirinya, hanya ada beberapa pejalan kaki yang lewat, gedung-gedung tinggi di sekitaran dan sebuah kafe tak jauh dari posisinya.

Ketika ia berbalik, barulah gadis itu melihat beberapa kamera dan tenda-tenda di sana. Di belakang kafe, nyaris tak terlihat jika ia tidak teliti. Dia berlari cepat menyeberangi jalan, menyelipkan diri di antara banyak orang dan begitu tiba di sana, kakinya tidak sengaja tersandung kerikil.

Ae-Ri kehilangan keseimbangan, sepatu high heels yang dipakainya setinggi satu jari itu tak mampu menahan beban dan ia pun jatuh tersungkur dengan posisi lutut dan kedua sikunya membentur tanah.
Ia meringis pelan, wajahnya memanas saat ditatap oleh beberapa orang.

Suaranya nyaris hilang ketika ditanya. Saat ia mengangkat pandangan dan laki-laki itu menatapnya, Ae-Ri nyaris tak berkedip. Ia menggigit bibir bawah, geram. Apa laki-laki itu baru saja melihatnya jatuh? Astaga! Benar-benar memalukan. Yang bisa dilakukannya saat ini adalah memberikan senyum termanis meskipun ia tidak yakin apakah senyumannya terkesan seperti Joker. Sialan!

STORY IN NEW YORK (Sudah Terbit)Kde žijí příběhy. Začni objevovat