Part 26

14.2K 1.5K 4
                                    

Nayra menatap sekeliling rumah yang ia pijak sekarang. Saat ini ia berada di rumah orang tua Ustadz Rasyid. Sejak perkenalan di rumah Ustadzah Afifa dua hari yang lalu, Ibu Ratna kerab datang ke Ponpes untuk menemui Nayra.

Hari ini Nayra tidak ada jadwal belajar di ponpes dan Ibu Ratna tahu akan hal itu. Wanita paruh baya itu menelepon Nayra untuk meminta datang ke rumahnya.

Nayra tanpa banyak pertanyaan langsung datang dengan alamat yang sudah dikirim oleh Buk Ratna.

"Assalamu'alaikum," ucap Nayra di depan pintu.

Tidak lama karena pintu langsung dibuka dari dalam oleh Buk Ratna.

"Wa'alaikumussalam. Eh Nak Nayra sudah sampai. Ayo silahkan masuk Nak," kata Buk Ratna yang diangguki oleh Nayra.

Mencium punggung tangan Buk Ratna sebagai tanda santunnya pada orang yang lebih tua.
Nayra masuk ke dalam rumah Buk Ratna dan mengekori Buk Ratna yang mengarahkannya ke arah sofa ruang tamu.

Mereka berbincang berbagai macam hal. Sampai mengarah pada orang tua dan Nayra tidak sanggup untuk menahan tangis ketika menceritakan sosok Ibu Tisa pada Buk Ratna.

"Sabar Sayang. Nayra nggak sendiri. Banyak yang sayang sama Nayra temasuk saya. Saya baru kenal dua hari dengan Nayra dan langsung bisa merasakan jika Nayra adalah orang baik," kata Buk Ratna.

Nayra mengusap pipinya yang berderai air mata. Menarik nafas dalam dan mengukir senyum tulus yang selalu tercipta oleh bibirnya.

"Iya Nayra masih ada ayah yang sayangnya nggak peduli sama Nayra. Bahkan mendengar kabar meninggalnya mama pun, papa nggak ada datang untuk sekedar menghibur Nayra," gumam Nayra dalam hati.

"Terima kasih Buk," kata Nayra dan membalas pelukan Buk Ratna yang tiba-tiba memeluknya.

"Iya Sayang," ucap Buk Ratna mengelus pipi Nayra lembut.

Mendapat perhatian kecil seperti ini membuat Nayra kembali teringat pada sosok mama yang dulu selalu membelai pipinya dengan lembut dan penuh kasih. Elusan tangan ibu yang selalu Nayra rindukan.

Hampir dua bulan Nayra hidup tanpa ada sosok mama di sampaingnya. Tidak ada lagi sosok mama yang kadang bawel karena Nayra telat bangun tidur.

Tidak ada lagi mama yang tersenyum padanya saat Nayra menyerahkan hasil ujian sekolah meski dengan angka yang sederhana tapi hasil belajarnya sendiri.

Tidak ada lagi mama yang selalu mengajak dan mengingatkannya untuk melaksanakan sholat lalu menunjukkan raut sedih saat mendengar kata penolakan dari Nayra.

Andai waktu bisa diulang, pasti Nayra ingin menjadi seperti sekarang. Candu dalam ibadah dan mungkin jika sedari dulu ia begini maka tidak tercipta wajah sedih sang mama akibat kelakuannya.

Nayra menitikan lagi air matanya, air mata kerinduan pada sang mama yang teramat dalam. Rindu yang tidak ada lagi kata temu untuk meluapkannya.

"Istighfar Nayra," kata Buk Ratna.

Nayra mengusap pipinya dan mencoba menarik sedikit sudut bibir hingga membentuk senyuman tipis.

"Nayra kangen sama mama," ucap Nayra dan membuat Buk Ratna kembali memeluk gadis itu.

Mengusap punggung Nayra dengan sayang dan kali ini Nayra tersenyum tanpa air mata. Bisa ia rasakan jika Buk Ratna mendekapnya dengan tulus.

Setelah beberapa menit mereka menguraikan pelukan. Mata Nayra terpaku pada sebuah foto di atas meja.

"Buk," panggilnya pelan.

Buk Ratna tersenyum.

"Iya Nay?" jawabnya.

"Yang ada di dalam foto itu Ustadz Rasyid dan Ustadz Raihan?" tanya Nayra dengan suara pelan.

Nayra hanya memastikan karena dalam foto itu terlihat dua orang anak lelaki remaja yang memakai seragam putih-biru.

"Iya. Itu Rasyid dan Raihan. Mereka sudah bersahmengingatkanny dan foto itu diambil saat mereka pertama kali daftar untuk masuk SMP," kata Buk Ratna.

Nayra mengangguk dan memperhatikan foto itu dengan jeli hingga matanya menyipit saat menemukan sesuatu yang membuat dadanya berdebar.

Di paling sudut foto itu Nayra membaca tulisan yang membuatnya menggeleng-geleng kecil. Tidak percaya dengan yang ia baca.

"Nggak mungkin," ujar batinnya dengan lirih.

"Nayra, ada apa?" tanya Buk Ratna.

Wanita paruh baya itu menyentuh pelan bahu Nayra yang masih menggeleng dengan tangan kanan membekap mulutnya sendiri.

"Eh.. e ... enggak Buk. Enggak ada apa-apa," jawab Nayra dengan terbata.

Matanya sesekali melirik pada foto di atas meja dan merasa hatinya bergetar kecil. Bukan hanya wajahnya yang sendu tapi juga hatinya.

Pikiran Nayra melayang entah kemana. Kenangan masa silam terulang begitu saja dalam ingatannya. Benaknya seakan menjerit ingin kembali ke masa itu. Masa di mana ia belum mengenal pahitnya perpisahan. 

"Ustadz Raihan dan Kak Rai, apa orang yang sama? Kalau iya berarti Kak Rai nggak mengenali aku."

****

Nayra menghela nafas panjang saat memasuki pintu gerbang pondok psantren Al-hidayah. Udara sejuk semakin bertambah sejuk dengan tiupan angin pada dedauuan pohon yang berjejer di sepanjang jalan.

Suasana hati Nayra hari ini tidak seperti biasanya. Perasaannya campur aduk sejak memasuki gerbang tadi. Tatapannya mengarah telapak tangannya yang mengenggam lipatan kertas.

"Semoga aku bisa ketemu Raihan dan kasih surat ini. Cara jadul memang tapi aku nggak punya nomor hp Raihan untuk kirim pesan lewat hp."

Langkah Nayra terhenti begitu saja kala matanya melihat Raihan sedang berbincang dengan seseorang yang familiar baginya.

"Ngapain dia ke sini?"

Nayra mengambil langkah mendekat pada Ustadz Raihan. Tanpa dua orang itu sadari Nayra kini berdiri berdiri di samping Ustadz Raihan.

"Assalamu'alaikum," ucap Nayra.

Dua lelaki yang sedari tadi tampak saling berbincang dengan serius sontak menoleh pada Nayra secara bersamaa.

"Wa'alaikumusalam," jawab  Raihan.

Ya, hanya Raihan yang menjawab sedangkan lelaki di sampingnya terpaku pada Nayra.

"Nayra?"

Nayra membuang tatapan dari lelaki itu dengan mata yang terasa panas. Hatinya perih melihat orang ini. Rasa perih karena sedih Nayra rasakan dan sudah bersemayam dalam lubuk hatinya yang ditorehkan oleh pria ini. Pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya.

"Ustadz, aku...,"

Nayra menghentikan ucapannya karena tangannya terasa ditarik hinggu jatuh ke dalam pelukan seseorang.

"Papa," gumam Nayra pelan.

Hatinya sakit mendapat pelukan dari Rudi tapi di saat yang bersamaan hatinya juga menginginkan untuk membalas pelukan ini.
Nayra menggeleng dan berusaha melerai pelukan sang papa tapi Rudi malah semakin erat memeluknya.

"Jangan Nayra. Papa mohon Nayra jangan tolak untuk Papa peluk," kata Rudi dengan lirih.

Air mata Nayra mengalir begitu saja mendengar ucapan sang papa. Tidak menyangka akan bertemu Rudi di sini dan tidak menyangka akan mendapat pelukan dari sang papa.

Nayra bahkan tidak ingat kapan terakhir ia didekap oleh sang papa. Yang Nayra ingat sampai saat ini dan mungkin nanti adalah saat pipinya terasa panas karena tamparan dari tangan Rudi.

Peristiwa itu tidak akan pernah ia lupakan. Peristiwa yang di mana lahir dan batinnya terasa sakit. Hatinya sakit mendengar kata cerai dan sudahlah terucap dari bibir kedua orang tuanya dan fisiknya sakit karena mendapat tamparan dari papanya.

"Nayra susah nafas Pa," kata Nayra.

Rudi melepaskan pelukannya dan menatap Nayra yang mengusap air matanya sendiri. Sementara Raihan berdiri dengan pandangan yang tidak lepas dari Nayra.

Ma'had in Love (Tamat)Where stories live. Discover now