Musim Dingin

8 2 0
                                    

Ae-Ri terbangun pukul sembilan kurang dari lima belas menit. Pagi itu udara terasa lebih dingin dari biasanya, ia merangkak dari tempat tidur, memaksakan tubuhnya yang lelah untuk bangun dan membuka jendela di dekat meja belajar.

Baru sedetik ia sudah menggigil, ternyata memang benar musim panas sudah berakhir dan berganti menjadi musim dingin. Ia tidak punya waktu untuk melihat pemandangan jalan raya di bawah sana, atau mencium aroma masakan dari restoran Jepang di seberang jalan sama seperti yang ia lakukan sebelumnya.

Dinginnya udara membuat ia cepat-cepat menutup kembali jendelanya rapat-rapat lalu berjalan ke sofa dan mengempaskan tubuhnya di sana. Ia jadi teringat waktu di lokasi syuting kemarin. Menjadi figuran dan berperan sebagai orang ketiga dalam suatu hubungan percintaan.

Kalau boleh jujur, ia tidak suka dengan peran itu. Mengingatkannya pada masa lalu yang tidak mungkin gadis itu lupakan. Tapi, apa boleh buat? Dia sendiri yang datang dan dengan terpaksa menerima peran itu.

Bagaimana pun itu ada untungnya juga. Selangkah demi selangkah ia hampir mencapai impiannya untuk menjadi seorang aktris. Untungnya dia sudah terlatih dalam berakting jadi ia tidak terlalu kesusahan dalam memainkan perannya meskipun ada beberapa kesalahan kecil. Ah, benar juga.

Bicara soal itu, Ae-Ri jadi teringat dengan ucapan Dong-Yul kemarin. Laki-laki itu berniat mengganti uang yang sempat dipinjamkannya namun ia menolak mentah-mentah. Percayalah, uang yang dia pinjamkan hanya modus untuk lebih dekat dengan laki-laki itu.
Kalau ditanya mengapa ia tiba-tiba mendekatinya, tentu saja Ae-Ri akan menjawab karena Dong-Yul punya sesuatu. Sesuatu yang bisa menariknya ke dunia akting.

Yang perlu dilakukannya adalah berteman dengan laki-laki itu, membujuknya mengajari bagaimana untuk menjadi seorang aktris dan sudah itu saja. Apakah ia terlihat egois sekarang? Tapi ia tidak peduli. Selama tidak merugikan kedua belah pihak itu tidak akan menjadi masalah.
Namun, sebagai ganti, Dong-Yul mengajaknya makan malam. Gadis itu tertawa pelan. Yang benar saja. Mereka saja belum berkenalan dan ia sudah mengajaknya makan malam? Tapi bagaimana pun Ae-Ri tetap menerima tawaran itu.

Tentu saja tidak hanya berdua, ada Clara juga dan ia sendiri yang memintanya. Ah, benar juga. Ia belum mengabari Clara soal itu. Gadis itu memutuskan untuk ke apartemennya saja sekaligus bertemu dengan mamanya Clara.
Ia berjalan dengan tenang menuju halte bus. Jalan raya yang biasanya selalu ramai kini tidak tampak seperti itu lagi.

Angin musim dingin menyapanya, membuat ia makin mempercepat langkah sambil mengencangkan jaket tebal yang ia kenakan. Sebuah bus datang dan berhenti di depannya. Lalu ia buru-buru naik dan duduk di bangku kedua paling belakang. Gadis itu tersentak halus, ia masih dalam posisi berdiri dan, “Hei,” panggil Ae-Ri. Sebuah senyuman langsung tercetak jelas di wajahnya.

Orang yang dipanggil sedikit mendongak agar ia bisa lebih jelas melihat gadis itu.
Dong-Yul setengah kaget, lalu mempersilakan Ae-Ri untuk duduk di bangku kosong tepat di sebelahnya. Dong-Yul hanya mengangguk, tersenyum tipis untuk menyapa balik gadis itu begitu dia sudah duduk di sebelahnya. “Kau mau ke mana?” tanya Ae-Ri.

Nada bicaranya terdengar sangat bersahabat meskipun mereka belum terlalu dekat. Atau saja, ia yang terlalu bersemangat agar laki-laki itu mau berteman dengannya.
“Tempat syuting.” Gadis itu hanya mengangguk sambil membentukkan huruf O pada mulutnya. “Bagaimana tentang makan malam bersama? Maksudku, yang kau katakan kemarin itu.”

Dong-Yul berhenti menatap jalanan dari dinding jendela dan kembali memusatkan perhatian ke depan. Kemudian ia memandang Ae-Ri namun hanya sedetik dan kembali memutar kepalanya. “Tentu saja jadi.” “Oh ya, kita belum sempat berkenalan. Panggil saja Oh Ae-Ri.”

Gadis itu mengulurkan sebelah tangannya, dua detik, tiga detik sampai lima detik sekali pun Dong-Yul tidak membalasnya. Laki-laki itu hanya mengangguk samar. “Kim Dong-Yul,” jawabnya pelan.
Dalam hati gadis itu agak kesal. Kenapa ada laki-laki yang sok jual mahal seperti ini? Ia menarik napas pelan. Memaksakan seulas senyum dan kembali menarik tangannya yang sempat menggantung di udara. “Boleh aku bertanya satu hal?”

“Apa?” Ae-Ri agak ragu. Tapi, tidak ada salahnya juga untuk mencoba. “Apa kau bekerja sebagai sutradara film?” Dong-Yul menggeleng. “Bukan.” “Jadi?” Kali ini laki-laki itu menatap Ae-Ri, ia bisa melihat dengan jelas mata cokelat itu memandangnya dengan ekspresi menunggu. “Apa aku harus menjawabnya?” Ae-Ri mengerjapkan matanya, heran. Ia mendadak jadi salah tingkah. “T-tidak juga.”

Tiba-tiba bus berhenti. Dong-Yul langsung turun namun sebelum itu, ia menyempatkan diri untuk berbalik dan memanggil Ae-Ri. “Hei,” Ae-Ri memandang Dong-Yul di depan pintu bus. “Aku bukan seorang sutradara. Tapi penulis skenario.” Setelah mengatakan itu, ia berlalu dan turun dari sana.

***
Ae-Ri berlari-lari kecil menaiki anak tangga sampai ia berhenti tepat di depan kamar apartemen yang bertuliskan angka 505. Ia sedikit membungkukkan badannya, memasukkan tombol sandi di sebuah perangkat dekat pintu lalu melangkah masuk ke apartemen yang sering didatanginya itu.

Ia melepaskan sepatu pantofel, menaruh tas tangan di sofa dan berjalan menuju ruang dapur. “Hei, Clara!” serunya. Posisi Clara yang sedang berdiri di depan wastafel harus membuat dia menoleh ke belakang. Ia tersenyum, kemudian menyudahi kegiatannya yang sedang membersihkan peralatan dapur itu.
“Kapan kau sampai?” “Baru saja.” Ae-Ri membuka lemari es, mengambil satu buah apel dan memakannya. “Di mana ibumu?”

Gadis itu memandang sekeliling, ia tidak menemukan tanda-tanda keberadaan orang lain selain mereka berdua. “Ada di kamar. Mama belum bangun, biasanya jam sepuluh atau menjelang siang,” sahutnya. “Bagaimana dengan syuting kemarin?” Clara menarik salah satu kursi di meja makan dan mendudukinya. Ia menatap Ae-Ri di depannya sambil bertopang dagu.
“Seru!”

“Hanya itu?” Ae-Ri menggeleng. Ia menggigit sisa apel di tangannya, mengunyah dan menelan lalu menarik bangku tepat di hadapan Clara. Begitu ia duduk, barulah ia mulai menceritakan semuanya.

“Oh ya, aku lupa mengatakannya padamu.” Kening Clara mengerut samar. “Apa?” Ae-Ri berdehem sejenak. Kemudian melanjutkan, “Aku punya seorang kenalan. Kebetulan, ia seorang penulis naskah di tempatku syuting. Dia mengajakku makan malam karena ingin membalas budi. Bisa dibilang, aku meminjamkannya uang lalu ia ingin menebusnya dengan itu.”

Mendengar hal itu tentu saja Clara bingung. Ia mengangkat sebelah tangan dan menyuruhnya menjelaskan lebih detail. “Aku tidak mengerti. Coba jelaskan dari awal.” Ae-Ri menghela napas panjang. Lalu kembali menceritakan semua kejadian hari itu ketika Dong-Yul meminjam uangnya.

Clara tercengang, alisnya menyatu sambil memandang Ae-Ri dengan ekspresi campur aduk. “Kau baru mengenalnya dan dia sudah mengajakmu makan malam?” Gadis itu mengangkat bahunya pelan.
“Begitulah.”
“Astaga. Kenapa kau sangat mudah percaya sekali dengan orang asing?” Orang asing? Benar juga. Dong-Yul masih orang asing baginya tapi sepertinya dia laki-laki yang baik-baik. Clara berubah menjadi serius, menatapnya lekat dan mengingatkannya satu hal. “Kau tidak boleh percaya begitu saja, Ae-Ri.”

Ia menekan suku kata terakhir seolah lebih menegaskan ucapannya. Ae-Ri mengangkat kedua tangannya dan mengangguk samar. Baiklah, ia harus menjelaskannya lagi. Ia sudah tahu sifat Clara seperti apa. Sebagai teman yang baik, mungkin itu hal yang wajar jika Clara bersikap seperti ini.
"Aku mengerti. Aku benar-benar mengerti dengan maksudmu. Tapi dia tidak seperti yang kau pikirkan.”

Clara akan bersuara lagi ketika Ae-Ri dengan cepat menyelesaikan ucapannya. “Makanya itu aku bilang padanya akan membawa teman. Dan itu kau. Dia juga tidak keberatan dan kau sendiri bisa menilainya nanti,” jelasnya. Kali ini wajah Clara tidak setegang tadi. “Tapi sama saja. Dia tetap orang asing,” bantahnya.
“Kau tidak ingat kejadian waktu itu?” Astaga, bisa-bisanya Clara mengungkit masalah itu.

Baiklah, ia mengerti. Mungkin karena itu temannya menjadi sangat begitu sensitif. “Hei, hari itu aku belum tahu mana laki-laki yang benar dan tidak beres. Meskipun begitu, aku tidak apa-apa. Lihat, aku masih baik-baik saja.” Ia berdiri dari kursi, melebarkan kedua tangan dan memutar tubuhnya untuk menunjukkan kalau tubuhnya tidak mengalami lecet sekali pun.
Clara mengembuskan napas.

Suaranya agak melunak sekarang. “Oke, oke. Tapi sekali ini saja dan tentu saja aku akan ikut. Kalau dia bersikap kurang ajar nanti, aku akan menghajarnya.” Ae-Ri tersenyum lebar. Ia mengangguk semangat dan mengacungkan kedua jempolnya. “Right!”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

STORY IN NEW YORK (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang